(78) 8. Air Mata dan Tawa, Itulah Yang Membuat Hidup Bewarna 3
Farrel ditawari S2? Ke Seoul? Itu artinya?
Belakangan ini hanya pertanyaan itu yang memenuhi benak Esy. Sesuatu yang membuat ia sulit tidur bermalam-malam dan justru menakutkannya untuk bangun di keesokan hari. Bagaimana bila Farrel mengirimnya pesan berisi kabar bahwa ia menerima tawaran itu?
Esy senang. Sungguh ia senang dengan pencapaian Farrel. Namun, ia tak bisa membayangkan bila Farrel pergi sejauh itu.
Kali ini tidak akan ada keajaiban. Tidak akan ada mukjizat. Mereka benar-benar akan berpisah.
Ting!
Denting halus itu membuat Esy melirik pada ponsel di atas meja. Sejenak ia bergeming, kemudian barulah ia bangkit dengan lesu. Berjalan dengan langkah gontai dan seketika matanya membesar saat melihat bahwa itu adalah pesan Farrel.
Esy menahan napas. Ia membuka pesan itu dengan takut-takut.
[ Farrel-ku ]
[ Sy, kamu mau ke kampus nggak hari ini? ]
[ Kamu mau bimbingan KRS kan? ]
"Ya Tuhan," lirih Esy.
Kali ini Esy benar-benar lunglai dan terduduk di lantai. Kedua kakinya seolah tak lagi bertenaga untuk ketakutan yang sempat ia rasakan beberapa saat. Ia pikir Farrel akan mengatakan soal S2 itu, tapi ternyata bukan.
Esy meneguk ludah. Dengan tangan gemetaran, ia membalas.
[ Farrel-ku ]
[ Iya, jam sembilan. ]
Hanya butuh waktu dua detik dan Esy mendapatkan balasan pesannya.
[ Farrel-ku ]
[ Oke. ]
Esy butuh waktu beberapa detik. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengusap wajah. Bangkit perlahan, ia memutuskan untuk mulai bersiap.
Sekitar pukul setengah sembilan, Farrel sudah tiba di kos Esy. Ia memberikan klakson sekali dan Esy keluar.
"Sy?"
Esy mengerjap. Mengambil helm bahkan sebelum Farrel memberikan padanya.
"Ya?"
Farrel mengerutkan dahi melihat Esy. "Kamu baik-baik saja kan? Apa kamu sakit?"
"Nggak kok," jawab Esy seraya mengenakan helm dan langsung naik ke atas motor. "Ayo."
Motor melaju. Menuju ke kampus dalam perjalanan yang lamanya tak seberapa itu, Esy dan Farrel sama-sama membisu. Bahkan sampai mereka tiba di parkiran belakang Gedung Jurusan, keduanya tetap tidak bicara sepatah kata pun.
Esy menaruh helm di stang motor. "Aku masuk dulu, Rel."
Itulah satu-satunya kalimat yang Farrel dengar dari Esy sebelum cewek itu beranjak meninggalkannya seorang diri di sana. Farrel menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk abai pun rasanya tidak bisa.
Esy mengambil sendiri helmnya. Ia tidak berceloteh seperti biasanya. Ia pun tidak becermin terlebih dahulu.
Tiga hal itu sudah lebih dari cukup untuk Farrel mengetahui bahwa Esy sedang tidak baik-baik saja. Tentu, ia tahu apa penyebabnya dan untuk itu, tak ada yang bisa ia lakukan.
Esy sadar bahwa ia tak seharusnya bersikap seperti itu. Namun, ia refleks. Tubuhnya seolah bertindak di luar kendali.
Pun Esy sama sekali tidak berniat untuk memasang sikap jutek pada Farrel. Oh, Tuhan. Bagaimana mungkin bisa ia bersikap seperti itu pada seseorang yang sudah ia sukai dari dulu?
Aku harusnya nggak boleh gitu. Kasihan Farrel.
Langkah Esy berhenti. Tepat di depan ruangan Zidan dan ia mencoba untuk menguasai diri.
Esy menarik napas. Tersenyum lebar. Lalu ia mengetuk.
"Masuk."
Itu adalah bimbingan KRS Esy yang kedelapan kali. Diawali oleh ucapan selamat dari Zidan karena Esy berhasil lulus Rancangan Percobaan.
"Bagaimana perasaan kamu setelah lulus Rancob?" tanya Zidan seraya membuka laptop. "Saya pikir kamu akan kembali datang ke ruangan saya dan menanyakan apakah nilai kamu keliru atau nggak."
Esy mengulum senyum. Mungkin saja ia akan melakukan itu andai tak ada kabar mengenai tawaran S2 yang Farrel dapatkan.
"Sebenarnya saya memang mau menemui Bapak, tapi belakangan ini ruangan Bapak kosong terus. Sepertinya Bapak sedang sibuk."
Zidan mengangguk samar. "Ya. Saya memang sedang banyak kerjaan di luar," jawabnya singkat. "Jadi semester ini kamu akan mengambil Metil?"
Metodologi Penelitian adalah mata kuliah di atas Rancangan Percobaan. Untungnya tidak ada angka ataupun hitung-hitungan di sini. Alih-alih penalaran yang dimaksudkan untuk membentuk cara berpikir mahasiswa.
"Iya, Pak."
"Metil ini tidak sesusah Statistika dan Rancob. Seharusnya kamu bisa melewatinya dengan lancar tanpa harus masuk semua kelas Metil," ujar Zidan.
Esy tersenyum kaku. "Maaf, Pak. Saya lebih baik masuk empat kelas seminggu daripada harus ngambil mata kuliah yang sama sebanyak empat kali."
"Nggak apa-apa. Lagi pula setiap orang memang berbeda," kata Zidan seraya membuang napas sekali. "Kamu mengerti?"
Mengangguk, Esy menyadari sesuatu. Bahwa malu dan rendah diri sudah tidak ada di dalam kamus kehidupannya. Ia bahkan tak peduli bila ada orang yang mengatainya di belakang perihal kebiasaannya yang kerap masuk empat kali dalam seminggu.
Tidak. Esy sudah tidak memedulikannya lagi. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ia menyisakan sedikit sesal di dalam hati.
Seandainya saja aku terlahir lebih pintar. Mungkin aku nggak akan ketinggalan sejauh ini. Di saat orang-orang mulai sibuk penelitian, aku baru akan kuliah Metil. Bahkan aku nggak bisa apa-apa dengan kenyataan Farrel yang ditawari lanjut S2.
"Setiap orang memiliki proses dan jalannya sendiri."
Suara Zidan membuat Esy mengerjapkan mata. Membuat fokusnya yang sempat lenyap beberapa detik, datang kembali.
"Jangan pernah memusingkan proses dan jalan orang lain. Kamu pikirkan saja proses dan jalan kamu sendiri."
Esy diam. Di hadapannya, Zidan tampak menyisihkan sejenak laptopnya yang telah menyala.
"Biarkan orang dengan proses dan jalan mereka. Biarkan mereka berproses dan melewati perjuangan mereka. Dan kamu? Kamu pun berproses dan berjuang di jalan kamu sendiri."
Dari kacamata seorang dosen pembimbing, memastikan motivasi mahasiswa untuk selalu hidup adalah salah satu kewajiban. Pembimbing akademik bukan sekadar menyetujui KRS atau memberikan tanda tangan. Lebih dari itu ada tanggung jawab yang harus ditunaikan.
Pun bagi Zidan, perjuangan Esy selama ini membuat ia kagum. Alhasil ia tak ingin bila Esy justru merasa rendah diri dengan kenyataan teman-temannya yang sudah penelitian.
"Ini jalan kamu. Berbeda dengan jalan orang lain. Jadi jalani saja semuanya dengan sebaik mungkin," ujar Zidan lagi. "Jalani dengan penuh tekad dan kerja keras. Dengan begitu kamu nggak akan pernah menyesal."
Wajah Esy tertunduk, tapi ia tetap mengangguk.
"Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih."
Zidan meraih laptopnya kembali. "Jadi ... cuma Metil yang kamu ambil semester ini?"
"Iya, Pak."
Lantaran hanya satu mata kuliah yang akan Esy ambil maka sesi konsultasi pagi itu berlangsung singkat. Tak sampai setengah jam, Esy keluar dan lantas menunggu Farrel di parkiran.
Farrel menghampiri Esy sekitar sepuluh menit kemudian. Lalu keduanya memutuskan untuk langsung pulang ke kos karena memang tidak ada keperluan lain di kampus.
"Farrel."
Farrel mengerjap saat mendapati Esy menyodorkan helm padanya. Sempat mengira bahwa Esy akan menaruhnya langsung seperti pagi tadi, Farrel dibuat tergugu sejenak.
"O-oh."
Farrel menyambut helm Esy. Pada saat itu, ia dengar Esy berkata.
"Kamu harus terima tawaran Pak Nathan, Rel."
Farrel pikir ia salah mendengar. Jadi ia bertanya. "Apa?"
"Kamu harus terima tawaran Pak Nathan," ulang Esy dengan tersenyum. "Kamu harus lanjut S2."
Hening sejenak. Seolah Farrel butuh waktu untuk merenungi baik-baik perkataan Esy.
"Kamu jangan ragu buat lanjut. Apalagi kalau kamu ragunya gara-gara aku."
Ada sekelumit geli yang membuat mata Esy menghilang. Terlebih lagi ketika ia lanjut berkata.
"Aku GR banget ya?"
Farrel bergeming. Mengabaikan usaha Esy yang mencoba untuk melucu, ia justru tampak amat serius.
"Kamu bilang apa, Sy?"
Pertanyaan dan nada suara Farrel membuat Esy membuang napas panjang. Ia menyerah. Ia tak bisa memaksa diri untuk tetap merasa itu lucu sementara yang terjadi adalah sebaliknya.
"Aku ingin kamu lanjut S2, Rel," ujar Esy seraya menatap Farrel. "Aku ingin kamu terus berproses dan berjuang di jalan kamu."
"Esy."
"Ini jalan kamu. Jadi kamu harus melewatinya. Dengan penuh tekad dan kerja keras."
Sungguh bukan hal yang mudah untuk Esy mengatakan itu. Namun, ia tidak akan lupa akan satu hal.
"Kamu ingat apa yang pernah kamu bilang ke aku dulu?" tanya Esy tanpa menunggu jawaban Farrel. "Kamu bilang kalau kamu senang karena aku bisa menemukan sendiri jalan hidup aku."
Itu adalah masa-masa suram Esy. Ketika ia dihadapkan pada dua pilihan. Bertahan di Pertanian atau pindah. Sekarang anehnya ia justru tersenyum saat mengenang masa itu.
"Ini adalah jalan aku. Dan aku menjalaninya dengan penuh tekad. Juga kerja keras. Untuk itu semua, aku nggak akan pernah menyesal walau harus tamat lebih lama dari yang lain."
Rasanya Esy tak mampu lagi. Getir perlahan hadir. Berupa satu titik ternoda yang timbul di pangkal tenggorokannya.
"Jadi aku harap kamu juga begitu, Rel."
Esy menatap mata Farrel lekat. Dari sana, Farrel mendapati sorot yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sesuatu yang membuat ia bisu seribu bahasa.
Ada lengkungan yang hadir di wajah Esy. Membentuk seuntai senyum manis yang berusaha menahan desakan air mata. Ia terlihat kuat, tapi juga lemah dalam waktu bersamaan. Lantaran satu keinginannya berperang melawan ego.
Namun, ada satu hal yang memberikan kekuatan bagi Esy. Satu hal yang menggema di benaknya.
Ini demi Farrel. Apa pun demi Farrel, itu bisa kamu lakukan, Sy.
Alhasil tak ada lagi keraguan di hati Esy. Bahkan ketika sebutir air matanya jatuh, akhirnya ia bisa berkata.
"Tentukan jalan kamu."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro