Bab 3 Dimulai dari Kamu
Gara menopang dagu di atas meja, matanya lurus menatap perempuan yang sejak tadi duduk di depannya. Meja kerja yang menyekat mereka tak cukup mampu membuat Gara mengubah keyakinannya kalau wanita itu memang Gea yang ia kenal.
Namanya, tatapannya, wajahnya, sampai suaranya juga sama. Tapi ... tubuhnya beda. Dia beneran si perut donat itu? Masa sih? Kok bisa jadi langsing begini? Operasi lemak? Operasi wajah? Bisa jadi!
Meski begitu, pipi tembam Gea tetap membuat wajah bulatnya masih tampak menggemaskan. Gara sampai tak bisa menahan diri dari mencubit pipi perempuan itu.
"Aw!" Gea memekik nyaring sambil memegangi pipi kanannya yang baru saja Gara cubit. Secara tiba-tiba. "Sakit tahu!" dumelnya jengkel.
Gara tersenyum penuh kemenangan. "Anggap aja itu balasan karena kamu tadi nginjek kakiku!" timpal Gara membela diri. "Kamu beneran Gea? Si anak gajah itu, kan? Kok bisa jadi langsing kayak gajah kelaparan begini?" cecarnya menyudutkan. Sambil terkekeh sinis.
Wajah Gea langsung kusut mendengar hal itu. "Aku anak manusia, bukannya anak gajah!" bentak Gea kesal.
Gara angkat bahu. "Jadi, kamu staf di bagian pemasaran, yah?"
"Ya," jawab Gea cepat. "Jadi, Pak Gara mau mendiskusikan hal penting apa dengan saya sampai memanggil saya ke sini?"
Gea berusaha memposisikan diri bahwa saat ini ia tengah berhadapan dengan CEO Molapar, bukan orang yang telah merundungnya dulu. Gea berusaha keras tak mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan dan semoga saja Gara juga berpikiran hal sama dengannya.
"Hmm ...." Gara lagi-lagi menopang dagu lagi, namun perhatiannya kini bukan pada Gea. "Kayaknya gak ada yang tahu penampilan kamu itu dulunya gimana. Kamu gabung ke perusahaan ini pas udah gak gendut lagi?" terkanya asal-asalan tapi begitu percaya diri.
"Kenapa jadi bahas ini? Ini hal penting yang mau Pak Gara diskusikan dengan saya?" Gea naik pitam. Intonasi bicaranya meninggi secara spontan. Detik itu juga ia lupa kalau orang yang sedang ada di depannya itu CEO-nya sendiri.
"Gak usah sok formal begitu!" protes Gara.
Bibir Gea merapat demi meredam emosinya yang tiba-tiba meluap dengan cepat. "Terus mau kamu apa? Kerjaan saya banyak! Kalau saya di sini cuma duduk-duduk doang, lebih baik saya kembali ke ruangan saya. Banyak kerjaan yang harus saya kerjakan!"
Gea sudah beranjak dari kursi, siap keluar dari ruangan itu sekarang juga. Mengira memang tak ada hal penting yang ingin Gara bicarakan dengannya karena sejak tadi pertanyaan Gara bukanlah seputar pekerjaan. Gea enggan meladeni.
"Gimana rasanya udah jadi langsing?" tanya Gara. Lagi-lagi melontarkan tanya yang tak berhubungan dengan pekerjaan. "Ngerasa cantik gak sekarang? Ada yang ngajakin pacaran belum? Jangan-jangan masih ngejomblo aja kayak dulu!"
Gea mendelik sinis pada Gara yang tengah mengoloknya dengan tanya-tanya itu. Ia hendak menimpali pertanyaan itu, tapi Gea buru-buru bungkam. Rasanya percuma.
Gara yang ada di hadapannya sekarang adalah orang yang merundungnya dulu. Semakin diladeni, lelaki itu pasti akan semakin bersemangat mengusiknya. Sindiran tadi hanya bagian kecil dari kebiasaan Gara yang sering memanggilnya 'si perut gendut' atau 'si anak gajah'.
"Ada banyak tugas yang harus saya selesaikan. Saya permisi, Pak Gara."
Gea tak mau menggubris keusilan lelaki itu. Dengan menganggapnya sebagai atasan saja bagi Gea sudah lebih dari cukup. Pokoknya Gea tak mau mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Titik.
"Aku punya foto-fotomu waktu dulu masih gendut. Mau lihat?" Gara rupanya pantang menyerah untuk menyudutkan Gea. "Sekalian kita nostalgiaan. Kita cari seberapa banyak perbedaan antara kamu yang dulu sama yang sekarang. Mau?"
Gea baru berjalan beberapa langkah saat mendengar perkataan Gara barusan. Ia spontan berbalik badan sambil mengentakkan kakinya. Langsung melemparkan tatapan sengit pada lelaki itu sambil menggebrak meja kerjanya dengan keras.
"Mau kamu apa sih sebenernya panggil aku ke sini, Gara?" Gea tak bisa tinggal diam. "Bully aku lagi kayak dulu? Buat apa? Huh! Kamu udah dewasa kan sekarang? Apa untungnya kamu giniin aku?"
Kedewasaan seseorang sepertinya tak bisa ditentukan oleh umur. Ia dan Gara memiliki umur yang sama. Kepala tiga! Tapi sayangnya, tingkah laku Gara sama sekali tak berubah. Malah masih sama seperti ketika ia berumur tujuh belas tahun. Sama persis menurut Gea! Lihat saja tingkahnya sekarang.
Caranya menyudutkan, mengejek, yang mungkin bagi orang lain terdengar seperti candaan biasa saja, tak sepatutnya dilakukan orang yang sudah berumur macam Gara, kan?
Bayangkan saja! Selama tiga tahun di sekolah yang sama, Gea harus terus-menerus mendapatkan gangguan dari lelaki itu. Gea bukan orang kaya yang bisa pindah tempat ke sekolah lain seenaknya. Ia mati-matian bertahan berada di sekolah yang sama dengan si perundung itu. Lalu sekarang apa? Ia malah bertemu lagi dengannya?
Sialan! Kenapa hidup Gea harus sesial ini sih?
Gara mengetuk-ngetuk badan meja kerjanya. Menopang dagu dengan senyum mengembang. Tak terintimidasi meski Gea sudah menunjukka ekspresi marah padanya.
"Siapa juga yang bully kamu? Jangan baper deh, Ndut!"
Wajah Gea semakin menegang. "Namaku Gea!" katanya penuh nada penekanan.
"Oke. Oke. Gea Ananda. Kamu gak usah baper gitu dong!" Gara bangkit dari kursi dan perlahan berjalan mendekat ke arah Gea.
Baper?
Gara selalu beralasan demikian kalau Gea mulai berontak. Dulu. Dan kini pun, situasinya tak jauh berbeda. Kata itu seolah-olah merupakan pembenaran bagi tindakannya.
Siapa yang baper?
Gea seperti ini karena akalnya masih sehat!
"Gak bisa bedain mana becanda dan mana serius? Aku kayak gini karena kita saling kenal. Secara kebetulan kita juga rekan kerja di sini. Aku sebagai atasannya dan kamu sebagai bawahannya. Sebagai CEO baru di Molapar, aku lagi nyoba buat akrab sama karyawan di sini yang dimulai dari," Gara menunjuk muka Gea, ujung jari telunjuknya tepat menyentuh kening Gea sebelum kemudian menekannya dengan kuat, "kamu!"
Lihat, kan! Cara bicaranya memang lembut, tapi cermati baik-baik kata-kata yang dilontarkannya. Penuh dengan intimidasi!
Gea menepis tangan Gara yang berani menyentuh keningnya dengan kasar. "Jauhkan tanganmu dariku!" pekiknya kesal.
"Wah! Wah! Wah! Gea yang sekarang kok jadi galak begini, yah?" Sekali lagi Gara menyentuh kening Gea. Menekannya lagi sampai Gea tak berani lagi menepisnya. "Kenapa? Ngerasa paling cantik? Ngerasa udah paling sempurna yah sekarang?"
Gea hanya mampu mendelikkan mata tajamnya pada Gara, tapi mulutnya begitu sulit membuka suara satu patah kata pun sekarang.
Seringai tipis Gara yang terbit malah membuat dua bola mata Gea berkaca-kaca. Nyaris tumpah kalau Gea tak buru-buru memalingkan wajah, meredam segala ketakutan dan emosinya yang kini tengah meluap-luap.
"Mau kamu apa sebenernya?" tanya Gea dengan nada suara gemetaran. Semakin membuat nyali perempuan itu ciut menghadapi Gara yang entah memiliki tujuan apa sebenarnya memanggilnya ke sini. "Ini cara kamu biar bisa akrab sama karyawanmu? Dengan mengolok-olok?"
"Memangnya aku mengolok-olok kamu tadi?" Gara angkat bahu. "Enggak kan? Aku malah muji-muji kamu loh tadi."
Dua tangan Gea saling terkepal. Siap untuk melayangkannya ke wajah Gara yang sejak tadi tak berhenti tersenyum lebar.
Ini benar-benar mimpi buruk bagi Gea!
To Be Continuead ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro