Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 47 Gara Jadi Pacarku?

Bab 47 Gara Jadi Pacarku?

"Karena aku merindukanmu, Gea Ananda."

"Omong kosong!" sungut Gea sambil berusaha keras menyadarkan dirinya bahwa ia tak boleh terpedaya oleh ucapan-ucapan Gara barusan.

Gara seketika berdecak keras. "Udah terang-terangan bilang suka, kangen, bahkan aku udah mau jadi pacar kamu, masih juga dibilang omong kosong, Ge? Segitu gak percayanya kamu sama kata-kataku?"

"Iya!" timpal Gea cepat. "Mana bisa aku percaya orang yang baru aja putus dari tunangannya malah mau jadi pacarku. Aku gak bego, Gara!"

Bibir Gara saling merapat. Memilah kata-kata apa yang pas menimpali ucapan Gea barusan. "Oke. Aku anggap itu hal wajar. Dan sepertinya yang kamu butuh saat ini cuma bukti dari kata-kataku tadi, kan?" tebaknya.

Gea diam saja. Terkaan Gara memang tak meleset. Ia sangat ragu. Bagaimana mungkin Gara yang baru saja putus dari tunangannya tiba-tiba jatuh cinta padanya? Bilang rindu segala lagi!

Cuma cowok brengsek yang bisa dengan mudah menyatakan perasaannya setelah putus dari kekasihnya!

Cuma COWOK BRENGSEK!

"Aku lapar." Gara tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. "Mau pesan makanan apa? Sekalian kita pesan furniture untuk ngisi apartemen kamu ini secara online aja daripada capek-capek dateng ke tokonya langsung."

Gara sudah siap dengan ponsel di tangan ketika Gea berlalu melewatinya sambil menjawab, "yang rasanya pedes, bunyinya nyang-nyang-nyang pas dikunyah."

Gara mendongak dengan wajah kaku. "Hah? Nyang-nyang-nyang? Makanan apaan maksudnya?"

"Ada pokoknya! Cari aja. Aku mau ke toilet dulu. Soal furniture apartemenku, kamu gak usah ikut campur deh. Apartemen ini aja belum lunas aku bayar, masa kamu nyuruh aku berhutang lagi sih?"

Gea dengan cepat raib di balik pintu toilet meninggalkan Gara yang hendak menimpali lagi. Ia memilih beralih ke layar ponselnya sekarang, memelototi rentetan gambar berisi menu makanan yang tertera di layar. Mengambil posisi duduk di salah satu sudut kamar apartemen yang tepatnya dekat jendela, Gara berusaha menebak makanan apa yang tadi Gea maksud.

"Ah! Bodo amat! Siapa suruh ngasih clue aneh kayak gitu? Yang penting pedes!"

Gara tersenyum puas setelah selesai memesan makanan lewat aplikasi yang menyediakan pesan-antar makanan di ponselnya. Saat itu Gea belum juga keluar dari toilet. Cukup lama menurutnya perempuan itu berada di dalam sana. Entah sedang apa. Bahkan ketika makanan yang sudah Gara pesan datang, Gea belum juga menunjukkan batang hidungnya.

"Ge! Masih lama?" teriak Gara lantang sambil menata makanan di ruang tamu. "Ini makanannya udah dateng. Kamu gak laper?"

Pintu toilet terbuka beberapa saat setelahnya. Kemunculan Gea disambut Gara dengan senyum merekah. Berbanding terbalik dengan raut wajah Gea yang tampak kaku melihat area di tengah apartemen dipenuhi beragam macam makanan.

"Ini apaan? Kamu mau ngadain pesta di sini?" serbu Gea saking terkejutnya. Ia tak mengira Gara akan memesan makanan sebanyak ini. Mana mungkin juga Gea mampu menghabiskan semuanya ketika porsi makannya saja sedikit. Atau Gara berencana menghabiskan semua makanannya sendirian?

"Pesta? Ide bagus!" Gara mendadak semringah. "Siapa yang mau kamu undang? Teman kantor di Molapar?" Mendadak raut wajah Gara kusut. "Atau si Pramu?" tebaknya dengan perasaan dongkol. "Awas saja kalau kamu berani mengundang laki-laki itu! Sejengkalpun, dia tak boleh menginjakkan kakinya di apartemen ini. Batang hidungnya pun jangan sampai terlihat! Paham?"

"Ih! Apaan sih?!" Gea duduk tepat di depan Gara dengan menyilangkan kaki. Maklum saja, belum ada apa-apa di apartemen yang mendadak akan ditinggalinya ini. Sambil tersenyum miring ia menimpali lagi, "cemburu nih ceritanya?" terkanya. Mencoba menggoda Gara yang sudah lebih dulu menggodanya.

Darah harus dibalas darah, bukan?

Gara pikir Gea akan terketuk hatinya karena laki-laki itu menyatakan perasaannya tadi?

Tidak! Gea tak akan semudah itu tertipu!

"Iya. Aku cemburu." Raut wajah Gara serius sekali. Lekat menatap Gea yang senyumannya seketika itu juga redup. "Aku gak suka cowok itu deket-deket sama kamu. Camkan itu!" tegas Gara. Ia sampai membuang napas kasar setelahnya sambil mengacak-acak makanan di wadah dengan sendok.

Gea termangu sejenak sebelum tiba-tiba tergelak keras. "Ya ampun, Gara. Aku hampir aja ketipu sama akal bulus kamu itu. Gak usah sok posesif apalagi sok overprotektif deh. Karena aku gak bakalan ngerasa tersentuh sama sekali!"

Gara menyeruput sajian mie berwarna merah terang di salah satu wadah. Rasa pedasnya pas. Tampilannya juga menarik. Entah bagaimana caranya Gara bisa menebak dengan tepat makanan yang diincarnya dari sekian banyak makanan yang sudah di pesannya.

"Oke." Gara menimpali singkat sebelum menyantap makanannya lagi dengan lebih lahap setelah mendengar tanggapan Gea yang cukup membuat hatinya dongkol.

Sekeras itukah perasaan perempuan itu padanya?

Sampai-sampai setiap kata-kata yang ia lontarkan dianggap Gea hanya bualan semata.

Ya Tuhan ... Gara harus apa lagi?

Membuktikan tentang perasaannya pada Gea dengan cara apa lagi?

Bahkan Gara rela membayar apartemen ini hanya demi Gea! Bukan masalah besar baginya jika memang Gea tak mau membayar apartemen ini karena toh Gea sendiri yang bersikeras tak mau menerima apapun darinya secara gratisan.

Perempuan aneh!

Biasanya perempuan akan merasa senang ketika diberi sesuatu semewah ini oleh laki-laki, bukan?

Bahkan Gara mencarikan Gea pekerjaan baru!

Kenapa Gea enggak?

Aneh! Benar-benar perempuan aneh!

Gara harus berbuat apa lagi sekarang untuk meyakinkan Gea bahwa ia tulus dengan perasaannya?

"Aku udah selesai. Sisanya kamu yang ngabisin, kan?" terka Gea. Membuyarkan lamunan Gara.

Gara melirik wadah mie di wadah yang sudah tak bersisa. Ia tersenyum karena Gea ternyata menghabiskan salah satu makanan yang di pesannya tadi berbekal kode isyarat aneh.

"Kasih tetangga aja. Itung-itung kenalan sebagai penghuni baru. Aku gak akan kuat ngabisin semuanya." Gara meneguk minumannya setelah makanannya juga tandas. "Atau mau kamu aja yang ngabisin?" Gara mengumbar senyum kecil.

"Enak aja! Perut aku mana muat!" tolak Gea dengan nada tinggi.

"Dulu waktu kita sekolah, porsi makanmu bukannya sebanyak ini, Ge?" godanya. Masih iseng menggoda Gea meski perempuan itu sudah meneriakinya barusan.

"Apaan sih? Gak ada pembahasan lain lagi apa selain bahas masa lalu?"

Gea menarik satu botol minuman yang langsung ia buka tutupnya. Meneguknya dalam jumlah banyak tanpa memedulikan Gara yang menggeleng pelan dengan mata lekat menatapnya.

"Kamu maunya bahas apa? Masa depan kita?" tanya Gara.

Nyaris saja Gea memuntahkan minuman yang diteguknya kalau tak cepat-cepat ia telan sekuat tenaga. Alhasil ia terbatuk. Berulang kali memukul dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.

Gara ikut panik. Berusaha memberikan bantuan dengan menepuk punggung Gea. Tapi batuk Gea tak kunjung mereda juga, malah makin parah. Beberapa kali perempuan itu menepis tangan Gara agar tak menyentuhnya, namun laki-laki itu tetap bersikeras mengelusi punggung Gea, merasa bahwa bantuannya ini bermanfaat padahal tidak juga.

"Ga–k us–ah sen–tuh!!!" Gea berusaha keras memakin meski terbata-bata. Satu tangannya masih berusaha menjauhkan tangan Gara dari punggungnya.

"Minum, Ge. Minum lagi. Minumnya pelan-pelan coba jangan kayak gajah kehausan," ujar Gara sambil menyerahkan minuman pada Gea.

Sambil mendelik sinis, Gea menerima minuman itu dan meneguknya dengan perasaan dongkol.

"Kalau mau ngasih minum gak usah pake ngejek segala!" semprot Gea yang sudah berhasil menghentikan batuknya. Berkat minuman yang Gara berikan tentu saja. "Gak bisa apa kamu tuh berhenti ejek-ejek aku, Gar?"

"Iya. Iya." Gara kembali mengelus punggung Gea dan kali ini tak ada penolakan dari gadis itu. "Maafin yah, sayang ...."

Dunia Gea terasa berhenti detik itu juga.

***

Gea sudah berkaca pinggang, memasang raut wajah segarang mungkin, berharap Gara yang tengah merebahkan diri di atas sofa yang tanpa ia ketahui dibeli lelaki itu takut. Sayangnya, laki-laki itu kini malah tersenyum saat mengarahkan pandangannya pada Gea. Terkekeh tipis sambil memposisikan kepalanya bertumpu di salah satu tangan.

"Kenapa sih sayang ... wajahnya kok cemberut gitu? Masih laper? Mau aku beliin sesuatu?" tanya Gara menerka-nerka dengan percaya diri sekali. "Duduk sini!" ajaknya sambil menepuk area sofa kosong.

Gea lagi-lagi harus berhadapan dengan dunianya sendiri. Waktu masih berjalan, bukan? Apa sekarang kaki Gea masih menapaki bumi? Raut wajahnya masih garang, bukan? Sungguh! Gea tak tahu harus bereaksi apa menghadapi tingkah polah Gara yang tiba-tiba membuat jantungnya jadi berpacu lebih kencang dari biasanya.

Kenapa Gara jadi seperti ini?

Bukan itu!

Apa ini artinya Gara beneran jadi pacarnya? Ini sungguhan? Bukan mimpi? Haruskah Gea menganggap ini sebagai sebuah kenyataan? Tapi, kenapa ini masih terasa seperti mimpi untuk Gea?

"Bangun, Gara! Pulang sana!" bentak Gea. Sekeras mungkin. Perasaannya sih begitu. Ia benar-benar sudah mengerahkan kekuatannya sendiri untuk bersikap galak pada Gara. "Buruan! Apa kata Ibu kamu nanti kalau tahu kamu malah tidur di sini? Huh!?"

"Kamu mau aku pulang atau nginep di sini?"

"Pulanglah!"

"Yakin? Kamu berani tidur sendirian di sini?"

"Berani lah! Emangnya aku bocah yang masih takut tidur sendirian? Udah ah! Pulang sana buruan!" Gea sampai menarik tubuh Gara agar segera bangkit dari sofa dan untungnya laki-laki itu menurut. Ia mendorongnya sampai pintu apartemen. Tepat saat Gea hendak menutup pintu, Gara menahan daun pintu dengan tangannya. "Apa lagi sih?" sinisnya kemudian. Gea sudah menduga kalau Gara tak mungkin semudah itu menurut padanya.

"Besok aku antar kamu kerja."

Gea spontan membuang napas kasar. "Ya ampun, Gara ... tempat kerjaku cuma beberapa langkah dari sini!" balasnya jengkel. Tak habis pikir dengan ide Gara barusan yang menurutnya sangat ambigu. "Ngapain di antar segalaaa???"

"Oke."

Gea malah mematung dengan reaksi Gara barusan. Padahal ia kira laki-laki itu akan melancarkan beribu satu alasan agar idenya tadi tercapai. Kenyataannya Gara malah balik badan dan pergi dari apartemen. Lega tentu saja. Karena sekarang Gea sudah bisa bernapas dengan sangat lega sekaligus berteriak lantang.

"Aaarrrggghhh!!! Gara jadi pacar gueee??? Seriously? Aaarrrggghhh!!!"

Gea membanting tubuhnya ke sofa. Berteriak, mengerang, lalu tertawa terbahak. Sampai tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselnya.

[Gara: aku jemput kamu besok. Love you.] lengkap dengan emotikon hati berukuran besar setelahnya yang sukses membuat Gea lagi-lagi berteriak, mengerang, lalu tertawa lagi.

Begitu terus sepanjang malam yang membuatnya kesulitan untuk memejamkan mata. Setiap hendak menutup mata, ada saja hal yang membuat Gea membuka matanya lagi dan itu disebabkan oleh ingatannya akan Gara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro