Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 40 Tinggal Di Rumahku, Gea

Bab 40 Tinggal Di Rumahku, Gea

“Astaga …,” gumam Gara dalam hati. Dadanya bergemuruh sangat hebat sekarang. Sekuat tenaga ia tetap menopang tubuh Gea yang nyaris terjatuh. Tubuhnya emang berat sih. Tapi … Gara suka. Eh?

Melihat wajah Gea dari dekat begini tentu bukan kali pertama Gara alami. Beberapa bulan bekerja sebagai atasan adalah waktu yang cukup bagi Gara mengenal setiap inci wajah Gea yang sudah berubah drastis ini.

Tak ada bintik jerawat menghitam yang sudah mengering, pipi tembam yang menggemaskan, bibir tipis merah merona, juga aroma khas yang menguar tadi tubuh Gea itu rasanya begitu menyenangkan untuk dihidu.

“Lepasin aku, Gara!”

Gara terhenyak mendengarkan interupsi Gea. Perlahan ia menarik tubuh perempuan itu, tapi tangannya enggan terlepas dari memegangi pinggang Gea.

“Kamu … gak apa-apa, kan?” tanya Gara untuk memastikan.

“Tangan kamu tuh lagi ngapain di pinggang aku terus? Huh!” serbunya.

Gara melepaskan tangannya dengan perlahan. Rela tak rela. Isi hatinya merasakan ada ngilu di dalam sana saat sentuhan itu harus terlepas. Sayangnya, gemuruh di dada Gara malah semakin terpacu. Apalagi ketika Gea juga ikut melepaskan dua tangannya dari leher Gara di waktu yang nyaris bersamaan.

Beberapa detik lamanya mata Gara hanya tertuju pada Gea yang mulai melangkah mundur darinya. Dengan gerakan cepat, Gara mencekal tangan Gea, menariknya hingga tubuh perempuan itu berhambur ke arahnya. Meraih belakang kepala Gea, mendekatkan diri ke arahnya, Gara meraup bibir Gea cepat. Baru menyentuhnya sebentar saja, Gea tiba-tiba mendorong tubuhnya kuat-kuat.

“Gara!” pekik Gea yang kemudian menutup bibirnya. “Apa-apaan kamu? Lancang banget kamu yah!”

Mata melotot Gea tentu tak cukup membuat Gara merasa takut atau merasa bersalah sekalipun. “Aku gak lancang. Ini naluri alami seorang laki-laki kalau bersentuhan dengan perempuan, Gea. Disengaja maupun enggak kayak barusan. Kamu gak tahu?” timpalnya beralasan.

“Maksud kamu apa?”

“Ya … tadi itu …,” Gara tergagap mencari alasan. Agar tak disalahkan sepenuhnya oleh Gea. Karena sungguh! Gara juga terkejut sendiri atas tindakannya barusan yang spontan malah mencium Gea. Entah sebab apa. “Aku kan nolongin kamu. Tangan kamu di leherku, dan tubuh kamu—”

“Stop! Stop! Kenapa malah jadi bahas itu? Apa hubungannya sama tindakan kamu barusan? Huh! Lancang yah lancang aja. Gak perlu banyak alasan!”

“Bukan lancang, Gea. Tapi itu naluri seorang laki-laki yang tentu aja normal. Kalau gak kayak tadi, itu artinya aku gak normal dong!” Kembali Gara beralasan demikian.

“Maksud kamu, kalau kita bersentuhan dikit aja, kamu bakalan cium aku? Gitu?”

“Iya!”

Sialan! Bisa-bisanya mulut Gara bilang begini. Ia malah merasa semangat menanggapi pertanyaan Gea dengan cara itu lagi! Sudut hatinya malah ingin mengulangi kejadian tadi. Kalau bisa, Gea jangan berontak. Diem aja. Gara belum puas menikmati bibir Gea yang terasa basah dan lembut sekali tadi. Meski tak mendapatkan respon serupa dari aksinya, Gara benar-benar suka. Gea hanya perlu diem aja waktu dicium! Itu juga udah cukup kok.

“Ngapain kamu lihatin aku kayak gitu?” Gea langsung melangkah mundur melihat Gara malah diam saja setelahnya. Dengan mata melotot tajam padanya sambil tersenyum miring.

Gara menggelengkan kepala. Melirik sekitar ruangan yang baru disadarinya ternyata super sempit. Bisa dibilang, hanya seukuran kamar toiletnya di rumah.

“Kamu … tinggal di sini sekarang?” tanya Gara mengalihkan topik. Daripada ngebayangin kejadian barusan yang membuat jiwa kelelakiannya meronta, lebih baik dia ngobrolin hal lain saja sebagai pengalihan, kan?

“Gak usah kepo!”

“Kenapa jadi tinggal di sini? Ini ada di atas kafenya si Pramu. Tempatnya juga sempit. Betah tinggal di sini?”

“Emang kenapa kalau aku tinggal di sini? Mau aku tinggal di mana pun, bukan urusan kamu!”

“Kenapa gak di rumah kamu aja? Rumah kamu kan deket dari sini.”

“Ini semua gara-gara kamu sama si Vania itu!” serbu Gea penuh emosi. “Aku diusir dari rumah karena skandalnya kita. Lupa? Puas kamu udah bikin hidup aku makin hancur? Huh! Gak dulu, gak sekarang, tiap ketemu sama kamu itu pasti aja ada malapetaka! Kamu tuh cowok pembawa sial!”

“Kamu beneran di usir dari rumah?”

“Beneran lah! Kamu pikir aku lagi ngarang cerita kayak kamu sama si Vania itu? Mana ada orang tua yang mau mengakui anaknya yang di cap tukang selingkuh, Gara. Gak bisa mikir pake otak dikit apa sebelum bertindak? Jangan seenaknya kayak gini. Kamu gak dirugiin. Tapi, orang lain? Orang lain bisa aja rugi atas tindakan kamu itu kayak aku sekarang!”

Gara benar-benar gak tahu akibat yang harus dialami Gea harus sampai seperti ini. Merasa bersalah tentu tak akan menyelesaikan masalah ini, bukan? Bukan waktunya bagi Gara juga untuk meminta maaf apalagi sampai memohon ampun pada Gea seperti waktu itu. Ini tak ada gunanya kalau Gara tak melakukan tindakan nyata untuk membayar penyesalannya.

“Kalau gitu, kamu terima pemberianku. Kafe ini aku berikan untuk kamu, Gea. Anggap saja sebagai imbalan awal atas semua kesalahanku.”

Gea berdecak sebal. Ia berjalan menuju ranjang, duduk di bibirnya sambil melipat tangan di dada.

“Kamu bener-bener brengsek, Gara. Kamu pikir dengan ngasih kafe ini untuk kamu, masalahku akan selesai?”

“Aku tahu.” Gara berjalan menghampiri Gea. Berjongkok di depannya, meraih tangannya erat, dan menggenggamnya. “Kesalahanku fatal, Gea. Aku …,” Gara malu sekali mengakui ini. Sungguh! Lagi-lagi ia harus di posisi kalah dari Gea. “Aku sekarang sadar kalau yang aku lakuin itu ngerugiin kamu sampai seberat ini, Gea.”

“Tanggung jawab!” sengit Gea. “Jangan cuma ngaku sadar, kamu juga harus punya etika buat mempertanggung jawabkan semua kesalahan kamu itu. Akui semua kesalahan kamu. Sebutin semuanya satu-satu tanpa ada satu pun yang terlewat! Bayar juga semuanya kerugian yang aku alami sampai sekarang. Bukan hanya dengan uang, tapi dengan diri kamu sendiri! Kalau bisa, hancurin diri kamu sendiri!”

Gea benar-benar sudah muak! Menghindar dari Gara, rupanya tetap tak bisa menyelesaikan masalahnya. Menjauh dari Gara, tak merubah apapun! Gea tetap terpuruk!

“Aku harus apa, Gea?” Gara tak bisa menolak.

Lebih tepatnya gak mau. Melihat Gea sampai harus tinggal di tempat Pramu karena diusir orang tuanya, ia tentu saja semakin tak bisa menutup mata dari Gea. Kalau bisa, ia harus membuat Gea tak lagi tinggal di tempat ini!

Gara tak suka.

“Menurut kamu?” tanya Gea balik. “Kamu harus apa? Kamu harus bertanggung jawab sampai semuanya beres!”

Gea juga tak tahu pasti sebenarnya. Apa yang harus Gara lakukan. Bagaimana cara Gara bertanggung jawab atas masalah yang sudah terjadi. Gea beneran gak tahu!

Gimana caranya agar Gea bisa diterima lagi di keluarganya?

Bagaimana cara agar Gea bisa kembali atau lebih bagusnya mendapatkan pekerjaan yang layak?

Menjadi pelayan di Kafe milik Pramu memang bukan hal buruk. Tapi gaji yang Pramu berikan bagi Gea tak cukup untuknya. Minimal, ia harus mendapatkan pekerjaan yang gajinya hampir sama seperti pekerjaannya sebagai asisten pribadi Gara dulu.

Bagaimana cara agar Gea tak lagi di cap sebagai pelakor? Bagaimana pun caranya, Gara harus mencari solusinya! Ia tak mau dipandang buruk seperti itu terus menerus seumur hidupnya. Mana nyaris seluruh lapisan masyarakat lagi mencap dia sebagai pelakor!

Gea sudah mengalami kerugian sebanyak ini!

“Oke. Pertama … kamu gak bisa tinggal di sini lagi, Gea.”

“Maksud kamu apa? Huh! Kamu mau aku jadi gelandangan di luar sana? Huh!”

“Sewa hotel, Gea. Di tempat kayak gini …,” Gara menatap ngeri ruangan serba sempit itu, “kamu gak bisa tinggal di tempat kayak gini terus. Ini bukan tempat yang layak buat kamu tempati.”

“Sewa hotel? Duit dari mana, Gara! Gimana caranya aku bisa sewa hotel? Sambil jual diri?”

“Gea!” Gara merasa tersinggung mendengar Gea mengatakan itu. “Kamu jangan serendah itu! Kamu kan kerja jadi pelayan di kafe ini. Si Pramu ngasih kamu gaji, kan? Pake buat bayar sewa hotel. Tinggal di tempat yang layak dengan fasilitas lengkap. Pokoknya, buat diri kamu seneng!”

“Heh! Kamu pikir gaji jadi pelayan di kafe ini segede gaji presiden apa?!”

“Sialan! Jadi si Pramu ngasih kamu gaji yang kecil? Dan kamu masih mau kerja sama dia? Resign! Kamu gak bisa kerja di tempat yang gajinya kecil sampai harus tinggal di tempat yang gak layak kayak gini. Lebih baik kamu balik lagi jadi asisten pribadiku lagi di Molapar!”

“Gak jauh buruknya! Kerja di sini atau di kamu, sama-sama gak nyenengin!”

“Gea … ayolah …. Aku gak tega lihat kamu kayak gini. Dan aku baru bisa tenang kalau kamu keluar dari tempat ini sekarang juga. Atau … begini saja.”

Gea tak mencoba menginterupsi perkataan Gara. Entah kenapa, rasanya begitu menyenangkan melihat wajah Gara yang tengah panik begini.

Gak tega melihatnya?

Apa ini artinya Gara mengkhawatirkannya?

Setelah semua yang terjadi, dia baru merasa gak tega melihatnya?

Kenapa baru sekarang?

Kenapa gak dari dulu sih?

“Kamu tinggal sama aku. Gimana?”

“Tinggal sama kamu?” Gea tentu terkejut mendengarnya. Ajakan macam apa ini?

“Iya. Tinggal di rumahku. Ada kamar kosong di lantai bawah yang …,” Gara sedikit ragu melanjutkan kalimatnya, “bisa kamu gunakan. Sementara kamarku ada di lantai atas. Aman, kan?”

“Gila yah kamu! Kita udah digosipin selingkuh, terus sekarang malah tinggal bareng? Cari masalah lagi kamu?”

“Ya … terus gimana? Aku bener-bener gak ada ide selain ini!”

“Mana aku tahu! Kan kamu yang tugasnya buat bertanggung jawab. Kenapa aku harus ikut mikir juga? Kamu cowok, kan? Kamu cowok bertanggung jawab, bukan? Kalau kamu cowok bertanggung jawab, kamu tentu tahu harus ngapain!”

Gea menurunkan pandangannya, menatap tangannya yang masih digenggam oleh Gara sejak tadi. Kali ini lelaki itu mengelusnya perlahan, memainkan jari-jemarinya di sana dengan wajah panik.

Entah kenapa, Gea suka sekali sentuhan kecil Gara ini. Sedikit menenangkan hatinya hingga nyaris saja membuatnya ingin menangis.

Apa Gara tak menyadarinya?

“Oke. Kalau gitu, begini saja. Kamu beresin barang-barang kamu. Semuanya! Gak boleh ada yang tersisa satu pun! Pokoknya, kamu gak boleh balik ke tempat ini lagi!”

“Terus setelah itu apa? Kamu mau bikin aku jadi gelandangan?”

“Enggak, Gea. Kita ke rumahku. Biar aku yang tinggal di hotel. Bagaimana?”

“Aku?” Gea terperangah kaget. “Aku tinggal di rumah kamu?”

“Ya. Kayaknya kalau aku biarin kamu tinggal sendirian di hotel, aku gak yakin kamu akan baik-baik aja. Bisa jadi ada orang jahat gangguin kamu di hotel. Kalau di rumahku, sudah terjamin keamanannya. Petugas keamanan selalu patroli di sekitar area rumah secara berkala. Untuk makanan pun, ada pembantu yang biasa datang ke rumah dan mengurus semua urusan rumah tangga di pagi hari aja.”

“Tapi, Gara—”

“Gak usah protes! Kamu mau aku bertanggung jawab dengan caraku, kan? Kamu minta aku mikir sendiri bagaimana caranya. Dan ini caraku!”

Mata Gea nyaris tak bisa berkedip dari menatap Gara.

“Mau beresin barang-barang kamu sendiri atau aku nyuruh orang buat dateng ke sini?”

“Aku … sendiri aja.”

“Oke. Kalau gitu, mana yang mau kamu kemas. Aku bantu biar semuanya cepet beres.”

“Harus sekarang?”

“Ya! Harus sekarang, Gea!”

Karena Gara gak suka Gea tinggal di tempat Pramu!

“Kalau gitu,” Gea menatap tangannya yang masih digenggam erat oleh Gara, “bisa gak kamu lepasin tangan aku dulu? Aku gak akan bisa beres-beres kalau kamu masih pegangin tangan aku, Gara.”

Gara terpaku sebentar melihat tangannya yang begitu erat menggenggam tangan Gea. Entah sejak kapan. Rasanya nyaman sekali. Saat terpaksa harus melepaskannya, perasaan Gara mendadak tak nyaman. Rasanya jengkel.

Membantu Gea berbenah, Gara memilih untuk membawa barang-barang Gea yang hanya berjumlah dua kotak dus kecil ke mobil. Ketika sedang memasukkannya ke dalam bagasi, ia didatangi oleh Pramu.

“Udah beres kan masalahnya?” tanya Pramu. “Jangan pernah datang ke tempat ini lagi, apalagi sampai mengganggu Gea.”

Gara menutup bagasi dengan kasar hingga berdebam. Tersenyum miring pada Pramu yang menatapnya sengit.

“Untuk yang pertama, tentu saja akan aku lakukan. Aku tak akan pernah ke tempat ini lagi! Tapi untuk yang kedua, sepertinya aku tak bisa melakukannya.”

“Kenapa? Kamu belum puas memuat Gea dalam masalah? Huh!” sengit Pramu.

Gara tak langsung menjawab ketika sosook Gea turun dari lantai atas. Mengenakan tas selempang kecil yang tersampir di bahunya. Berjalan mendekatinya dan Pramu dengan wajah masih kusut.

“Gea … kamu mau ke mana?” tanya Pramu tampak panik.

Gea hendak membuka suara, tapi kalah cepat dari Gara.

“Ikut gue!”

“Apa? Ngapain kamu ikut si Gara? Mau ke mana kamu?”

“Tinggal di rumah gue!”

Lagi. Gara yang menjawabnya. Dengan penuh percaya diri tentu saja. Melihat raut wajah Pramu yang tampak kusut, Gara tentu merasa semakin bersemangat ingin terus mengompori.

“Gue batal beli Gedung lo. Tapi, gue mau bawa Gea buat tinggal di rumah gue dan ngasih dia kerjaan yang lebih layak lagi nanti.”

“Aku gak mau kerja jadi asisten pribadi kamu, Gara!” potong Gea cepat.

“Gak akan, Gea.” Gara berbicara lembut pada Gea. “Nanti aku carikan kamu kerjaan selain di Molapar. Tenang aja.”

“Kamu mau tinggal di rumah dia setelah semua yang terjadi? Kamu gila, Gea?” sentil Pramu.

Entahlah. Gea juga gak tahu kenapa ia bisa menurut begini atas tindakan Gara yang katanya ingin bertanggung jawab atas kesalahannya. Cara pertamanya dengan ini. Rasanya mungkin lebih menguntungkan menerima pemberian Gara yang membelikan Gedung ini untuknya. Agar Gea tak perlu bertemu dengan Gara lagi. Tapi, kenapa Gea malah lebih suka dengan ide Gara agar Gea tinggal di rumahnya?

Gila! Gea pasti udah gila! Kenapa dia baru sadar kalau keputusannya ini keliru?

“Diem lo!” sengit Gara yang secara bersamaan meraih tangan Gea. Menggenggamnya erat sekali. “Ini urusan gue sama Gea. Dan lo gak perlu ikut campur! Semakin banyak orang luar yang sok tahu ikut campur, masalah gue sama Gea gak akan pernah beres! Jadi, mending lo diem aja.”

Pramu menyaksikan semuanya dengan perasaan dongkol, tapi ia tak bisa berkutik banyak. Karena Gea saja begitu pasrah ketika di bawa oleh Gara dari tempat itu.

Entah kenapa.

Entah apa yang Gara lakukan sampai Gea jadi bersikap aneh seperti ini.

Bagaimana bisa Gea mau-mau saja tinggal dengan orang yang sudah menghancurkan hidupnya?

To be continued ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro