Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 46 Hari Pertama Kita

Bab 46 Hari Pertama Kita

"Gue mau, Gea!" teriak Gara lagi. Untuk kedua kalinya. Laki-laki itu berjalan cepat dari ambang pintu menghampiri Gea. "Kok malah bengong?"

Gea beringsut mundur setiap Gara melangkah mendekatinya. "Apaan sih?" ketusnya. Ia merasa perkataan Gara ini mengandung makna ambigu. Gea tak mau salah paham atau bahkan sampai baper duluan.

"Gue mau jadi pacar lo!" tegas Gara lagi. Kali ini wajahnya makin serius.

Gea berani jamin!

"Ih! Apaan sih?!" Gea berusaha menepis perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar sekujur tubuhnya gara-gara perkataan Gara barusan. "Gak usah ngaco kalau ngomong. Gak usah sok akrab juga. Panggil aku 'Gea' kayak biasa aja. Mau panggil si gendut, onat pun gak masalah tuh. Ela-elo-ela-elo apaan coba?" Gea memilih membahas hal lain ketimbang mempermasalahkan perkataan Gara tadi. Yah ... meskipun masih kepikiran sih.

Gea siap bergegas keluar dari ruangan yang tiba-tiba terasa pengap itu. Padahal ruangan itu kosong melompong loh. Mungkin karena cuaca panas di luar sana kali yah? Atau karena gak ada AC? Ah, Gea jadi ingat. Banyak hal yang harus ia segera siapkan sekarang. Daripada meladeni omongan Gara yang mulai ngaco, mending Gea minggat aja deh. Ada banyak barang yang harus Gea beli untuk memenuhi isi apartemen yang ia beli dari Gara ini.

"Mau ke mana?" Gara tiba-tiba mencekal lengan Gea erat. Sangat erat. Saking takutnya Gea pergi lagi seperti waktu itu. "Kita belum selesai ngomong, Ge."

"Belum selesai apaan? Lepasin! Sakit tahu!"

Gara menurut, tapi tak sepenuhnya. Ia hanya melonggarkan cekalannya tapi tetap memegang erat salah satu bagian tubuh Gea itu.

Dan anehnya, Gea merasa senang sekali.

...

"Soal barusan. Kamu menolakku?" tanya Gara ingin memastikan sesuatu.

"Nolak apaan?" Gea pura-pura tak acuh.

"Soal jadi pacar. Kamu pengen punya pacar, kan?"

"Terus kamu mau jadi pacarku?"

"Iya."

Duh! Jantung Gea rasanya mau copot! Tolong, Tuhan!!! Selamatkan Gea sekarang juga dari pernyataan ambigu si tukang bully ini.

Gea sampai terdiam beberapa saat lamanya mendengar begitu tegasnya Gara menanggapi pertanyaannya. Semakin serius. Lengkap dengan mata lekat menatap Gea begitu dalam, sampai rasanya wajah Gara itu seperti terus mendekat padanya.

Tunggu! Gea tidak sedang berhalusinasi, kan? Apakah seperti ini rasanya terpesona pada seseorang? Wajah Gara terasa begitu dekat. Bahkan ketika bibir lelaki itu menyentuh bibirnya, seperti ada bara api yang tiba-tiba menghangatkan seluruh tubuhnya.

"Aku anggap diamnya kamu sebagai jawaban 'ya'," kata Gara sedetik kemudian. Tahu-tahu wajah laki-laki itu sudah menjauh lagi dari pandangan Gea. "Berarti hari ini hari pertama jadian kita, kan?" Seringai lebar tercetak jelas di wajah laki-laki itu.

"Hah? Gimana-gimana?"

Sumpah! Gea bingung! Barusan, apa yang sebenarnya sudah terjadi? Hari pertama jadian? Kita? Siapa maksudnya sih?

Satu jitakan keras mendarat di kening Gea.

"Makannya, berhenti melamun, Gea sayang ...."

Gea seketika itu juga menutup dua telinganya. Pendengarannya tiba-tiba berdengung. Jantungnya berisik sekali. Tambah berisik karena suara gelak tawa Gara yang begitu membahana.

"Udah ah. Lama-lama kamu bisa pingsan di sini, Ge. Aku mau ambil koper kamu di bawah. Jangan kemana-mana dan tetap di sini. Duduk lebih baik ketimbang kamu pingsan terus malah kejedot tembok."

Gelak tawa Gara seperti cekikikan kuntilanak yang terus menggema tanpa henti.

Aaarrrggghhh!!! Tadi itu apa yang sebenarnya terjadi? Bisa ingatkan Gea lagi!

***

Gea gak kemana-mana. Lebih tepatnya, gak bisa kemana-mana. Sekujur tubuhnya terasa berat meski hanya melangkah maju satu kali. Saat Gara muncul lagi di apartemen dengan kopernya, Gea masih ada di ruang yang sama. Hanya matanya yang bergerak. Serius! Hanya matanya yang sedang lekat-lekatnya menatap Gara.

"Apartemen ini bisa langsung kamu tempati. Itu artinya ...," Gara tampak memainkan dagu. Matanya bergerilya menatap tiap sudut ruangan itu seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kamu butuh kasur, Ge. Lemari pakaian juga. Oh iya? Meja rias juga yah? Peralatan mandi udah ada?"

Gara menunggu jawaban Gea tapi perempuan itu malah bengong. Melihatnya dengan mata melotot.

"Jawab, Ge. Bukan malah ngelamun. Ngelamunin apaan sih?" Kepala Gara celingukan. "Ada penampakan setan di sini? Mana? Mana? Aku gak lihat tuh!"

Gea menggelengkan kepala. Bahkan sampai menjitak kepalanya sendiri sampai dirasakan sakit.

"Ini bukan mimpi?" lenguhnya tampak kebingungan.

"Mimpi apaan?"

"Ya kamu!" bentak Gea.

"Aku? Kok aku?"

"Gak bisa! Gak mungkin! Ini gak mungkin! Aku harus menegaskan satu hal di sini, Gara. Di antara kita gak ada hubungan apa-apa!"

"Telat! Udah jadian dari tadi kok malah nolak sekarang. Mau putus ceritanya?"

"Heh! Kapan emang aku mau jadian sama kamu?"

"Tadi kok malah diem aja pas ditanya? Diemnya cewek itu artinya sebagai 'ya'."

"Siapa bilang?"

"Aku."

"Oke. Kalau gitu kita putus aja sekarang!" tegas Gea sambil berkaca pinggang. Ia tidak bisa menerima tindakan semena-mena Gara seperti ini.

Gak berubah sama sekali ternyata. Sudah membuat Gea merugi, sekarang masih aja bersikap sok bossy. Gea tentu saja tak mau menanggung rugi dua kali.

"Gak bisa!" tegas Gara. "Sekali jadian sama aku, kita gak bisa putus!"

"Heh!" gertak Gea.

"Ayo pergi!"

Tangan Gea tiba-tiba ditarik paksa oleh Gara. Sekali berontak, Gara pantang menyerah untuk kembali menggenggam tangan Gea. Berkali-kali Gea melepaskan diri, berkali-kali itu juga Gara berusaha meraih tangan perempuan itu. Berulang kali Gea mencoba menghindarinya, Gara selalu saja berhasil menghadangnya.

"Kamu gak sadar apa kalau kita itu emang ditakdirkan buat barengan terus, Ge?" tanya Gara tiba-tiba.

Detik itu keduanya sedang berhadapan di ambang pintu. Gea yang berusaha kabur dari Gara, selalu berhasil dicegah laki-laki itu.

"Maksud kamu apa? Huh! Barengan terus sama kamu itu artinya kesialan! Dari dulu sampai sekarang."

"Oh, yah? Kok aku ngerasa kebalikannya deh. Coba deh kamu ambil baiknya, buang buruknya."

"Ambil baiknya gimana coba? Gak ada baiknya waktu kita barengan, Gara!"

"Ada, Gea."

"Apa emang? Aku gak tahu tuh!"

"Karena aku bisa jatuh cinta sama kamu."

Aaarrrggghhh!!! Gara ngomong apaan sih???

Gea sudah siap mendorong tubuh Gara sekarang. Laki-laki itu sepertinya memang harus dihadapi dengan cara kasar. Tapi tiba-tiba Gara berhambur memeluk Gea. Erat sekali sampai Gea harus menahan napasnya sendiri saking kagetnya.

"Maaf. Aku terlambat mengakuinya, Ge."

Gea membisu. Lebih tepatnya gak tahu harus bereaksi apa atas perkataan Gara barusan.

"Mungkin bagi kamu, aku ini cuma sekedar perisak, pengganggu, atau bahkan tukang bully. Enggak, Ge. Sama sekali bukan itu maksudku. Aku ...."

Gara tiba-tiba melepaskan pelukannya. Sekarang, dua bahu Gea berada dalam cengkeraman tangan Gara. Dua mata lelaki itu berhasil menyihir Gea untuk tetap membatu di tempat. Tak berdaya dan tak berupaya.

"Aku selalu merasa bahagia berada di sekitarmu. Bahkan meskipun sudah bertahun-tahun lamanya kita tak bertemu, seberapa besar perubahan fisikmu, aku tetap bisa mengenalimu."

Apa ini? Apa ini bagian dari pernyataan cinta? Pengakuan penyesalan? Atau apa? Ya Tuhan ... jantung Gea mau copot rasanya. Apa Gara benar-benar jatuh cinta padaku? Masa sih? Sejak kapan? Kok bisa?

Sungguh! Gea tak tahu harus bereaksi apa sekarang selain menatap Gara. Rasanya ia sedang berhalusinasi sekarang, mendengar kalimat yang meluncur dari mulut Gara bukanlah umpatan atau perintah menyebalkan, melainkan kalimat-kalimat manis. Ya Tuhan ... Gea ingin sekali berteriak kencang sekarang juga! Tapi, ia malu tentu saja. Gara bisa meledeknya nanti.

"Aku mencarimu setelah kita lulus, Ge."

"Hah? Ngapain?"

Pernyataan Gara satu ini wajib Gea telusuri. Ia sama sekali tak menyangka laki-laki yang sering merisaknya di sekolah malah mencarinya setelah lulus? Mau apa coba? Merisak Gea lagi? Ah untung aja kan Gea cepat-cepat raib dari dunianya Gara. Mengenyam pendidikan di tempat asing dengan fisik baru. Menjadi orang baru! Yah ... meskipun ujungnya malah ketemu lagi sama si Gara di Molapar.

Gara hanya mengedikkan bahu di tengah rasa penasaran Gea menunggu jawaban panjang dan lebar dari laki-laki itu. "Entahlah. Aku hanya terus mengingatmu saja."

"Untuk minta maaf? Kamu nyesel karena udah bully aku di sekolah, kan? Iya, kan? Itu kan alasannya?"

Ini harapan Gea sebenarnya. Ia berharap Gara merasakan penyesalan karena sudah membullynya selama ini di sekolah. Setidaknya, hidupnya tak nyaman karena dihantui rasa bersalah. Ini pembalasan terbaik menurut Gea. Setimpal. Ketidaknyamanan dalam menjalani hidup karena dihantui rasa bersalah. Menakutkan, bukan?

"Karena aku merindukanmu, Gea Ananda."

Tidak mungkin!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro