Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16 Percaya Diri

Dipertemukan karena sama-sama punya nasib buruk tentu bukan hal yang patut dibanggakan. Tapi itulah pemicu sebenarnya kenapa ia dan Pramu bisa bersahabat dekat sampai sekarang. Tidak seperti pertemanannya dengan Tania dan Zara yang baru terjalin di bangku kuliah. Bisa dibilang pertemanannya dengan Pramu terjadi lebih awal. Dekat karena sama-sama korban bully Gara.Dipertemukan karena sama-sama punya nasib buruk tentu bukan hal yang patut dibanggakan. Tapi itulah pemicu sebenarnya kenapa ia dan Pramu bisa bersahabat dekat sampai sekarang. Tidak seperti pertemanannya dengan Tania dan Zara yang baru terjalin di bangku kuliah. Bisa dibilang pertemanannya dengan Pramu terjadi lebih awal. Dekat karena sama-sama korban bully Gara.

Pramu yang lebih dulu melakukan perubahan. Maksudnya, dialah yang pertama kali terpikir untuk melakukan diet. Usaha Pramu sampai mendapatkan proporsi tubuh ideal seperti sekarang disaksikan langsung oleh Gea dulu. Dari mulai rutin olahraga, mengatur pola makanan sehat, sampai melakukan beragam jenis perawatan wajah.

Orang asing tentu akan terkejut melihat perbedaan Pramu dulu dan sekarang. Gea saja kadang merasa asing ketika bertatap muka dengan Pramu. Macam bertemu dengan tokoh idol saja. Ganteng banget, sumpah!

Seperti klip video singkat yang tengah Gea lihat sekarang yang menampilkan secara nyata perubahan wajah Pramu dari dulu sampai sekarang. Entah apa tujuan Pramu membuat video tersebut, karena yang pasti Gea sekarang tersadar kalau Pramu sudah mengalami banyak sekali perubahan.

“Ini ... kamu, kan?” Gea nyaris tergelak. Terlalu kagum oleh cuplikan video yang seperti potongan film pendek seseorang saja. “Serius deh, Pram. Aku bahkan udah hampir lupa wajah kamu dulu kalau kamu gak nunjukkin video ini. Ngapain sih pake bikin beginian segala? Gak ada kerjaan banget!”

“Aku udah posting video ini sejak seminggu yang lalu dan viewersnya juga udah banyak. Beberapa orang malah memosting ulang di laman mereka.”

“What? Cerita kamu viral gitu?”

Pramu angkat bahu. “Gak viral-viral juga sih. Karena bukan cuma aku doang yang pernah ngalamin kejadian kayak gini. Dulunya gendut, terus kurus. Bukan hal yang tabu lagi seseorang mengalami perubahan besar, Gea. Malah para netizen sering banget ngasih komentar ‘semua orang akan glow up pada waktunya'.”

“Terus? Maksudnya nunjukkin itu ke aku apa? Kamu mau pamer kalau sekarang kamu itu udah dikenal banyak orang?” Gea terkikik. “Udah ada yang ngajak kenalan belum? Minimal DM gitu,” godanya.

“Bukan cuma buat pamer, tapi sekalian promosiin Kafe Mati Rasa biar makin banyak pelanggannya.”

“Wah! Bener! Cerdas banget sih, Pram! Kok bisa kamu mikir sejauh ini?”

“Aku serius, Gea. Maksudku nunjukkin ini bukan cuma buat pamer. Tapi buat nunjukkin ke kamu biar kamu makin percaya diri sama perubahan kamu. Kamu gak perlu takut sama ancamannya si Gara. Banyak kok orang diluaran sana yang mengalami hal yang sama kayak kita! Kamu harus lebih percaya diri! Jangan takut dibully sama orang yang nantinya tahu dulu itu kita kayak apa badannya. Udah gak penting juga, kan? Karena yang terpenting itu adalah kita sudah berubah sekarang. Berubah menjadi lebih baik!”

Gea terpaku mendengarkan cerocosan Pramu yang sayangnya masuk ke telinga kiri namun keluar lagi lewat telinga kanan. Gea tak sepakat dengan pendapat Pramu. Kasusnya ini berbeda! Sangat berbeda!

“Kamu bisa percaya diri nunjukkin perubahan kamu dulu sampai sekarang, sama kayak orang lain juga. Aku salut! Kalian hebat! Tapi ... untukku itu sulit, Pram. Bukan hal yang mudah buat percaya diri nunjukkin kekurangan ke orang lain. Aku bukan kamu atau teman-teman kamu yang punya rasa percaya diri tinggi. Bukan! Aku yah aku. Gea Ananda!”

Pendapat Gea memang tak salah. Juga tak keliru. Pramu tahu ia tak bisa memaksakan Gea menjadi seperti dirinya, seperti apa yang Gea katakan. Ia hanya berusaha membuat temannya itu agar lebih percaya diri. Ketimbang terkungkung dalam ketakutan, Pramu ingin Gea menjadi sosok yang lebih berani menghadapi masalahnya, terutama yang berhubungan dengan Gara.

“Jadi, sekarang gimana? Kamu mau di sini atau pulang ke rumah atau balik ke kantor Molapar? Aku harus buka kafe bentar lagi. Kamu bisa diem di sini kalau mau, tapi gak gratis. Kamu harus bantu aku beres-beres kafe!”

Pramu menjitak puncak kepala Gea yang dibalas gadis itu dengan usaha untuk memukul. Sayangnya, Pramu berhasil menghindar. Akibatnya malah terjadi kejar-kejaran di antara keduanya. Gea yang mau membalas dendam atas perlakukan Pramu, tapi Pramu yang berhasil menghindar.

Hingga tiba-tiba terdengar derit pintu kafe terbuka yang tentu saja berhasil mengalihkan perhatian keduanya. Bukan hanya membuat aksi kejar-kejaran keduanya berhenti, tapi sukses membuat Gea ingin sekali menghilang dari muka bumi sekarang juga akan kemunculan Gara di ambang pintu kafe sana. Melipat tangan di dada dan tersenyum miring.

“Oh! Jadi kamu di sini, Ge?”

Mampus!

***

Sialan! Rupanya aku dikerjai oleh dua anak gendut itu!” gerutu Gara kesal.

Oh, ya! Gara hampir saja lupa. Sekarang ini Pramu dan Gea kan udah gak gendut lagi.

Gara harus menyebut mereka apa sekarang?

Pangeran tampan dan Putri cantik dari Negeri dongeng?

Mereka malah lebih mirip seperti sepasang kekasih yang tersesat di belahan bumi Indonesia. Siang hari tampak rupawan, namun malam harinya bisa jadi mereka berubah menjadi monster berkulit hijau, bertubuh besar dan jelek.

“Ka—kamu ....”

Gea tampak gugup sekali. Apalagi ketika Gara malah melangkahkan kakinya memasuki kafe itu tanpa banyak bicara. Lelaki itu menarik kursi yang ada di depan meja barista, duduk di sana sambil melihat papan menu kafe.

“Latte satu, Pram.” Gara menoleh pada Pramu dan Gea yang masih bergeming di tempatnya. “Kenapa malah bengong begitu?” Sengit Gara mengarahkan padangan pada Pramu.

“Kafenya belum buka, Gara.”

Gara langsung turun kembali dari kursi dengan dagu terangkat. Menyelipkan dua tangan di saku celana, lalu memandang Pramu dan Gea secara bergantian.

“Oke. Kita pergi sekarang, Gea.”

Gea cukup terkejut mendengar namanya disebut. Sampai Gara berada di ambang pintu kafe yang sudah dibukanya kembali, perempuan itu masih bergeming di tempat. Menyadari hal itu, Gara batal melangkahkan kakinya keluar kafe.

“Kenapa malah diem?” protesnya. “Ayo pergi! Bawa barang-barangmu sekalian!” perintahnya dengan mata melotot. Ia sampai mengarahkan jari telunjuknya juga. “Cepat sana!”

Gea kelabakan sendiri. Tergesa-gesa mengambil barang-barangnya yang sudah Gara berikan pada Pramu, mengikuti perintah Gara yang baru saja memergoki keberadaannya di sini.

“Ge!” tegur Pramu memperingatkan. Ia sampai menggeleng agar Gea tak bertindak apapun, apalagi mengikuti perkataan lelaki itu.

Tersadar bahwa tindakannya ini justru malah terasa keliru, Gea mematung bingung di antara Pramu dan Gara yang berada di dua sisi berbeda. Yang satu menatap sengit, yang satunya lagi memasang raut wajah kusut. Sama-sama tidak memberikan Gea pilihan terbaik.

“Buruan, Gea Ananda!!!”

Gea cukup terkejut karena tiba-tiba saja Gara menghampirinya, menarik tangannya cukup erat, lalu menyeretnya keluar dari tempat itu. Tak memberikan Gea kesempatan untuk mengelak saking terkejutnya.

Bukan hanya terkejut, tapi ia juga takut. Gea tahu apa kesalahannya. Keberadaan Gara sekarang tentu keliru. Ia tadi berusaha untuk bersembunyi, menghindari Gara yang datang ke kafe dengan dalih mengembalikan barang-barangnya pada Pramu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Gara pasti akan melampiaskan emosinya sekarang. Dari caranya menyeret saja, Gea sudah merasa linu. Entah omelan macam apa yang mungkin dikeluarkan oleh lelaki itu karena Gea berani berbohong. Memasuki mobil Gara kembali rasanya seperti masuk ke dalam kendang singa. Siap tak siap diterkam oleh mangsanya.

“Kamu laper gak?”

Gea termangu mendapatkan pertanyaan itu sesaat setelah mobil melaju.

“Hah? Laper?” Gea sampai mengulang pertanyaan Gara tadi. Takut salah dengar.

“Iya. Tadi kita gak sempet makan banyak di acara pernikahan.” Gara tampak melirik jam di tangan. “Ini juga udah mau masuk jam makan siang.”

Gea masih diam. Memerhatikan Gara dari samping dengan wajah bingung. Waspada saja. Jangan-jangan pertanyaan sok baik ini malah berujung tidak baik, kan? Tumben-tumbenan cowok itu nanya dulu. Kemarin-kemarin itu sukanya malah langung ngasih perintah segala.

Pasti ada apa-apa nih. Gea wajib curiga!

“Gimana kalau kita makan siang dulu sebelum balik ke kantor?” tanya Gara lagi. Ini pertanyaan kedua yang Gea dengar seperti pertanyaan maut.

Mengandung jawaban menyeramkan!

“Makan siang?” Gea tak yakin kalau makna dari ajakan ini berlaku untuknya juga. “Kamu mau makan siang di mana? Aku turun di sini saja kalau gitu. Biar aku makan siang di kantor aja.”

Gara langsung menoleh dengan mata menyipit. “Kok makan siang di kantor? Aku ngajakin kamu makan siang sebelum balik ke kantor. Kita makan siang dulu di luar, Gea.”

“Hah? Kita? Makan siang bareng?”

“Iya, Anak Gajah! Kita makan siang bareng. Cepat cari restoran enak deket sini di mana! Gak pake lama!”

Dengan penuh nada penekanan Gara menegaskan perkataannya. Tapi hal itu justru malah menimbulkan tanda tanya semakin besar pada diri Gea.

Kenapa kita harus makan siang bareng?

To be continued ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro