Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 39 Aku Turuti Semua Kemauanmu, Gea

Bab 39 Aku Turuti Semua Kemauanmu, Gea

Bangun-bangun kepala Gea sudah berasap. Panas sekali rasanya. Sampai segelas minuman dingin yang Pramu sajikan saja tak cukup meredakan baranya. Apalagi tiap kali Gea menoleh pada Gara yang tengah bertopang dagusambil menatapnya dengan senyuman tanpa dosa itu. Panas sekali rasanya. Sampai segelas minuman dingin yang Pramu sajikan saja tak cukup meredakan baranya. Apalagi tiap kali Gea menoleh pada Gara yang tengah bertopang dagusambil menatapnya dengan senyuman tanpa dosa itu.

Ya Tuhan … kenapa sih Gea harus berurusan dengan cowok gak punya otak kayak Gara lagi? Benar-benar gak bisa ditebak kayak orang gila kelakuannya. Padahal kan Gea udah jelas-jelas bilang sama Gara kalau urusan mereka udah selesai yang artinya gak perlu ketemu lagi kayak gini kan. Apa jangan-jangan cowok itu juga budeg selain gak punya otak? Apa isi kepalanya itu udah gak berfungsi lagi dengan baik?

“Kamu beneran udah beli Gedung ini?” tanya Gea. Mengintrogasi kebenarannya lagi. Memastikan saja takut ia salah paham.

Tapi, Gara malah mengangguk dengan senyum mengembang. “Sedang dalam proses. Jadi mulai sekarang, kamu gak perlu tuh disuruh-suruh sama nih cowok,” katanya sambil menunjuk Pramu yang duduk di antara keduanya. “Suruh dia gantiin semua kerjaanmu. Kamu hanya tinggal duduk manis dan nikmati hasilnya aja. Biar nih anak aja yang kerja keras.”

“Aku tak akan menyetujuinya!” Dengan tegas Pramu memberikan jawaban yang langsung ditanggapi Gara dengan delikan tajam.

Gea menepuk jidat. “Kenapa kamu ngelakuin hal kayak gini, Gara? Molapar aja gak becus buat kamu urus. Sekarang kamu malah nambah masalah dengan beli Gedung beserta kafenya?”

“Kamu yang akan mengurus kafe ini mulai sekarang Gea. Bukan aku. Jadi kesuksesan kafe ini ada di tanganmu. Gak ada hubungannya sama Molapar kok.”

“Tapi, aku gak minta dan aku gak mau! Lagian aku juga gak tahu apa-apa soal kafe. Gimana caranya aku bisa mengelola bisnis ini? Huh!

“Kan ada dia!” Gara menunjuk Pramu. “Biar dia saja yang kerja. Sementara kamu, hanya tinggal tunggu hasilnya aja. Anggap saja sebagai pemasukan tambahan kamu selain bekerja di Molapar lagi, Ge.”

“Aku udah gak kerja di Molapar lagi, Gara. Jangan ngomong aneh-aneh kamu!”

“Siapa bilang? Kamu belum resmi keluar dari Molapar.”

Nah! Ketahuan juga maksud kemunculan Gara untuk apa. Benar-benar gak punya malu emang tuh cowok!

“Kamu pergi dari sini sekarang juga!” bentak Gea. Ia menarik tangan Gara, berusaha menyeretnya keluar, namun laki-laki itu tentu saja berontak. Tak begitu saja menurut pada Gea.

“Gea, dengerin dulu. Aku janji bakal nurutin semua kemauan kamu, asalkan kamu mau balik ke Molapar. Serius, Ge! Aku butuh bantuan kamu. Molapar kacau balau sekarang!”

Gea nyaris saja menaruh rasa iba kalau saja ia tak langsung menatap wajah Gara yang tampak tak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Malah tersenyum padanya dengan sangat lebar.

“Bodo amat! Itu bukan urusanku! Kacaunya Molapar kan hasil dari ulah kamu. Kenapa aku harus ikut bantuin kamu? Huh! Giliran susah aja, pengen dibantuin. Giliran senengnya, bikin rugi orang. Sana pergi!”

Gea menarik Gara sekuat tenaga keluar dari kafe. Entah mendapatkan kekuatan sebesar itu dari mana, sampai ia mampu menarik tubuh lelaki itu dengan kekuatannya sendiri.

Gea segera mengunci rapat pintu kafe dari arah dalam. Mengabaikan Gara yang masih memanggilnya dari arah luar.

“Ge, kamu yakin mau nolak tawaran dia?”

Sengit Gea menatap Pramu. “Kamu bilang hubunganku sama Gara toxic, kan? Berarti gak salah dong aku nolak tawaran dia biar aku sama Gara gak perlu ketemu lagi?”

“Memang. Tapi, di satu sisi kamu juga butuh kerjaan, kan?”

“Masih banyak kerjaan yang bisa aku lakuin kok. Belum ada aja mungkin. Yang pasti, bukan kerja sama Gara atau siapapun yang berhubungan sama Gara.”

Tekad Gea tentunya tak semudah yang dibayangkan. Sebulan berlalu, ia masih tak kunjung mendapatkan pekerjaan baru setelah menolak tawaran Ibu Gara dan Gara. Alasannya selalu sama, mereka tak mau menerima Gea karena skandalnya. Padahal apa hubungannya skandal Gea yang sudah berlalu itu dengan pekerjaan coba?

Aneh! Orang-orang zaman sekarang tuh kok mudah banget sih menilai seseorang hanya karena melihat dari luar aja. Hubungan Gea dan Gara juga bisa dibilang gak berlanjut seperti yang diduga, bukan? Popularitas Vania bahkan semakin meroket gara-gara masalah ini. Dia sering wara-wiri di layar kaca menceritakan skandalnya dengan Gara yang katanya menjadi kisah paling menyedihkan abad ini. Dan tebak saja siapa kambing hitamnya?

Gea!

Gea makin terkenal sebagai pelakor dan semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Kenapa rasanya kayak Gea saja yang tertimpa musibahnya sementara yang lain untungnya?

Lalu, bagaimana dengan Gara? Apa dia bisa menjalani kehidupannya lebih baik dari Gea?

Entahlah. Gea sudah lama tak melihat laki-laki itu. Bersyukur tapi juga kesel. Ada dan tidak adanya laki-laki itu, Gea masih tetap punya masalah yang berkaitan dengan dia secara gak langsung.

Nyebelin banget pokoknya!

Mana hubungan Gea sama orang tuanya juga masih belum membaik lagi. Kacau banget pokoknya hidup Gea!

“Pulang aja kali, Ge. Kalau begini, nanti kamu beneran dikira salah loh.” Zara memberi nasehat. Cukup masuk akal, tapi Gea tak mau ambil risikonya juga.

“Terus kalau nanti diusir lagi, sakit hatiku jadi makin nambah. Aku gak mau nambah dosa, Za. Pake nantangin diri, tapi ujungnya malah sakit hati. Gak boleh kan benci sama orang tua sendiri?” Gea beralasan.

“Kalau kata aku sih tunggu Ibu telepon aja. Toh si Pramu kan udah laporan kalau kamu sementara ini tinggal di lantai atas kafenya. Berarti aman, Ge. Ngebayangin alasan mereka ngusir karena apa, aku sih ngewajarin. Gak semua orang bisa percaya kalau kamu beneran bukan selingkuhan si Gara karena beritanya udah tersebar luas. Di tambah si Vania itu doyan banget ceritain kisah cintanya itu.”

Tania tampaknya mendukung pendapat Gea. Memeluk perempuan itu yang kian hari kian kurus saja kelihatannya.

“Sabar yah, Ge. Percaya deh sama Tuhan. Dia pasti bakalan kasih balasan sama orang yang salah dan ngasih hadiah buat orang yang bener.”

Sesekali berkumpul di kafe di jam malam, sedikit mengobati perasaan Gea yang belum sepenuhnya damai. Meski seluruh dunia mengutuknya sebagai pelakor, setidaknya masih ada sahabat-sahabatnya yang mempercayainya.

“Si Gara beneran gak ngabarin lagi, Ge? Ngilang gitu aja?” tanya Zara sambil mengunyah potongan kentang goreng di piring.

“Bagus dong! Itu artinya dia punya rasa malu tuh sekarang.”

Pramu mengangguk, tapi beberapa detik kemudian menggeleng. Ekor matanya menangkap sosok tak asing masuk ke dalam kafe. Zara dan Tania juga ikut menangkap kehadiran sosok laki-laki itu. Kecuali Gea yang saat itu posisi duduknya tepat membelakangi pintu masuk kafe.

“Kayaknya enggak deh,” bisik Tania. Keningnya langsung mengerut melihat Gara membawa sebuket bunga berukuran besar di tangan.

“Pasti punya—aaacih!” Gea seketika itu bersin. Beberapa detik setelah sebuah buket bunga besar ada di depan matanya. Muncul tiba-tiba dari arah belakang.

Ketika Gea menoleh dengan hidung sengaja ia tutup, matanya seketika membola melihat keberadaan Gara.

“Gara! Ngapain kamu di sini?”

“Terima dulu,” balas Gara sambil menyodorkan buket bunga itu lebih dekat pada Gea, namun Gea malah menarik mundur tubuhnya menjauh. “Loh? Kok malah ngejauh sih?”

Gea berdecak sebal. “Aku alergi bunga, Gara! Buang sana bunganya!” bentaknya.

“Kamu alergi bunga?”

Gea tak menggubris. Ia terburu-buru keluar dari kafe karena merasakan hidungnya teramat gatal. Bersin beberapa kali di luar kafe, ia memutuskan pergi ke atap. Toh jadwal kafe buka sudah berakhir. Dan ia juga tak punya urusan dengan Gara. Mungkin kan Gara datang ke kafe sebagai pelanggan Pramu? Biar dia saja deh yang melayani.

“Gea! Tunggu!”

Gea semakin mempercepat langkahnya ketika melihat Gara malah keluar dari kafe, lalu mengekorinya. Terburu-buru hendak menutup pintu, tapi Gara kalah cepat menahan pintu tempat tinggal sementara Gea dengan tangannya.

“Aaaarrrggghhh!!! Tanganku, Ge! Kejepit!” teriak Gara kesakitan. Menunjuk tangannya yang berada di antara garis pintu yang nyaria tertutip. “Sakit, Ge!!!”

Gea dengan terpaksa membuka pintu rumahnya. Buru-buru ia menutup pinti ketika Gara sudah berhasil menarik tangannya. Namun dengan gerakan cepat, Gara malah mendorong pintu itu sekuat tenaga hingga membuat Gea nyaris tersungkur ke lantai, kalau saja Gara tak cepat-cepat menangkap tubuhnya. Dengan dua tangan Gea di bahu Gara, sementara dua tangan Gara menyangga pinggang Gea erat.

Dunia Gea terasa terhenti saat itu juga!


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro