Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 44 Minta Maaf

Bab 44 Minta Maaf

"Bu! Lepasin tangan, Gea!"

Bu Riawati bergeming. Satu tangannya menyeret koper, satu tangannya yang lain mencekal lengan Gea yang ia tarik paksa keluar dari rumah itu. Entah ada kekuatan dari mana sampai ia bisa menarik keduanya nyaris bersamaan, padahal koper itu begitu berat dan Gea juga tak berhenti berontak.

"Bu Ria! Tolong lepasin tangan Gea. Dia kesakitan, Bu!"

Gara muncul dari arah belakang, berhasil menyamai langkah Bu Ria yang kesusahan menyeret koper dan juga Gea. Kejadiannya begitu cepat. Gara terlalu kaget akan kehadiran Bu Ria. Bisa dibilang, ia sebenarnya belum berani menunjukkan batang hidungnya di depan orang tua Gea setelah tahu Gea diusir dari rumahnya karena skandal perselingkuhan itu. Tapi sekarang mau tak mau Gara harus memasang badan. Ia tak tega melihat Gea diseret macam hewan peliharaan seperti ini!

Bu Riawati mendelik sinis pada Gara dengan sengaja menghentikan langkahnya. "Saya lebih kesakitan karena kamu berani menyakiti anak saya, Gara!" ketusnya puas sekali. Setelah mendengarkan cerita Ibu Gara, Bu Riawati sekarang tahu kemana harus melampiaskan amarahnya.

Gara menoleh pada Gea yang tengah memasang wajah kusut sebentar. "Saya minta maaf, Bu,” katanya. Lalu menundukkan kepala penuh rasa penyesalan.

"Kamu baru mengatakan itu setelah saya menemuimu seperti ini?" serbu Bu Riawati yang masih murka.

"Sa– saya," Gara tergagap. Takut bukan main oleh delikan sinis Bu Riawati. "Saya mengaku salah, Bu. Sa–"

"Hanya itu? Dan kamu!" Bu Riawati menarik tangan Gea lagi, "untuk apa kamu tinggal di rumah ini? Huh! Mau memperkeruh situasi? Kamu bodoh atau bagaimana, Gea! Laki-laki ini sudah menyakiti kamu dan kamu malah tinggal di rumahnya? Otak kamu dimana sebenarnya?"

"Ibu udah usir Gea!" Gea menepis kasar tangannya dari cekalan Ibu. 

Melirik sinis pada Gara, rasanya Gea geram sekali. Laki-laki itu mendadak gagu di depan Ibunya. Untuk membela Gea saja hanya berani mengatakan maaf. Padahal kalau di depannya laki-laki itu selalu mengomelinya. 

Gea masih ingat kalau Gara akan bertanggung jawab atas perbuatannya. Harusnya termasuk menghadapi kemurkaan Ibunya kali ini juga, kan? Kenapa sekarang Gara malah mirip seperti siput mati yang kehausan begini? Mana janji dia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya?

"Aku bukan mau memperkeruh situasi, tapi aku sedang meminta pertanggung jawaban dari Gara atas semua kesalahan dia ke aku. Aku mau dia menanggung hidupku yang sudah dia rusak!" Gea menunjuk muka Gara dengan jari telunjuknya. 

Saking jengkelnya karena laki-laki itu diam saja. Tak membela diri atau bahkan membelanya. Biar saja! Biar Gea permalukan saja sekalian laki-laki ini di depan ibunya juga. Toh Ibu Gara sejak awal selalu memihaknya, kan? Ibu Gara juga setuju kalau Gara harus mempertanggung jawabkan kesalahannya.

"Salah kalau aku tinggal di rumahnya? Salah kalau aku minta dia mencarikan aku pekerjaan? Aku mau dia bertanggung jawab atas kerugian yang aku rasakan, Bu. Toh Ibu juga sudah mengusirku! Gak ada manfaatnya juga aku tetap pulang ke rumah kalau nantinya aku bakalan kena omel. Mending aku tinggal di sini, minta pekerjaan, dan minta laki-laki ini menanggung hidupku."

Gara tak menyanggah. Matanya lekat menatap Gea yang tengah melampiaskan amarahnya. Bukan pada Ibunya, tapi pada dirinya. Disindir habis-habisan di depan ibunya sendiri yang hanya bisa memijit pelipis. Gara yakin, Ibunya pasti semakin kecewa padanya sekarang. 

"Apa harus tinggal dengannya seperti ini? Kalian bukan mahram, Gea! Kamu tidak pantas tinggal satu atap dengan Gara seperti ini!"

Gea membuang napas pendek. "Ibu pikir aku sama Gara ngapain emang? Kita gak tidur satu kamar, Bu! Beda kamar! Lagian ada Ibu Gara juga kok di sini. Apanya yang gak pantes sih? Jangan kolot deh Bu pemikirannya. Gea juga tahu batasan antara cewek sama cowok itu kayak apa. Sama kayak Gea dan Pramu. Gak ada apa-apa selain partner kerja!"

"Kamu tuh yah!" Satu pukulan keras mendarat di punggung Gea. "Berani-beraninya ngatain orang tua punya pemikiran kolot! Ibu begini demi kebaikan kamu, Gea. Ibu gak mau kamu salah pergaulan dan kelewat batas! Udah jarang shalat, umbar aurat, sekarang kelakuan kamu mirip kayak pelacur! Dasar anak durhaka!"

"Aw! Sakit, Bu!"

Bu Riawati tak hentinya mendaratkan pukulan. Gea sudah merintih kesakitan, tapi tak kunjung menghentikan aksinya. Gara dengan sigap melerai, menjadi tameng Gea, membiarkan Bu Riawati memukulinya, namun aksi Bu Riawati tak juga berhenti.

"Sini kamu! Kamu harus ibu kasih pelajaran! Umur udah makin tua bukannya makin dewasa, ini pikirannya malah kayak anak kecil. Kamu mau bikin orang tuamu masuk neraka? Huh! Sini kamu, Ge! Sini!"

"Sudah, Bu. Sudah! Kasihan Gea!" Gara memohon.

"Kasihan? Kamu sendiri gak kasihan sama anak saya? Bagaimana bisa kamu tega nyakitin dia? Huh!"

Gara jelas tak bisa menjawab. 

Bukan tak bisa, tapi enggan kalau harus mengakui betapa dangkalnya pemikiran Gara dulu yang membuatnya sampai tega menyakiti Gea seperti sekarang. 

Yah! Gara baru sadar sekarang setelah semuanya terjadi jika perbuatannya memang sudah diluar batas. Kepergian Gea dari Molapar juga menyadarkan Gara betapa ia begitu sulit berjauhan dengan perempuan itu. Hanya sehari tak melihatnya saja sudah membuat dadanya sesak.

"Saya minta maaf, Bu."

Hanya itu yang bisa Gara katakan. Percuma juga rasanya menjelaskan secara detail semua penyesalan yang sedang bercokol di kepalanya. Tak akan mengubah keadaan, bukan? Mungkin Bu Riawati hanya akan menganggap penjelasan Gara sebagai ajang pembelaan diri.

Tidak. 

Gara tak perlu membela diri. Biar saja Bu Riawati memarahinya sepuasnya. Seperti yang sudah pernah Gea lakukan. Ini adalah konsekuensi kecil yang memang harus Gara telan atas perbuatannya pada Gea. Gara menerimanya.

"Jadi, kamu akan tetap tinggal di sini? Bukan pulang ke rumah orang tuamu? Begitu maksud kamu, Gea?" sengit Bu Riawati. “Kamu lebih memilih jadi perempuan murahan hanya demi memelas tanggung jawab dari laki-laki ini?”

"Bu …." Gea jengah juga lama-lama berdebat dengan Ibunya. Sejak tadi ia terus disudutkan. "Mau sampai kapan sih Ibu ikut campur terus hidup Gea? Gea udah dewasa, Bu. Apa perlu Ibu ngatur hidup Gea yang harus sesuai keinginan Ibu? Gea capek kali Bu ngikutin ekspektasi Ibu. Apa gak bisa Ibu sekali aja biarin Gea ngelakuin apa yang Gea mau? Mau Gea shalat atau enggak kek, pakai baju seksi atau enggak kek, itu kan urusannya Gea. Gea udah gede, Bu! Udah bukan anak kecil lagi! Atau Gea harus nikah seperti kata Ibu? Baru Ibu gak bakalan ngusik Gea lagi? Iya? Gitu maunya Ibu?"

"Gea!"

"Enggak, Bu! Gea punya hak mengurus kehidupan Gea sendiri tanpa campur tangan orang tua sekali pun! Mau Gea nikah atau enggak, kapan dan siapa calonnya, itu urusan Gea. Ibu gak berhak ngatur Gea harus nikah umur segini lah, kerjanya harus begitu lah, ibu gak berhak! Jadi, Ibu gak perlu repot-repot mengkhawatirkan hidup Gea lagi mulai sekarang. Karena Gea punya pilihan hidup Gea sendiri!"

Gea menarik koper dari tangan Bu Riawati. Menyeretnya menjauh dari Ibunya, juga dari Gara. Berjalan cepat keluar dari rumah itu.

Gara tak tinggal diam. Dengan cepat berlari menyusul Gea. Berusaha mencegah perempuan itu pergi, namun gagal. Gea bersikeras menyeret kopernya itu terus menjauh dari rumah Gara.

"Kamu mau ke mana? Ke kafenya Pramu lagi?" serbu Gara.

"Terserah aku dong! Suka-suka aku mau tinggal di mana juga."

"Gea, aku gak bisa biarin kamu pergi gitu aja. Aku harus tahu kamu mau ke mana sekarang!"

"Apa pentingnya kamu tahu aku mau ke mana? Huh!"

"Karena …," Gara berpikir keras mencari jawaban. Jangan sampai ia salah kaprah. "Karena kamu sekarang tanggung jawabku!"

Langkah Gea seketika itu juga terhenti. "Terus? Kamu mau minta aku tinggal di rumah kamu lagi? Buat ibuku murka sampai ngatain aku anak durhaka? Ini yang kamu sebut sebagai tanggung jawab? Buat masalah baru?"

"Oke. Begini saja. Gimana kalau … kamu tinggal di rumahku, aku tinggal di tempat lain? Ini masalah sepele sih. Keluargaku punya banyak rumah di kota ini. Jadi–"

"Kenapa sih kamu sampai segininya pengen aku tinggal di rumah kamu?"

Gara merasa malu sendiri disodori tanya itu. Ingin menimpali, tapi Gea keburu memotong.  

"Aku mau cari kontrakan saja dekat mall. Toh aku udah dapet kerjaan baru kan di mall punya kakakmu. Aku masih punya sisa duit kok. Cukup buat bayar kontrakan sepetak. Aku juga punya rasa malu kali kalau terus-terusan ngintilin kamu kayak pelakor beneran."

Gea sudah siap menyeret kopernya lagi ketika Gara tiba-tiba merebutnya. "Biar aku yang anterin kamu sampai dapat tempat tinggal baru. Kalau emang kamu gak nyaman tinggal di rumahku."

Gara berjalan mendahului Gea sambil menyeret koper perempuan itu menuju mobilnya. Ya. Gara serius dengan perkataannya barusan untuk mengantar Gea. Ia harus memastikan Gea mendapatkan tempat yang layak untuk ditinggali.

"Gimana kerjaan kamu? Apa gak masalah kalau kamu gak ke kantor? Kata berita, Molapar kan—"

"Gak masalah! Semuanya aman terkendali kok!"

Tentu saja ini hanya bualan Gara saja. Ia hanya tak mau Gea mengkhawatirkan keadaannya karena kondisi Gea jauh lebih menyedihkan ketimbang dirinya.

Yah … kalau mau ambil jalan pintas mengatasi masalah di Molapar, tentu Gara punya banyak cara. Gara punya banyak koneksi untuk dimintai pertolongan. Walaupun pilihan terburuknya Molapar gagal ia selamatkan, hidup Gara tetap akan berlanjut. Mungkin saja ia akhirnya akan memilih penawaran dari ayahnya?

Tapi, berbeda dengan Gea. Bukan maksud menghina, tapi mendapati Gea yang harus tinggal di atap kafe dan bekerja di kafe milik Pramu, tentu bukan hal yang patut disebut sebagai keberuntungan. Gea terperosok semakin jauh ke jurang kesengsaraan akibat sandiwara perselingkuhan itu. Iya. Gara tahu. Ini ulah dirinya. Dan Gea yang harus kena getahnya lebih banyak darinya.

Andai saja Gara bisa memutar waktu, Gara berjanji tak akan melakukan hal kekanak-kanakkan begini. Sungguh! 

Ah! Sial! Ini semua karena Pramu! Pokoknya laki-laki itu tak boleh dekat dengan Gea! Atau Gara akan kembali terbakar api cemburu dan bertindak di luar nalar lagi. Eh?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro