Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 42 Kerjaan Baru Untuk Gea

Kaki Gea berhenti melangkah saat perhatiannya teralih pada Gara dan Ibunya yang tampak sibuk di area dapur pagi itu. Ia terbangun karena suara bising yang bersumber dari keduanya. Ia pikir Ibu dan anak itu cekcok lagi tadinya.

"Eh? Gea udah bangun?" seru Ibu menyadari kehadiran Gea.

Gea merasa canggung sekali. Masih merasa aneh juga sebenarnya karena bisa diizinkan tinggal di rumah Gara oleh Ibu. Padahal tadinya Gea kira ia akan kena usir, dicap cewek murahan karena selingkuh dengan anaknya, terus terlunta-lunta di jalanan dan jadi gelandangan.

"I–ya, Bu."

Berjalan pelan hendak menghampiri keduanya, langkah Gea langsung terhenti tepat di dekat meja makan. Mulutnya sampai menganga melihat begitu banyak makanan tersaji di atasnya.

"I–ni mau ada pesta atau apa, yah? Makanannya banyak banget!"

Gea terlalu takjub melihat meja penuh dengan menu masakan yang berbeda. Mirip seperti sajian makanan di sebuah pernikahan. Bedanya, makanan yang tersaji di meja ini di atas wadah-wadah kecil. Hanya cukup untuk di santap beberapa orang saja.

"Buat sarapan kita dong!"

Ibu tampak antusias. Berjalan ke arah meja sambil menenteng wadah berisi makanan lain. Disajikan di meja menemani masakan lainnya.

"Dan kamu yang harus ngabisin semua ini, Gendut!" timpak Gara dengan senyuman meledek. Langsung mendapatkan pukulan di punggung dari Ibunya detik itu juga.

"Kamu tuh! Gea udah gak gendut lagi, Gara. Jaga dong mulut kamu itu! Udah gede, tapi kelakuan masih kayak anak kecil."

"Rasain! Emang enak?" kata Gea dengan suara pelan. Tapi gerakan mulutnya dapat Gara lihat dengan jelas. Bahkan senyuman meledeknya juga.

Gea beringsut mendekati Ibu. Memijit bahunya pelan.

"Tapi, Bu. Ini beneran sarapannya kita? Harus langsung dihabisin?"

"Iya dong! Ibu masak sendiri loh, Ge. Udah lama Ibu gak masak bareng Gara. Seneng banget rasanya!"

"Sampai masak kayak orang mau hajatan," sindir Gara yang kemudian mengambil posisi duduk lebih dulu.

"Ya … anggap aja sebagai pesta penyambutan Gea di rumah ini. Iya gak, Ge?" Ibu berupaya membela diri. Ia tak terima disudutkan begini oleh anaknya.

Gea memaksakan diri untuk tersenyum. Diam-diam menatap ngeri masakan yang sudah tersaji di meja. Maunya sih kabur, nyari sarapan lain. Tapi, apa kata Ibu Gara nanti kalau dia bersikap seperti ini?

Malu rasanya.

Sudah diperlakukan baik, harusnya Gea juga memperlakukan Ibu Gara dengan cara serupa, kan? Tapi, kalau harus menyantap seluruh makanan yang tersaji di meja, itu tentu hal mustahil.

"Ayo duduk! Jangan sungkan. Jangan takut juga. Masakan Ibu gak beracun kok!"

Gea takut-takut duduk di kursi. Melihat Gara yang tak sungkan menyendok banyak menu makanan ke piringnya tanpa ragu. Bahkan melahapnya penuh semangat. Memperhatikannya kemudian dengan wajah mengkerut.

"Ngapain diem aja? Buruan sarapan. Mau nyari kerja gak?" sengit Gara yang lagi-lagi mendapatkan pukulan keras Ibunya.

"Jangan gitu sama, Gea. Kamu bikin orang jadi gak nyaman, Gara. Tawari baik-baik! Bukan kayak orang ngajakin ribut."

"Tahu tuh! Kebiasaan banget si Gara ke aku kayak gitu mulu, Bu." Gea mulai mencungkil nasi di wadah sambil terus bicara. "Kayak aku tuh musuh bebuyutan dia aja. Gak ada baik-baiknya sama sekali. Pasti aja ngajakin ribut kalau ketemu."

"Soalnya, kalau gak ngajakin kamu ribut pas ketemu itu kayak ada yang kurang, Ge. Kayak masakan kalau gak di kasih micin rasanya jadi kurang nampol. Mirip kayak gitu lah!"

Gea mengerucutkan bibir sebelum melahap makanan ke mulut. Mengunyahnya sebentar, lalu menelannya.

"Gak capek apa ngajakin orang ribut? Huh!"

"Capek sih. Tapi kalau ribut sama kamu, gak tahu kenapa rasanya gak ada capeknya tuh! Malah ketagihan. Ledekin kamu apalagi! Si anak gajah!"

Gara tertawa terbahak. Tampak puas sekali.

"Ish! Aku bukan anak gajah! Aku manusia, Gara. Punya nama. Namaku itu Gea."

Agenda sarapan itu tiba-tiba jadi bising karena percekcokan Gara dan Gea. Ibu sendiri memilih tak melerai lagi. Toh keduanya tak lupa menyuapkan nasi ke mulut di tengah-tengah percekcokan. Rasanya … hangat sekali.

Ibu merasakan hal berbeda di agenda sarapannya pagi ini. Kali pertama dalam hidupnya, suasana sarapan begitu berisik namun tetap menyenangkan. Percekcokan anaknya dan Gea seperti nyanyian merdu di pagi hari. Tak pernah ia mengalami hal semacam ini dalam hidupnya.

***

"Nanti kalian pulang cepet, kan?" tanya Ibu saat mengantar Gara keluar rumah. Hendak mencari posisi untuk Gea di mall. Kepalanya celingukan memandang ke arah pintu rumah. “Gea ke mana? Kok lama banget mandinya?”

Gara hanya membuang napas berat. “Dandan dulu kali, Bu. Biasa … cewek kan kalau mandi bisa seharian,” katanya beralasan, mati-matian menahan diri untuk tak menyusul Gea ke dalam rumah lagi.

“Oh … bener juga. Tapi, Ga. Ibu kok agak khawatir yah. Gea sarapannya dikit banget tadi. Dia gak sakit, kan? Stres mungkin karena masalah yang kamu buat itu?” cecar Ibu.

Porsi makan Gea nyaris sama seperti porsi makan Gara waktu masih bocah. Sedikit sekali. Belum lagi cara makan Gea tadi tampak seperti orang yang kekenyangan. Tapi tetap saja, Gea sarapan pagi dengan apa karena sejak Ibu bangun, ia tak melihat Gea keluar dari kamar.

“Bu,” wajah Gara tiba-tiba kusut, “mungkin gak kalau Gea itu–”

“Lama, yah?” Teriakan Gea dari arah rumah memotong perkataan Gara. “Aku udah siap!” katanya semringah dengan senyum mengembang menghampiri Gara dan Ibu.

“Lama banget sih!” Gara mendadak sewot. “Mandi kembang dulu atau gimana? Huh! Biar keliatan cantik depan Kak Andri? Percuma! Dia udah punya gebetan! Lebih cantik dari kamu!”

“Ih! Apaan sih? Gak jelas banget! Jadi pergi gak?”

“Jadi lah! Kamu tuh yang mandinya kelamaan!”

“Udah. Udah. Kok malah jadi ribut lagi sih?”

Ibu melerai sebisanya meski tak bisa menghalangi dua manusia itu untuk saling melemparkan senyuman mengejek. Jengkel sih melihatnya, tapi menyenangkan juga. Sudah lama Ibu tidak melihat sisi jahil Gara yang seperti ini. Jika biasanya Andri yang jadi lawan, sekarang malah Gea.

"Ibu harus pulang sekarang. Ayah pasti khawatir,” kata Gara.

Ibu tersenyum tipis. "Kalau dia khawatir, sudah sejak semalam jemput Ibu di sini. Tapi lihat sekarang? Di mana dia?"

Gea salah tingkah. Situasi ini mendadak jadi canggung. Lebih nyaman tadi saat ia dan Gara cekcok. Ibu bahkan sempat tersenyum. Beda dengan sekarang yang malah memasang wajah kusut, seolah tengah menyimpan sesuatu yang tak menyenangkan. Tak etis juga rasanya kalau menyela percakapan. Jadi, dia memilih diam saja sambil tetap mendengarkan.

Gara melirik Gea dengan wajah kaku. Merasakan kecanggungan yang sama. Tak mengira jika Ibunya akan segamblang ini bicara padanya di depan orang asing juga. Apa Ibunya lupa kalau Gea ada di sini? Apakah pantas Ibu bercerita begini di depan Gea? Duh! Gea bakalan mikir apa tentang keluarga Gara coba?

Ibu masih bertahan di depan rumah seperginya Gara dan Gea. Menatap sekeliling rumah anaknya yang bisa dibilang memang lebih kecil dari rumah utama mereka. Tapi, ada kehangatan yang dapat dirasakan Ibu di tempat ini meski baru sehari di sini.

"Permisi!"

Seruan suara asing mengalihkan perhatian Ibu Gara sejenak. Ada sosok perempuan berada di pintu gerbang.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ibu ramah. Senang sekali rasanya bisa menyapa tetangga Gara seperti ini. Wanita itu tetangga Gara, kan?

"Apa benar ini rumah Gara?"

"Iya. Benar." Ibu tampak bingung dengan pertanyaan wanita itu. Agak curiga dan takut juga. "A–ada apa yah?"

"Saya mencari Gea, anak saya. Apa benar Gea di sini?"

***

"Kenalin, Kak. Ini–"

"Gea?" potong Kak Andri cepat. Langsung mengulurkan tangannya sendiri pada Gea.

Gea yang berdiri di samping Gara langsung tersenyum kikuk. Melemparkan tatapan sejenak pada Gara, hanya dibalas oleh anggukan kecil.

Ragu-ragu Gea membalas uluran tangan itu. Anehnya, tangan Andri terasa mencengkeramnya begitu kuat. Belum lagi ketika laki-laki itu hanya menarik satu sudut bibirnya. Menakutkan sekali. Sama persis seperti raut wajah Ayah mereka yang tak bersahabat. Atau … ini hanya perasaan Gea saja? Sepertinya seluruh anggota keluarga Gara punya kebiasaan membuat orang lain takut.

Gea buru-buru menarik tangannya sepersekian detik setelahnya. Meremas tangannya sendiri kuat, masih terasa aneh dan tak nyaman. Ia melirik Gara, namun lelaki itu malah fokus pada sebuah miniatur mobil di tangan.

"Jadi, ada apa ini? Kemarin kamu datang sendiri kesini, sekarang dengan pacarmu? Ada–"

"Aku bukan pacar Gara!" sengit Gea memotong perkataan Andri. Harus! Kalau bukan dirinya yang membela diri, memang siapa lagi? Gara? Cih! Gak mungkin.

"Lalu, kamu siapanya Gara? Kenapa kamu datang ke sini dengannya?" Andri membalas tak kalah sengit dari Gea. Senyuman di satu sudut bibirnya lagi-lagi terbit, menyisakan perasaan takut lagi pada Gea.

"A–aku …," Gea tergagap mencari alasan, "aku … itu man–"

"Gea butuh kerjaan, Kak," potong Gara, melirik Gea sebentar. "Dan ya, dia bukan pacarku atau selingkuhanku seperti yang diberitakan. Pokoknya, aku ingin meminta bantuanmu. Bisa kamu beri Gea satu posisi di mall? Dia butuh pekerjaan tapi tentu saja tidak bisa di Molapar. Kamu mengerti kan maksudku?"

Percakapan dengan Andri tak berlangsung lama. Gara berhasil membujuk kakaknya agar mau mempekerjakan Gea di mall dan akan mulai bekerja esok. Tak ada kendala sama sekali. Gea juga tak mengajukan keluhan apapun atas tawaran yang Andri ajukan.

Aneh menurut Gara. Dulu Gea sempat protes tuh waktu ditunjuk jadi asisten pribadi dengan gaji tinggi. Tapi ini! Ditawari posisi sebagai salah satu SPG outlet dengan gaji rendah dia kok mau.

Tentu saja Gara tak mau mengajak Gea ribut di depan Andri. Bisa repot nanti! Depan Ibunya saja, malah Gara yang kena omel.

"Aku mau keliling dulu bentar. Kamu pulang aja. Mau ke Molapar, kan?" kata Gea sesaat setelah keduanya masuk ke dalam lift. Ia kemudian memencet tombol lain.

Mata Gara memicing melihat lantai mana yang hendak Gea tuju. "Mau ngapain? Belanja? Aku temenin!"

"Apaan sih? Gak jelas banget! Pulang aja sana! Aku bukan bocah yang bakalan tersesat hanya karena keliling mall sendirian."

Untung saja saat itu tak ada siapapun selain mereka di lift. Gea bisa sesuka hati mengoceh pada Gara.

Gara mencebik. "Tadi aja depan Kak Andri kayak orang bego. Sekarang keluar juga tuh cerewetnya. Kok gak protes? Kamu mau jadi SPG outlet setelah jadi asisten pribadiku? Mana gajinya lebih rendah lagi! Kamu gak tahu kerjaan SPG itu apaan? Huh!"

"Gak masalah tuh!" Gea angkat bahu. "Sama-sama kerja jadi pesuruh, kan?"

Wajah Gara langsung kusut. "Gea …." Memanggil perempuan itu dengan putus asa.

"Salah? Jadi asisten kamu tuh gak ada bedanya kayak jadi SPG outlet! Gajinya doang yang beda. Tapi seenggaknya, aku gak perlu ngadepin orang nyebelin kayak kamu yang sukanya nyuruh-nyuruh orang gak jelas! Udah ah! Aku gak mau debat sama kamu lagi. Sana pergi!”

Gea bergegas melangkah pergi ketika pintu lift terbuka. Gara tentu langsung mengekori. Terus memanggil namanya tanpa henti di tengah keramaian. Bikin malu banget! Dan sesuai perkiraan Gea yang kini berjalan mendahuluinya dengan senyum mengembang.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro