Bab 37 Cuma Minta Maaf?
Bab 37 Cuma Minta Maaf?
“Ngapain Ibuku ngajak kamu ke rumah? Kalian ngobrolin apa?”
Gara langsung mencecar Gea beberapa detik setelah mobil melaju.
“Kalau aku jawab semua pertanyaan kamu, kamu gak akan turunin aku tiba-tiba di tengah jalan lagi kayak waktu itu, kan?”
Gea hanya belajar dari pengalamannya saja menjadi asisten pribadi Gara. Laki-laki itu punya mood yang mudah berubah. Kalau udah marah, Gea bisa ikutan rugi. Apalagi ini udah malem. Gak lucu juga kan kalau dia harus terdampar di tengah jalan gara-gara kasus serupa?
“Gak akan, Gea.”
Gea mengacungkan jari kelingkingnya ke depan Gara. “Janji?”
Gara malah menepis tangan Gea. “Gak usah kayak anak kecil. Kamu bisa pegang kata-kataku.”
“Aku mana bisa pegang kata-katamu setelah kamu bikin aku terkenal jadi pelakor?” singgung Gea. “Mulut kamu itu lebih tajam dan menakutkan ketimbang pisau. Sekali ucap, bisa bikin aku langsung mati!”
Gara menarik napas. Terasa ada yang mengganjal di hatinya. “Aku …,” terbata-bata ia mengurai kata, “a—aku … minta maaf, Gea.”
Tangis Gea seketika itu juga tumpah. Ini memang yang ingin ia dengar dari Gara. Rasa penyesalan dari laki-laki itu setelah membuat hidup Gea hancur berkeping-keping. Dibenci orang tua, saudara, bahkan sampai masyarakat.
Ia harus pandai-pandai menyembunyikan identitasnya saat bekerja part time di kafe, belum juga mendapatkan panggilan pekerjaan baru lagi, sampai ia malu sekali bertemu banyak orang. Gea mendadak jadi terasing padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun.
Tapi, minta maaf saja tak cukup membuat Gea puas. Masih ada rasa benci, kesal, dan amarah yang terus merongrong. Sampai rasanya ingin sekali Gea mengusik Gara yang sedang mengemudi, lalu membuat mobil yang mereka tumpangi sekarang jatuh ke jurang dan mereka pun mati bersama.
Bukankah itu lebih baik ketimbang mati sendirian? Masih mending kalau Gara yang mati. Gea akan puas melihat musuh bebuyutannya itu akhirnya mendapatkan balasan yang setimpal.
“Cuma minta maaf?” sinis Gea. “Minta maaf kamu gak akan bisa balikin kehidupanku yang udah kamu buat hancur berantakan, Gara. Aku diusir dari rumah dan dipandang negatif oleh semua orang, termasuk karyawan di Molapar. Sampai rasanya aku mau bunuh kamu sekarang juga! Padahal harusnya kamu sama si Vania itu yang kena karma. Kenapa malah aku yang gak bikin kesalahan apa-apa yang kena imbasnya? Kalian bener-bener pasangan yang serasi! Sama-sama setan!”
“Kamu butuh kompensasi berapa? Aku akan berikan jika itu bisa membayar semua kesalahanku. Untuk karyawan di Molapar, kamu gak perlu khawatir. Posisimu itu asistenku, jadi mereka tak akan bisa mengusikmu. Dan aku sama Vania udah putus. Aku nyesel karena udah bikin semuanya kacau.”
Gea berdecih sinis. “Cuma itu yang ada di otak kamu? Kamu bener-bener gak punya hati yah, Gara. Kompensasi sebesar apapun gak akan bisa ngubah keadaanku! Dan aku gak akan pernah mau kembali jadi asistenmu. Mau kamu putus atau enggak sama si Vania, itu semua gak akan bisa bikin imageku di mata semua orang berubah! Tahu?”
“Terus kamu mau aku kayak gimana? Hari ini Molapar kena masalah. Mendadak banyak pesanan di cancel. Aku juga kesulitan, Gea!”
“Itu akibat yang harus kamu terima, Gara!”
“Ayolah, Gea …. Kamu gak perlu setega ini. Aku udah minta maaf dan mengaku menyesal. Aku juga bersedia melakukan apapun untuk menebus kesalahanku ke kamu. Tapi, apa gak bisa kamu balik ke Molapar? Aku butuh kamu.”
“Kamu bener-bener gak punya otak, yah. Turunin aku di sini! Lama-lama aku benerah bisa bunuh kamu karena harus ngobrol gak penting begini!”
“Kamu tadi minta aku gak nurunin kamu di tengah jalan, kan? Kenapa sekarang malah minta aku nurunin kamu di tengah jalanan sepi begini?”
“Hentikan mobilnya, Gara!”
Gara menggeleng. “Aku udah janji ke kamu tadi. Aku gak akan turunin kamu dari mobil.”
“Aku bilang berhenti, Gara!”
Gara menggeleng . “Enggak! Aku gak mau turunin kamu di tengah jalan lagi kayak waktu itu.”
Gara menarik tuas, menginjak gas dalam-dalam, melajukan mobil dengan kecepatan sangat tinggi. Mika sampai memegang tali self-belt yang melingkar di tubuhnya karena takut. Gara mengemudikan mobilnya seperti orang kesurupan, tapi wajahnya tampak tenang sekali. Beberapa kali menyalip mobil besar, membunyikan klakson lebih banyak, tak membiarkan Gea bisa bersuara sepatah kata pun. Dan mobil baru berhenti ketika sudah tiba di rumah Gara.
“Ngapain kamu bawa aku ke sini? Emang gak niat nganterin aku pulang? Harusnya bilang dong dari tadi! Dasar penipu!” gerutu Gea yang langsung keluar dari mobil.
“Masuk dulu.”
“Gak usah. Aku mau pulang.”
Langkah Gea seketika itu terhenti ketika tangannya dicekal erat dan ditarik paksa oleh Gara ke dalam rumahnya. Berulang kali berontak, hasilnya nihil.
“Kamu gak akan punya kekuatan ngelawan karena kamu kurus kayak gini, Gea. Daripada tenaga kamu habis, mending kamu gak usah berontak. Aku bawa kamu ke sini untuk bicara baik-baik, bukan berbuat hal yang macam-macam. Daripada kita ngobrol di luar dan dilihat banyak orang, terus jadi bahan gosip lagi, mending aku bawa kamu ke sini dan kita ngobrol baik-baik, kan?”
Gara baru melepaskan cekalannya ketika sudah memastikan Gea berada di dalam rumahnya. Ia tak mau membuat masalah makin rumit kalau salah mengambil tindakan. Berbicara secara pribadi di tempat yang aman seperti ini merupakan solusi terbaik, bukan?
“Ibu ngomong apaan ke kamu sampai ngajakin kamu ke rumah?” tanya Gara dengan pertanyaan yang tadi belum dijawab Gea.
“Dia nawarin aku kerjaan.”
“Ibu?”
“Iya. Jadi asistennya dengan bayaran dua kali lipat dari gaji yang kamu kasih ke aku. Katanya banyak bisnis yang harus dia urus dan dia butuh asisten lagi.”
“Kamu bilang ke Ibu kalau kamu resign dari Molapar?”
“Ya.”
“Terus cerita apa lagi?”
“Semua. Soal berita kamu.”
“Dan Ibu percaya?”
“Kayaknya. Kalau enggak, mungkin dia udah nuduh aku beneran selingkuhan kamu tadi.”
Gea merasa bangga sekarang, bisa sedikit bersikap sombong pada Gara. Ternyata tak ada buruknya juga dia mengikuti Gara sampai di sini.
Lihat saja tingkah Gara sekarang. Wajahnya tampak begitu panik. Bahkan Gea mendengar laki-laki itu mengumpat beberapa kali.
“Kenapa? Kamu emang gak cerita apa-apa sama Ibu soal berita ini? Dia harusnya lebih percaya omongan anaknya, kan?”
“Belum sempet.”
Lebih tepatnya sih belum berani. Munculnya skandal ini tentu bukan bagian dari rencana Gara sebelumnya. Ia hanya sedikit berimprovisasi, tapi ternyata masalahnya malah semakin parah dan merugikannya.
Ayahnya saja bahkan tak menghubunginya atau memarahinya saat berita ini mencuat ke publik. Padahal biasanya, ayahnya ini paling gak suka kalau ada berita menyinggung soal keluarga Ningrat.
Dari Andri, Gara mendapatkan pembenaran dari semua terkaannya ini. Dan sekarang diperparah oleh Ibunya sendiri yang tampaknya sudah percaya pada Gea. Belum mencoba bicara pada Ibunya saja, Gara sudah kehilangan rasa percaya diri.
Benar kata Gea. Kalau ibunya tak percaya pada Gea, sudah pasti ibunya akan menuduh Gea yang enggak-enggak, kan? Tapi nyatanya, ibunya malah menawarkan pekerjaan pada Gea dengan gaji lebih besar.
Kalau begini ceritanya, Gara benar-benar sedang dalam masalah yang serius.
“Udah, kan? Cuma ini yang mau kamu obrolin ke aku?” sengit Gea. Semakin puas melihat Gara yang tak bisa berkata apa-apa menimpali kebenaran yang diungkapnya. Entah apa yang sedang dipikirkan laki-laki itu sekarang. Wajahnya tampak kusut sekali.
“Kalau gitu, aku mau pulang.”
Gea sudah siap berbalik badan ketika Gara tiba-tiba mencekal lengannya lagi. Menahan langkahnya.
“Gea … a—aku … aku ….”
“Urusan kita selesai sampai di sini. Kamu urusi masalahmu, aku mengurus masalahku sendiri. Kalau kamu emang gak bisa bantu aku keluar dari masalah yang kamu buat itu … gak masalah. Aku udah biasa kok ngadepin masalah yang disebabkan oleh kamu sejak dulu. Aku udah kebal! Ngadepin cowok gak punya otak sama hati kayak kamu!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro