Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(47) 3. Takdir Baik Takdir Buruk, Tetap Saja Adalah Takdir 16

"Farrel."

Bukan hanya Farrel, alih-alih Esy pun menoleh ketika ada satu suara yang memanggil nama itu. Mereka kompak melihat pada Dira. Cewek itu tersenyum dan menghampiri keduanya yang baru saja tiba di parkiran. Bahkan helm di kepala Esy pun belum dilepas.

"Kamu baru sampe?" tanya Dira seraya tersenyum pada Farrel.

Esy langsung manyun. Melepas helm dan memberikannya pada Farrel. Tepat ketika cowok itu mengangguk.

"Iya. Baru saja."

Dira melirik sekilas pada Esy. Tentulah ia menangkap ekspresi tak senang yang terpancar di wajahnya. Tapi, Dira justru memberikan senyum seolah tak ada apa-apa.

"Oh ya. Aku baru ingat. Ada yang mau aku diskusikan soal tugas Rancangan Percobaan minggu lalu," kata Dira kemudian. "Kita bisa diskusi bentar? Sebelum kelasnya dimulai."

Tak perlu ditanya. Manyun di wajah Esy semakin menjadi-jadi. Kali ini bibir bawahnya maju satu sentimeter.

"Ehm."

Tak langsung menjawab, Farrel melihat pada Esy. Ia membuang napas panjang. Sikap itu membuat Esy memasang ekspresi merajuk. Hingga ia pun langsung memutuskan untuk pergi dari sana.

Bola mata Farrel membesar melihat Esy yang pergi tanpa mengatakan apa pun. Refleks, ia berseru.

"Sy!"

Langkah Esy berhenti. Ia memutar tubuh dan menatap tajam pada Farrel.

"Apa?"

Farrel mengerjap. "K-kamu mau ke mana?"

"Mau ke mana?"

Bola mata Esy berputar dengan kesal. Lalu ia menukas.

"Mau ke kelas Benih. Ya kali mau ke kondangan."

Tuntas mengatakan itu, Esy langsung lanjut melangkah lagi. Berjalan meninggalkan parkiran, masuk ke gedung kuliah, dan merutuk di dalam hati.

Memangnya dia nyuruh aku tetap di sana sambil lihat Dira. Rel, aku mau diskusi. Rel, jangan lupa jemput aku. Rel, Rel, Rel. Ih! Dasar genit.

Bibir manyun Esy berkedut berulang kali. Ia berani bersumpah. Menahan keinginan untuk mengumpat terang-terangan adalah hal yang sulit.

Esy membuang napas panjang. Tepat ketika ia tiba di depan ruang dua belas. Ia mencoba untuk menenangkan diri ketika masuk ke sana.

"Wah! Panjang umur orangnya! Baru juga dibilangin, udah nongol aja!"

Baru dua langkah kaki Esy masuk dan celetukan Ozy langsung menyambut dirinya. Tentu saja Esy dibuat melongo untuk perkataan sang senior.

"Hahahahaha."

Tawa itu membuat Esy melirik pada Ryan. Ia tampak terpingkal seraya memukul Ozy.

"Serius?"

Ozy mengangguk. "Tanya Sella dan Indri deh."

Esy mengerutkan dahi. Situasi kala itu benar-benar membuat ia bingung. Maka tidak aneh bila ia bertanya.

"Apa sih, Kak?"

Sella dan Indri mengulum senyum. Begitu pula dengan Abid yang menengahi tawa itu.

"Aku kalau jadi Esy, memang bener cabut dari sana."

Tidak mendapat jawaban, tapi bukan berarti Esy tidak bisa merangkai petunjuk-petunjuk tersebut. Hingga satu kemungkinan muncul dan membuat mata Esy membesar.

Horor, Esy langsung menghambur pada seniornya yang berkumpul. Ia bertanya dengan ngeri.

"Kakak lihat yang di parkiran tadi ya?"

Sudahlah! Makin menjadi-jadilah tawa para senior. Dan Esy hanya bisa kembali manyun.

"Aku bisa bayangin," kata Indri kemudian. "Pasti dada kamu udah panas gitu ya?"

Ryan menyeruak di antara Sella dan Indri. Turut bicara dengan kilat geli di matanya.

"Ada rasa mau banting-banting motor di sana nggak? Hahahahaha."

Abid menimpali. "Ada motor yang bagus untuk ajang banting-bantingan. Ninja. Warnanya merah hitam. Platnya–"

Pukulan Ryan di punggung Abid membuat omongan cowok itu putus. Tergantikan oleh gelak Abid sementara Ryan berkata.

"Itu motor aku. Kalau rusak, duit proposal PKM kita ntar dipake buat benerin motor aku aja."

Kali ini Abid yang tertawa semakin menjadi-jadi. Sementara Esy jelas hanya bisa manyun. Tubuhnya tampak lesu. Pundaknya seakan ingin jatuh dan ia benar-benar terlihat menyedihkan.

"Aku nggak tau. Aku tuh cuma cemburu buta atau kenyataannya memang begitu ya?"

Tiba-tiba dan tak terduga. Perkataan Esy sukses membuat para seniornya kompak berhenti tertawa. Pelan-pelan, geli dan lucu di masing-masing wajah menghilang. Mereka saling pandang dan mengerjap bingung.

"Menurut Kakak-Kakak gimana?" tanya Esy kemudian. "Dira memang lagi deketin Farrel atau cuma perasaan aku aja?"

"Ehm."

"Itu ...."

Tampaknya mereka kesulitan menjawab pertanyaan itu. Saling melihat satu sama lain, tapi mereka sama-sama mengangkat bahu tanpa tidak mengerti.

"Aku tuh berusaha nggak cemburu, Kak. Tapi, aku merasa Dira tuh kayak yang deketin Farrel terus. Aku kan jadi nggak suka."

Ryan mendeham. Ia bangkit dan melihat jam.

"Ini Ibu Diana mana ya? Kok belum datang?"

Abid menimpali. "Apa Ibu salah jadwal, Yan?"

"Nggak kok," imbuh Ozy. "Aku udah ingatin Ibu jadwal hari ini."

Esy manyun. Jelas mengetahui kalau ketiga orang seniornya itu menghindari topik itu. Apalagi karena sejurus kemudian mereka pun beranjak satu persatu. Menuju pintu seolah-olah tengah menunggu dosen.

Tinggal Sella dan Indri yang terkekeh. Mereka hanya geleng-geleng kepala.

"Farrel ngeladeni nggak?" tanya Indri langsung. "Kalau nggak, ya nggak usah kamu pikirin."

Jawaban yang tidak membantu sekali. Untuk orang yang akal pikirannya tengah tertutup oleh tumpukan rasa cemburu, tentunya jawaban Indri tidak berguna.

Sella memukul tangan Esy sekilas. "Kalau menurut aku Farrel sih B aja sama Dira. Jadi lebih baik kamu nggak usah mikirin soal itu."

Mata Esy melirik Sella, senior yang masuk dalam golongan mahasiswa pintar di angkatannya. Dari yang Esy tau, IPK Sella pun di atas 3,5. Memang tidak setinggi Ryan, tapi menurut Esy sifat normal Sella adalah hal yang lebih penting ketimbang IPK semata.

"Mending kamu pikirin materi kuliah aja. Biar kamu nggak ada waktu buat mikirin yang begituan," ujar Sella kemudian.

Indri membenarkan. "Kamu tau? Ntar kalau kamu udah mulai nyusun proposal dan skripsi, ada banyak hal yang lebih buat pusing ketimbang cemburu buta."

Esy menarik napas dalam-dalam. Ia mengangguk walau ia sendiri tak yakin apa bisa melakukannya. Apalagi Sella dan Indri? Keduanya hanya bisa menahan geli.

*

Kalau bisa, Esy juga tidak mau memikirkan soal Farrel dan Dira. Tapi, mau bagaimana lagi? Di mata Esy, takdir seperti terus berusaha mendekatkan mereka berdua.

Mau bukti yang kesekian? Ini buktinya.

Seminggu setelah pengumuman beasiswa keluar, ternyata radio mahasiswa berniat untuk mewawancarai mereka. Dan alhasil, inilah yang Esy lakukan. Mendengarkan radio sambil menahan cemburu.

Ya Tuhan. Kak Ryan ikhlas nggak ya kalau motornya beneran aku banting?

Esy memejamkan mata. Ia berusaha menepis ide gila itu. Tapi, sulit sekali. Rasa gelisah yang ia tahan berhari-hari membuat ia ingin mencak-mencak rasanya.

"Jadi Farrel ada jadwal khusus untuk belajar?"

"Nggak ada jadwal khusus sebenarnya. Tapi, biasanya habis Subuh aku suka buka-buka materi. Ya ... walau cuma baca sekilas saja."

Esy menarik napas dalam-dalam. Kali ini ia tersenyum membayangkan wajah Farrel yang tengah belajar.

Biasanya ... dia pake kacamata kalau mau belajar lama. Biasanya ... dia serius banget kalau lagi baca buku. Biasanya ... aku diam-diam fotoin dia.

Menahan kikik geli, Esy buru-buru membuka galeri foto di ponselnya. Menggulir dengan cepat hingga ia menemukan beberapa foto yang ia maksud.

"Oke. Mungkin dari kalian ada yang mau ditanyakan pada Farrel dan Dira, boleh langsung kirim SMS ke nomor radio kita. Aku tunggu."

Tubuh Esy seketika bangkit dari tidurnya. Tak perlu ditanya, ia segera mengirim pesan. Dan sekarang, ia menunggu pesannya untuk dibaca.

"Oke. Ada pesan yang masuk dari 0852 xxxx 1919."

"Sembilan belas–"

Esy terkikik geli ketika mendengar suara Farrel yang refleks mengulang nomor ponselnya. Hingga sang penyiar bertanya.

"Kamu kenal dengan nomor ini?"

"N-nggak. Nggak kok."

Tawa Esy akhirnya pecah. Ia bisa membayangkan Farrel yang salah tingkah di sana. Lucu sekali.

"Jadi pertanyaannya ... ehm apa tipe cewek ideal kamu, Rel?"

Esy menunggu. Jantungnya serasa tidak berdetak lagi di dalam sana. Dan lalu suara Farrel terdengar.

"Kayaknya itu nggak ada hubungannya dengan topik malam ini."

Yah! Esy kecewa deh.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro