Bab 22 Atasan Gendeng!!!
“Kita ke bandara jemput Vania!”
Atasan gendeng! Katanya gak perlu ikut campur urusan pribadi. Tapi ini malah ngajakin Gea jemput Vania. Ini namanya apa coba kalau bukan IKUT CAMPUR URUSAN PRIBADI ATASAN?
“Aku gak mau!” tolak Gea yang baru saja menyajikan segelas kopi di atas meja Gara. Pesanan lelaki itu beberapa menit yang lalu. “Kopinya gimana? Kamu mau pergi sekarang?” protesnya tak terima karena melihat Gara tengah sibuk mengenakan kemejanya. Tampaknya ia serius dengan perkataannya tadi.
“Buruan! Kita udah telat!” Gara meneguk kopi yang tadi disajikan Gea sedikit. Alisnya tampak terangkat sebentar saat menaruh kembali gelas itu di meja. “Kali ini kopinya enak, Ge,” katanya sambil menyemai senyum tipis. Gara bahkan sampai menepuk pelan bahu perempuan itu. “Aku tunggu di depan gerbang utama. Gak pake lama!” sambungnya penuh nada penekanan.
Mulut Gea terbuka sempurna mendapatkan perlakuan demikian dari Gara. Hendak menolak ajakan lelaki itu, tapi urung melakukannya. Jadinya dia cuma bisa ngedumel jengkel karena perkataan Gara hari kemarin dan hari ini benar-benar tidak konsisten.
“Katanya kemarin gak usah ikut campur urusan pribadi. Kenapa sekarang malah ngajakin aku jemput si Vania segala ke bandara?” serbu Gea sesaat setelah ia duduk di dalam mobil. Ia mendelik sinis pada Gara, bermaksud mengejek ketidakkonsistenannya dalam berucap. Tapi lelaki itu malah senyum-senyum saja seolah sindiran Gea tak berarti apa-apa.
“Emangnya jemput orang di bandara itu bagian dari ikut campur urusan pribadi?” Gara memutar gagang setir. Sebentar melirik Gea dengan seulas senyum tipis.
“Jemput pacar atasan sendiri bukan urusan pribadi?” Gea malah balik bertanya.
“Bukanlah! Bagian mana sih yang kamu maksud urusan pribadi? Cuma nemenin jemput doang juga!”
“Kenapa harus ditemenin segala coba?”
“Untuk mencegah hubungan kami diketahui publik!” katanya dengan nada rendah.
Kening Gea mengerut keras. “Maksud kamu apa sih? Kalau emang hubungan kalian gak mau diketahui sama publik, ya gak usah jemput-jemput segala dong! Simple!”
Gara membuang napas pendek. “Kamu pikir aku gak sependapat sama kamu?”
“Lah, terus?”
“Cewek itu emang bikin pusing!”
“Maksudnya aku?”
“Vania, Gea. Maksudku dia!”
“Bikin pusing kenapa emang?”
“Yah ... seperti kata kamu tadi. Katanya gak mau hubungan diketahui publik, tapi pengen dijemput di bandara. Bikin pusing, kan?”
“Itu sih cewek kayak dia doang yang bikin pusing! Nyebutnya jangan cewek dong! Perkataan kamu itu seolah-olah menggambarkan kalau semua cewek itu bikin pusing kayak dia.”
“Emang gitu kok kenyataannya! Mantan-mantanku kebanyakan bikin pusing kayak dia.”
“Kasihan!” cibirnya. “Kesialan kamu aja sih itu karena ketemunya cewek-cewek tukang bikin pusing.”
“Sialan! Ngeledek kamu?”
“Bukan! Tapi menghina!”
“Kamu makin berani ngelawan yah sekarang? Dulu kayaknya kamu gak seberani ini, Ge.”
Gea termenung beberapa saat mendengar perkataan Gara barusan. Sedikit menyadarkannya juga sebenarnya. Entah dari mana keberaniannya ini muncul. Bahkan tadi Gea sempat menolak mentah-mentah ajakan Gara, meskipun ujungnya sih gak ada gunanya sama sekali. Tapi jika membandingkan dirinya dulu dan sekarang ketika berhadapan dengan Gara, Gea juga jadi merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Sekarang ini Gea merasa memiliki keberanian untuk memberontak.
Apakah ini akibat Ibu Gara yang membelanya kemarin?
Bisa jadi sih. Yah ... meskipun pemberontakannya berakhir KEGAGALAN.
Gea angkat bahu. “Emang kenapa kalau aku berani ngelawan sekarang? Gak dosa, kan?”
Gara terkekeh tipis. “Gak dosa sih. Tapi ... banyak juga yah perubahan yang terjadi sama kamu. Selain dari fisik yang awalnya kayak gentong.”
“Mulai ngeledek ceritanya? Gak bisa gitu berhenti bully orang? Kamu udah dewasa, Gara. Udah berumur! Gak kapok diomelin ibu kamu kemarin? Mau aku aduin lagi?”
“Dih! Siapa juga yang bully kamu, Ge. Lihat nih! Aku udah panggil nama kamu dengan benar, kan? Cuma bahas kamu yang dulu itu kayak apa emangnya termasuk bully? Bully masa lalu maksudnya?” Gara tergelak keras sekali. "Gitu aja baperan! Jangan apa-apa disebut bully dong! Kamu harus tahu pembulian itu artinya apa. Jangan mentang-mentang ibuku bela kamu juga yah!”
“Emang apa arti bully sebenarnya?” tantang Gea.
Gara malah tergagap. “Ya ... itu, Ge. Melukai orang secara verbal maupun fisik. Contohnya itu kayak mukulin, hina-hina kekurangan orang lain, dan yang sejenisnya gitu deh.”
“Nah! Kamu tadi itu baru aja menghina fisikku dulu yang kamu bilang kayak gentong! Itu juga pembulian, Gara! Pembulian secara verbal! Mau itu aku di masa lalu atau aku yang sekarang, tetap aja hinaan kamu itu termasuk pembulian! Kamu pikir aku gak tahu apa itu pembulian? Huh!”
“Ya udah sih! Aku juga udah minta maaf juga kemarin. Kenapa sekarang malah dibahas lagi?"
"Itu karena kamu jelek-jelekkin aku lagi, Gara! Percuma dong kamu minta maaf juga kalau ternyata kamu malah bully aku lagi sekarang. Gak ada gunanya tuh permintaan maaf kamu yang kemarin! Semuanya palsu!”
Bener-bener deh si Gea! Dia makin berani aja sama Gara sekarang. Gak ada takut-takutnya! Gara sampai terperangah kaget dengan reaksi Gea barusan yang bahkan dengan berani mengumpatinya.
Sialan! Kayaknya Gea makin tinggi hati nih karena dibela oleh Ibunya waktu itu waktu ngaku kalau Gara bully dia. Berani benar dia ngadu ke ibunya. Mana Gara sampai harus minta maaf segala lagi! Tahu bakal kayak gitu, Gara gak bakalan bawa Gea ketemu Ibunya. Bener-bener bikin malu. Awas tuh nih cewek! Gak akan Gara biarin si Gea merasa menang lama-lama.
***
“Ayaaang!!!”
Teriakan perempuan itu bukan hanya menyita perhatian Gea dan Gara saja, tapi juga orang-orang yang ada di sekitar area dalam bandara itu. Hampir semuanya berpaling pada manusia berbalut hoodie dan kaca mata serba hitam berlari kencang menuju Gara. Dalam waktu singkat berhambur memeluknya.
“Aku kangeeeennnn!!!” Manusia yang mengenakan setelan serba hitam dari ujung rambut hingga kakinya itu rupanya adalah Vania.
“Lepas, Van! Kita masih di bandara,” bisik Gara sambil menepuk punggung Vania. Perlahan menarik diri dari pelukan itu. “Gimana kalau ada yang lihat? Kamu bilang kita harus menjaga hubungan kita agar tak diketahui publik, kan?”
Vania melepas kacamata hitamnya. Menurunkan tudung hoodie yang tadinya menutupi sebagian kepalanya, menampilkan rambut sepinggangnya terurai sempurna.
“Kenapa kamu lepas kacamatamu?” Gara panik. Ia celingukan memandang sekitar. Ada beberapa orang tampak mengarahkan kamera pada mereka. “Mereka kenal kamu, Vania!”
“Gara!” Vania tiba-tiba saja mengalungkan tangannya di leher Gara. “Aku udah pikirkan baik-baik. Sepertinya, aku gak mau lagi menyembunyikan hubungan kita.”
“Apa?” Gara dan Gea secara bersamaan menyahut.
Vania yang semula tak menyadari keberadaan Gea, kini jadi melirik perempuan itu.
“Siapa kamu? Ngapain di sini? Nguping pembicaraan orang?” sinis Vania. “Atau jangan-jangan, kamu sengaja mata-matain kita, yah? Ngaku aja! Kamu wartawan?”
Gea buru-buru menggeleng. Ingin cepat menyela, namun perhatiannya teralihkan oleh orang-orang sekitar yang mulai merangsek mendekati mereka. Lengkap dengan ponsel mengarah pada mereka tentu saja.
Sadar kalau mereka kini tengah menjadi pusat perhatian banyak orang, Gara buru-buru menarik tangan Vania.
“Bawa kopernya, Ge!” perintah Gara tiba-tiba. Menarik koper dari tangan Vania, lalu mendorongnya ke arah Gea.
Untung saja Gea sigap menahannya. Dengan raut wajah kusut, ia mengekori dua orang itu sampai di dalam mobil.
“Kamu duduk di belakang, Ge!” perintah Gara lagi ketika ia hendak membuka pintu mobil bagian depan.
Vania yang melihatnya juga tampak keheranan. “Loh? Katanya asisten pribadi kamu. Dia gak bisa nyetir?”
“Kita ngobrolnya di jalan aja! Ayo buruan masuk!”
Vania dan Gea saling melempar pandang sebentar ketika keduanya berjalan saling melewati. Tatapan sinis Vania tentu cukup mengusik Gea yang seketika langsung berpaling dan buru-buru masuk ke dalam mobil.
“Mana manager kamu?” serbu Gara pada Vania yang baru saja duduk di kursi di sampingnya. “Dia gak bareng kamu lagi?”
Vania mendesah pendek. “Biasalah! Dia ngurusin dulu banyak hal gitu. Aku males nungguin, jadi minta pulang duluan aja.”
“Kamu harusnya pulang bareng dia, Van. Itu lebih aman!”
“Kan aku minta jemput kamu, Yang ....”
“Tetep aja! Gimana kalau di pesawat terjadi apa-apa. Atau ... kamu ketemu orang jahat misal yang kenal kalau kamu itu artis?”
Vania tergelak keras sekali sampai membuat Gea kaget sendiri. “Ya ampun, ayaaaanggg ... mulai deh overprotektifnya! Aku bukan bayi juga kan yang harus dijagain terus. Suka deh kalau kamu udah khawatir gitu!”
Satu cubitan mendarat di pipi Gara. Lelaki itu tampak tersenyum tipis menanggapinya.
“Itu karena aku gak mau terjadi apa-apa sama kamu, Van.” Gara beralasan.
“Ayaaang ih ... bikin aku makin seneng aja deh bikin ayang khawatir.”
“Kamu tuh yah! Orang serius kok tanggepannya malah kayak gitu!”
“Ayaaanggg ....”
Mata Gea membola sempurna yang sedetik kemudian seketika tertutup. Menutup dalam waktu yang cukup lama. Ia baru membuka matanya ketika jendela mobil di sampingnya terbuka dengan sengaja.
Menjijikkan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro