Mia Dan Sebuah Keterbalikan
Gadis jangkung dengan rambut yang dikuncir kepang itu mendobrak pintu kamarnya yang bercat serba neon.
Kamar mini itu langsung menyambut matanya. Kamar yang hanya berisi meja kecil dengan tiga buku yang beberapa hari yang lalu dibelinya, serta lampu kecil yang menghangatkan itu, kasur mungil namun sangat empuk dan gampang membuat seseorang terlelap hanya dalam beberapa detik, televisi kecil, serta AC, dan tirai yang di baliknya terdapat balkon.
Kamar itu sesimpel itu. Namun benar-benar membuatnya nyaman.
Gadis itu menghela nafas lega ketika mengetahui bahwa dirinya sudah sampai di kamar tercintanya ini.
Ia memang memiliki uang yang cukup untuk membeli rumah yang bagus dan mewah. Mungkin lebih dari cukup.
Itu semua karena dirinya yang adalah seorang artis ternama yang sering meriliskan lagu-lagu karangannya sendiri.
Suaranya juga cukup merdu. Dan itu meningkatkan kepopulerannya.
Namanya itu banyak dijumpai di koran-koran, berita di televisi, dan lain-lain.
Dan karena beberapa minggu yang lalu ia baru saja meriliskan lagu karangannya yang bertema petualangan, ia harus mengadakan konser dengan dia yang tampil di panggung dengan mic-nya, berdiri di depan penonton serta fans-fansnya, kemudian bernyanyi.
Ia memang memiliki banyak penghasilan. Tetapi ia benci hidup mewah. Dan ia mencintai hidup sederhana. Dan karena itulah, ia menyumbangkan penghasilannya itu ke panti asuhan, orang-orang yang kurang mampu, korban musibah, dan lain-lain.
Dan hari ini, adalah hari yang sangat melelahkan.
Ia mengikuti lomba menyanyi di sebuah konser besar dan ternama. Ia harus berlatihan mati-matian dulu sebelum berdiri di panggung.
Apalagi antriannya sangat panjang sampai-sampai banyak yang mengantri sampai di luar gedung dan di jalan raya--termasuk gadis itu. Dan hari itu sangat dingin. Dan yang paling menyebalkannya, kemarin saat ia membaca koran, prediksi cuaca tanggal 4 Mei itu panas. Jadi ia memakai pakaian tipis. Rupanya hari ini sangat dingin.
Rasanya sangat sulit bernyanyi sebisa mungkin di panggung sambil setengah mati menahan bersin atau menyedot ingus.
Oh iya, ketinggalan, saat ia mengantripun rasanya sangat sesak. Karena ia dikerubuti fans-fansnya yang tanpa hentinya meminta tanda tangan di ribuan kertas, atau meminta berfoto sampai handphone sang fans memorinya penuh.
Dengan tertatih-tatih, serta tubuh yang sangat panas, dan hidung yang memerah, gadis itu menyeret kakinya, memaksa sekuat tenaga agar mampu berjalan sampai ke kasurnya.
Baru saja ia ingin melempar tubuhnya ke kasur, ia langsung teringat sesuatu. Ia langsung menghentikan pendaratannya ke benda empuk itu, lalu segera berjalan ke sebuah benda yang berada di pojok kamarnya.
Ia memejamkan matanya, menyemangati dirinya sendiri agar mampu bertahan dan melawan kepusingan di kepalanya itu--sampai ia bisa mencapai benda kotak di pojok ruangan itu.
Setelah sampai di pojok ruangan, Ia menahan nafas, dan dengan perlahan, mulai berdiri di atas timbangan.
Ia menahan nafas dalam-dalam--berusaha menahan pekikannya agar tidak meluncur keluar dari mulutnya itu--ketika kakinya sudah sempurna menapak diatas benda kotak yang membikinnya sebal itu.
Sudah ia duga. Beratnya menaik!
Gadis yang bernamakan Miala Sunny itu bersender lemah ke dinding kokoh bercat kuning neon itu. Ia memejamkan matanya, sambil memikirkan angka yang baru saja ia lihat dari timbangan itu.
50 kg.
Beratnya menaik 3 kilo hari ini.
Tujuan gadis berusia delapan belas itu adalah berberat 50 kilo saat ia berumur dua puluh tahun. Tapi nampaknya hal itu tidak tercapai.
Gadis itu memijat keningnya perlahan. Jari-jemarinya itu langsung merasakan panas tinggi ketika jarinya itu menyentuh keningnya.
Andai saja ia tidak malu-malu untuk menolak Felia--temannya yang (juga) seorang aktris--yang tadi mengajaknya untuk makan di All You Can Eat sambil mengobrol banyak.
Yaa, ia sih, malah senang kalau diajak mengobrol. Tetapi mengapa harus All You Can Eat?!
Apalagi, Felia mengatainya sangat kurus, lalu langsung pergi mengambil makanan yang sangat banyak untuk dirinya. Ia awalnya sangat kaget melihat segala macam jenis daging yang menumpuk di atas piring itu. Ia tidak mungkin mampu menghabiskannya.
Felia menolak mentah-mentah untuk memakan sebagian dari makanan itu. Jika ia tidak menghabiskan makanan itu, masalahnya ia harus membayar denda.
Dan ia hanya memiliki uang bersisa seratus ribu--dan itupun sudah dipakai untuk membayar All You Can Eat itu.
Semua sisa uangnya sudah ia habiskan untuk mendonasikan kepada orang-orang banyak. Dan beberapa hari yang lalu, panti asuhan didekat rumahnya itu menerima lima anak baru. Jadi, Mia mendonasikan uang lebih besar lagi daripada biasanya. Dan juga ia menghabiskan uangnya untuk membeli stok sayur-sayuran segar dan bergizi untuk memperbaguskan kulitnya.
Ia dengan pasrah, beranjak dari senderannya, lalu berjalan pelan--setengah-setengah terjatuh--ke kasurnya.
Demamnya semakin meninggi.
Mia meringis pelan karena merasakan kepalanya sangat kepanasan dan ingin meledak.
Ia pun segera duduk di atas kasurnya. Ia menjatuhkan kepalanya ke tangannya--membiarkan kepalanya menumpu pada kedua tangannya itu.
Ia mulai bersin-bersin pelan.
Mia menghela nafas. Sedetik kemudian, ia mulai batuk-batuk hebat.
UHUK! UHUK! UHUK! UHUK!
Mendadak, lehernya terasa tercekik.
Gadis itu mengangkat dirinya, memegang ujung kasur dengan wajah kebiruan, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan wajah yang benar-benar pucat pasi karena menahan sesuatu di tenggorokkannya.
Ia berjalan susah payah menuju pintu kamar--dengan sisa kekuatannya. Demamnya semakin meninggi karena tidak segera beristirahat atau meminum obat.
langkah demi langkah ia lewati, sampai akhirnya ia sampai pada ambang pintu.
Kepalanya semakin pusing. Benar-benar ingin meledak.
Sangking lemahnya, ia langsung terjatuh ketika bersender di pintu itu. Sekarang posisinya terlentang di lantai dinging dengan setengah badan di kamarnya, dan setengahnya lagi di luar kamar.
Mia terengah-engah. Riak sudah mengumpul di dalam mulutnya. Ia tidak mau batuk, karena sekali ia membuka mata, sesuatu yang ditahannya sedari tadi otomatis juga akan keluar.
Ia meringis pelan dengan wajah yang sudah merah sekali sangking panasnya suhu tubuhnya.
Selama beberapa detik, ia hanya ada di dalam posisi itu.
Ia menatap sekelilingnya tanpa menggerakkan kepalanya sedikitpun--lalu mulai melirik kamar mandi yang berada di samping dari ekor matanya, menghela putus asa karena merasa tidak akan sanggup.
Ia memejamkan matanya, berusaha melawan kepusingan pada kepalanya itu.
Berdiam seperti sama sekali tidak membantunya. Memang malah semakin membuatnya sengsara. Tetapi ia terlalu lemah hanya untuk bergerak sedikitpun.
5 menit pun berlalu hanya dihabisi dengan Mia yang hanya melamun.
Mendadak saja, matanya membulat, bersamaan gerakan tubuhnya yang mulai sedikit kejang-kejang.
Entah mendapat kekuatan dari mana, ia langsung berlari secepat kilat ke kamar mandi, lalu terjatuh (tetapi menyempatkan diri untuk menyalakan lampu kamar mandi dulu) yang langsung saja ia batalkan dengan menahan dengan tangannya, bersamaan dengan keluarnya cairan menjijikan--yang adalah makanan yang ia makan di All You Can Eat tadi, serta makanan yang ia makan di hari sebelumnya, bercampuran dengan riak banyak.
Mia langsung merasa kelaparan hanya dalam beberapa detik. Sepertinya ia memuntahkan SEMUA makanan yang ia makan hari ini.
Tetapi ia tentu tidak akan mau makan lagi!
Ia terdiam sebentar, menatapi cairan menjijikan itu dengan pusing. Apa ia sanggup membersihkannya?
Setelah berdiskusi lama dengan dirinya sendiri, akhirnya ia memaksakan diri untuk menyiram makanan hancur yang berasal dari perutnya itu dengan air, lalu segera mematikan lampu.
Gadis itu semakin lama semakin lemas ketika ia mulai berjalan kembali menuju kamarnya.
Baru saja ia akan sampai di kasurnya, ia langsung terjatuh lagi.
Mia menggeram pelan (yang langsung saja membuat kepalanya pusing entah kenapa). Ia menjatuhkan keningnya di lantai, lalu memejamkan matanya lagi dengan putus asa.
Oh, setelah ini, ia tidak akan mau lagi repot-repot membeli koran dan menghamburkan uangnya, hanya untuk mendapatkan informasi palsu tentang prediksi suhu! Siapa yang sangka ini malah akan berujung menjadi sebuah bencana?!
20 menit berlalu dengan Mia yang berada di posisi itu terus menerus tanpa bergerak sedikitpun.
Tiba-tiba saja, gadis itu menyentak bangun, lalu melempar dirinya dengan sisa tenaga ke kasur empuk itu.
Mana mau ia tidur di lantai dingin! Itu hanya memperburuk keadaan. Selain menambah keparahan demamnya, itu juga akan membuat tubuhnya sakit-sakitan!
Ia menghela nafas lega ketika sudah berada si atas benda kesayangannya itu. Ia segera memeluk guling, dan memasang posisi senyaman mungkin.
Ia tidak peduli dengan lampu kamarnya yang belum dimatikan. Ia tidak peduli dengan dirinya yang kelaparan serta perutnya yang benar-benar kosong. Ia tidak peduli dengan kuncirannya yang belum terlepas dari rambutnya. Ia tidak peduli dengan baju bagus tetapi sederhananya yang belum ia ganti dengan baju piyama biru kesayangannya.
Yang ia butuh sekarang hanya tidur!
***
Mia mengerjap bingung.
Pemandangan pertama yang ia lihat adalah ruangan serba galaksi cerah berisikan beberapa benda. Tapi ia yakin sekali, warna galaksi itu bukan berasal dari cat.
Ia mengucek kedua matanya pelan, lalu matanya menelaah ke sekelilingnya. Mulutnya pun terbuka ketika menyadari bahwa ia memang bukan di kamar mininya.
Ia pun melompat berdiri--tapi segera batal karena lututnya terasa sangat lemas dan tak mampu membopong tubuhnya, sehingga ia langsung terjatuh kembali ke kasur dengan lengan yang tak sengaja menabok wajahnya sendiri. Tangannya memang tadi searah dengan wajahnya, tetapi ia terlalu lemas sampai tidak bisa menyingkirkan tangannya--saat ingin mendarat ke kasur tadi.
Ia mendesah sebal. Bahkan ia belum melihat kebawah! (Mia terlalu waspada. Jadi jika ia sedang berada di suatu tempat, ia akan terus mengecek sekelilingnya, bahkan sampai lantainya serta atapnya)
Ia pun memutuskan hanya berdiam diri di atas kasur yang super nyaman lagi. Ia akui, lebih nyaman dari pada kasurnya sendiri.
Mia menghirup nafas banyak-banyak--layaknya orang yang hampir satu jam tidak bernafas sedikitpun. Wangi harum di ruangan ini sangat segar. Membuat dirinya sangat menyukainya dan bahkan bernafas bepat-cepat--agar cepat-cepat bisa mencium wanginya terus. Bahkan mendadak ia melupakan kelaparannya
Ia memeluk selimut--
Eh, tunggu.
Mia terbelalak hebat--sampai-sampai wajahnya pegal-pegal.
Ini bukan selimut! Tapi ini ...
Ini bagian dari kasur! Seperti ..., bagian bawah selimut seperti ..., dijahit dan disambungkan dengan kasur?
Tapi ia yakin sekali, itu mustahil. Soalnya, kasur ini berbahan aneh.
Kasur ini berbentuk sangat tidak lazim. Ini seperti bukan kasur biasa.
Ini hanya seperti kumpulan gumpalan benda super lembut dan empuk yang di tumpuk banyak.
Mendadak, firasatnya menjadi buruk dan imajinasi liar mulai bermunculan di kepalanya.
Positive thingking aja. Mungkin ini bulu domba?
Beberapa detik kemudian--setelah ia mencerna apa yang ia ucapkan di pikirannya, bola matanya melebar.
Ia menggeleng ngeri.
BU. LU. DOM. BA? BU. LU. DOM. BA. YA! BU. LU. DOM. BA, gumamnya dengan syok.
"HIII! JIJIK!" Pekiknya tak kuat, bersamaan bunyi keroncongan di perutnya. Ia meringis pelan. Kepalanya pening. Perutnya semakin menjadi-jadi berkeroncongan. Nampaknya, memang benar ia memuntahkan makanan yang ia makan di hari sebelumnya juga.
Ia pun memutuskan untuk berdiam.
Matanya menerawang ke langit-langit. Mendadak saja, semua penglihatannya hanya tertuju pada warna galaksi di sekeliling ruangan itu. Layaknya terhipnotis.
Galaksi. Itu adalah perpaduan warna favoritnya.
Ia tersenyum kecil dengan mata berbinar-binar--kala sebuah ide melintas di kepalanya.
Bagaimana jika aku membuat lagu bertema galaksi?, Batinnya riang.
***
Galaksi.
Semua tahu, semua hal yang gelap di simpulkan sebagai kekelaman,
dan segala hal negatif lainnya.
Dan kau berperan sebagai campuran warna gelap.
Tetapi kau berbeda.
Setiap aku berkunjung ke planet terselubung.
Tempat dimana hanya ditemui dan ditempati khusus aku dan dia.
Sambil terusik dengan pakaian putih yang merepotkan ini
Tetapi itu tidak menjadi masalah besar.
Karena, perpaduan warna gelapmu
Dapat mengalihkan segala perhatianku.
Hanya dengan menatapi warna merah, biru, ungu, hitam, dan nila yang bertubrukan itu,
Semua beban di punggungku menghilang.
Hanya melihat itu saja,
Aku merasa bebas.
Kali ini ku akui. Pemandangan menakjubkan membangkitkan rasa kebebasan.
***
Mia menyemburkan tawanya dengan miris usai menyanyikan lagu karangannya dalam bahasa Inggris.
"Baru kali ini aku merasa semenjijikan ini! Haha, kata-kata macam apa itu? Tidak ada puitis-puitisnya! Abal sekali!" Gumamnya kesal. "Omong-omong aku lapar sekali ..."
Suara tepukan tangan terdengar dengan riuh.
Mia menoleh kesamping, lalu nyaris terjengkang ketika melihat apa yang terjadi sebenarnya.
Selama beberapa saat, ia terdiam. Mulutnya megap-megap. Bahkan ia lupa cara bernafas. Tubuhnya tidak bisa digeraki.
Organ-organ tubuhnya benar-benar kaku. Yang bisa ia lakukan adalah melirik-lirik tidak jelas dengan tatapan apa-apaan-ini?!
Sosok berwajah manis yang tapi bertepuk tangan mengangkat sebelah alisnya.
Ia memandangi gadis yang sedang berbaring di atas awan besar itu dengan geli ketika melihat wajahnya.
"Jangan kaget begitu. Yaa, namanya juga awan, pasti ada di langit-langit." Celetuknya, mengabaikan tatapan kesal Mia--yang baru saja ingin memekik, tetapi kedahuluan dengan pria itu.
"KALAU BEGITU, TURUNKAN AKU!" serunya, sambil gemetar hebat sangking takutnya.
Wajar saja ia takut. Tanpa disangka, ia sedari tadi berbaring di atas awan (hah! Ini memang sangat tidak masuk akal!). Apalagi, saat ia menengok tadi, baru ia sadari ia berada di ketinggian.
Manusia itu memutar bola matanya malas, lalu menyahut. "Aduh, loncat saja sih? Merepotkan!"
"Hah?! Kau gila ya?! Ini tinggi sekali! Bisa-bisanya kau menyuruhku loncat!" Pekiknya heran.
"Hah? begini kau bilang tinggi?! Ini pendek sekali!" Balasnya tak kalah histeris.
Mia melongo, lalu berdecak kagum. "Yaampun ... kau ini manusia atau bukan? Kalau kau manusia, mana ada yang bilang ini pendek sekali."
"Terserahmu." Balasnya.
"Ya, kalau terserahku, turunkan aku!" Jeritnya emosi.
Ia mendesah malas, lalu nampak mulai berjalan tepat di bawah awan Mia. Sedangkan Mia sendiri disini sedang kejang-kejang ketika awan itu berguncang kencang, kala pria (yang bahkan namanya belum ia ketahui) melakukan sesuatu.
"Kau ngapain, sih?!" Serunya ketakutan setengah mati.
Pria itu memutar bola mata, seraya membuka ikatan mati pada tali yang berhubung dengan awan itu. "Menurunkanmu!"
"Kok aku tidak merasa diturunkan?!"
"Sabar! Siapa suruh kau tidak mau loncat?! Sudah tahu, kami mengikat tali penghubung dengan awan ini dengan ikat mati, jadi susah sekali jika ingin membukanya lagi, lalu menarikmu kebawah!"
"Kan bisa kau tarik saja talinya tanpa harus melepas ikatannya!" Serunya kesal, dengan wajah pucat karena awan yang ia tempati semakin berguncang.
"Hah?! Tidak bisa tau! Tali yang berhubungan dengan awan ini berbeda dengan tali-tali biasa! Ia tidak bisa ditarik jika tidak dilepas dulu ikatannya!"
"Bohong!" Sahutnya, dengan wajah yang sangat pucat sangking ngerinya (dan ini semua akibat dirinya yang tak sengaja melirik kebawah dan melihat seberapa tingginya awan yang ia tempati).
Pria itu menggeram kesal. Lalu mulai menarik awan itu kebawah dengan enggan--setelah berhasil ia lepas.
Mia tak mampu bernafas sedikitpun kala pria itu menarik awannya tak sudi. Ia takut ketinggian soalnya.
Setelah ia sampai di bawah, ia menghela nafas lega.
Mia menarik diri, lalu mulai terduduk. Kemudian ia mengernyit hebat kerika melihat bahwa yang pria itu pijak bukan lantai, melainkan awan.
"Apa aku tidak salah dengar saat mendengar seseorang mengatakan 'yaa, namanya juga awan, pasti ada di langit-langit?" Sindirnya.
"Ya, kau salah dengar." Balasnya malas.
Baru saja ia ingin memijakkan kakinya di awan (karena tergoda membayangkan sensasi apa yang ia rasakan ketika kakinya menyentuh awan), tiba-tiba tubuhnya limbung, dan sedetik kemudian ia jatuh terbaring ke awan itu lagi.
ia menahan diri untuk tidak menggeram. bahkan, di dalam mimpi saja ia masih lemas.
"Hei! Bangun pemalas!"
"Sebelum aku tidur dan mimpi buruk, aku memuntahkan semua makananku! jadi, mohon maklumnya jika aku terlalu lemas!" Mia berucap sambil tersenyum manis.
pria itu mendelik ketika Mia mengatakan 'mimpi buruk'.
"Berarti, kau sudah sadar kalau ini mimpi?" tanya pria itu.
"iyaa."
pria itu bergumam. "lucid dream."
"Yeps," timpal Mia lagi. "omong-omong kau tau dari mana aku mimpi?"
"Tentu saja aku tau! sebal sekali, demi membantu anak-anak yang kesusahan, kaum kami harus menjadi mimpi seseorang, padahal kami beneran nyata!" wajahnya terlihat imut saat ia cemberut.
"HAH? MEMBANTU? APA AKU TIDAK SALAH DENGAR?!" Mia tertawa hebat. " fyi, kau tidak membantu sedikitpun," kemudian, ia merekahkan senyum manis lagi. "Dan, aku bukan anak-anak."
pria itu menghela nafas. "Terserah."
"Omong-omong, namamu siapa?" tanya Mia.
pria itu tidak membalas, melainkan tersenyum sok misterius. dan itu membuat tangan Mia gatal ingin mencakar wajah tampannya sangking sebal.
pria itu tertawa lebar melihat wajah Mia yang sudah mati penasaran. "Namaku, Arsen."
"Tidak cocok dengan dirimu."
"Terserah." balasnya cuek. lalu mulai berbalik entah kemana.
"Eh! jangan tinggalkan aku!" panggil Mia--setengah berteriak.
pria itu berbalik, lalu mengeluh malas.
"kau ini labil sekali ya!" sahut Mia, lalu menggeleng-geleng kepala heran.
***
Kini Mia sedang berada di atas sofa empuk yang bisa terbang juga, bersama Arsen--dengan nampan yang terbuat dari awan yang berisi banyak makanan, dihadapan mereka.
nampan itu ternyata sedari tadi sudah ada di samping kasur awan yang di tiduri Mia.
entah sejak kapan, mereka berdua akur. bahkan sekarang, mereka sedang berbincang ria dengan topik demensi mereka masing-masing.
"di duniaku, banyak sekali barang! kalau kami kreatif, tidak seperti kalian, membuat benda hanya dengan awaaaaan saja!" Pamer Mia sambil mengunyah chips jagung
Arsen memutar bola mata sebal. "tidak juga! kami memiliki banyak barang lainnya yang terbuat bukan hanya dari awan! dan asal kamu tahu, sekali kami memiliki benda, benda itu sangat bermanfaaaaat sekali!" balas Arsen, mengikuti gaya perkataan Mia. Lalu ia melemparkan permen karet bulat ke dalam mulutnya,
"Hah! Bohong!" Seru Mia sambil mencomot biskuit berbentuk awan, dengan cream manis di puncaknya, lalu melemparkannya tinggi-tinggi, lalu segera menangkapnya dengan mulutnya.
Arsen berdecak kagum sesaat, kemudian menyenderkan dirinya di sofa dengan nyaman. Kemudian, ia mulai menyemburkan sangkalannya terhadap perkataan Mia. "Enak saja! Kau pikir makanan yang kau makan itu tidak bermanfaat!" Sahutnya masam, lalu membentuk balon pada permen karetnya.
Mia menyemburkan gulali-awan ke wajah Arsen. Arsen segera memekik jijik, lalu menyambar lap muka (yang tentu saja terbuat dari awan JUGA).
"Jorok!"
"Bodo amat! Beratku lebih berharga dari pada dirimu!" Seru Mia sangat panik. Ia lupa kalau dia harus menjaga berat badannya, bukan merumpi sambil mengemil dan malas-malasan.
Mia mengambil ancang-ancang, lalu meloncat kebawah, dan langsung mendarat di lantai-awan super empuk. Bahkan bokongnya tidak merasa sakit sedikitpun.
Arsen terbengong heran di tempatnya.
"Tau begini tadi aku melompat saja!" Teriak Mia.
"Tau begini, tadi kau lompat saja! Sudah capek-capek aku membuka ikatan penghubung awan, tau-taunya kau bisa melompat dengan lancar begitu! Hah! Dasar merepotkan! Pengecut!" Dumal Arsen.
Mengabaikan omelan Arsen yang berlanjut, Mia mondar-mandir ke segala arah dengan panik. Ia berlari ke sebelah kiri, lalu kemudian ke sebelah kanan. Kemudian ke depan, kemudian ke belakang.
Tunggu. Aku ini mau ngapain?, batin Mia.
"Kau ini mau ngapain?! Main mondar-mandir mencari entah apa saja tanpa bertanya, seolah-olah kau sudah tinggal disini berabad-abad!" Teriak Arsen dari atas.
"Aku juga tidak tahu!"
"Yaampun ..." Arsen menepuk jidatnya kencang, sampai-sampai keningnya itu perih.
"Eum ... kalau begitu, DISINI ADA TIMBANGAN TIDAK?!" Tanya Mia--setengah berteriak, sangking senangnya karena menyadari apa yang seharusnya ia cari.
"Ada!" Balas Arsen.
"Dimana?!"
"Disini!" Teriak Arsen lagi.
Mia mengernyit, lalu menatapnya heran. "Mahluk aneh! Disini dimana?! Tidak mungkin disofa!"
"Iyaa, disini!"
"Aneh dasar!" Mia mengoceh. tetapi akhirnya memutuskan untuk menuju sofa dan menaikinya.
"Eh, tunggu!"
"APAALAGIII?!" Sahut Arsen malas.
"Ini naik sofanya gimana?!"
"Tadi kau sendiri naik ke sofa terbang dengan cara apa?!"
"Lah, tadi kan sofanya ada dibawah! Setelah kududuki baru terbang! Lalu, lalu, kau terbang menghampiri!"
"Ya sudah!"
"Ya sudah gimana?!"
"Terbang!"
Mia melongo mendengar perkataan pria itu yang seenaknya saja. "Kau pikir aku ini apa?! Aku manusia! Bukan mahluk jadi-jadian sepertimu!"
Awalnya Arsen mendelik kesal ketika dikatai mahluk jadi-jadian. Tetapi, kemudian ia berujar. "Kau pikir kau sedang di mana?! Di mimpimu sendiri! Mimpi itu, dimana kita bisa berbuat apapun yang kita mau!"
"Serius, aku harus gimana biar bisa terbang?"
"Mengkhayal saja kau sedang terbang!"
"Mimpi terkadang tidak masuk akal juga!" Gumam Mia.
***
"HUAAAA!" jeritan ketakutan bergema.
"Berisik!"
"Kau bisa toleransi sedikit tidak sih?! Tolong maklumnya jika aku berisik, seumur-umur, aku baru pernah terbang untuk pertama kalinya! Tidak sepertimu!"
"Dasar, bilang saja kau iri!"
"SOM-BONG AMAT!" Sahut Mia, kemudian ia menyengir, kemudian setelahnya ia hampir terjungkal dalam penerbangannya.
Arsen tersenyum senang melihat Mia yang terbang dengan gerakan tidak jelas.
Mendadak, Mia terjatuh kebawah. Ia mulai berteriak kembali. Ia mengepak-ngepakkan tangannya, seolah-olah ia adalah burung.
"Ck," Arsen mencibir. Kemudian ia meliuk-liukkan jari telunjukknya kebelakang. Kemudian, Mia pun gagal mendarat, sebagai gantinya mulai mengambang ke atas.
"Mengapa penerbangan ini nurut denganmu?!" Kata Mia tak terima.
"Kau juga bisa membuatnya seperti ini. Fokus saja! Oh, jangan terlalu fokus, eung ... santai saja! Rileks!"
Mia mendesah malas. Kemudian, entah mendapat dorongan dari mana, akhirnya ia mencoba rileks.
Benar saja. Setelah Arsen tak lagi meliuk-liukkan tangannya, ia mengambang dengan mulus, tak jungkir-jungkir lagi.
"Fantasis!" seru Mia heboh.
"Kan sudah kubilang, dalam mimpi, kita bis--"
"Shuut, aku sedang senang, jangan ganggu dulu, ya." ia tersenyum manis.
"Hih, sedang senang? nih, kalau kuingatkan dirimu tentang sebuah hal, pasti kau tidak jadi senang lagi!"
"Memangnya hal apa yang bisa menggantikan kesenangan karena bisa terbang? tidak ada! karena jika kau bisa terbang, itu adalah hal yang paling terajaib sedunia!"
"Kau tidak percaya?"
"Tidak." balas Mia, lalu mulai tertawa meremehkan.
Arsen pun menatapnya sambil tersenyum seperti mengatakan 'halah!', lalu berdeham, kemudian mengeuarkan sebaris kalimat dari mulutnya sambil tersenyum puas. "Meskipun jika aku ingati tentang berat badanmu?"
Tawa Mia pun memelan, lalu digantikan dengan batuk hebat. Arsen tertawa senang.
"Kau ini teman terjahat yang pernah kujumpai, ya!" ucap Mia dengan wajah masam.
Arsen mengernyit. "Sejak kapan kau jadi temanku?"
"Hah?" Arsen mendengus sambil memutar bola mata mendengar ucapan Mia. "Mana kutahu!" Arsen berusaha sabar "Memangnya kita tidak temanan?"
"Mana ada pertemanan yang tidak akur!"
"Cih!" Mia mencibir. "Sepanjang hidupku, baru kali ini aku menjadi teman yang seramah tadi, loh!"
"Yaampun, kau bilang dirimu ramah?!"
"Kau tidak percaya? persahabatan aku dengan sahabatku saja setiap hari bertengkar!"
"Yang penting jangan pukul-pukuan." gumam Arsen.
"Aku dan sahabatku malah selalu cakar-cakaran kalau bertengkar. terakhir yang kuingat, kami cakar-cakaran karena kami membeli pulpen kembar. lalu saat itu pulpunku terjatuh dan aku tidak mengetahuinya. kukira waktu itu sahabatku yang mengambilnya, soalnya aku tidak bisa membedakan yang mana pulpennya, dan yang mana pulpenku. lalu saat pulang sekolah, tak sengaja kulihat pulpenku ada di bawah kolong mejaku. tetapi, bukannya marah, sahabatku itu malah menertawaiku. kemudian, kami berdamai. happy ending, deh!" cerita Mia sambil bernostalgia.
"kenapa aku jadi korban curhatan sahabatmu?"
"katanya teman?"
Arsen memutar bola matanya. "kan sudah kubilang, kita belum temanan!"
"Ck, ya sudah, kita temanan sekarang!" Kata Mia sambil menjulurkan tangannya.
"Hem, Teman." Arsen menyambut uluran tangannya, kemudian mereka berjabat tangan.
"omong-omong, aku dan sahabatku sekarang kalau bertengkar sudah tidak hanya cakar-cakaran saja. tapi juga tampar-tamparan, jambak-jambakan." kemudian Mia nyengir.
"kau tidak memedulikan berat badanmu lagi?" tanya Arsen.
"oh, iya!" Mia menepuk keningnya, lalu cepat-cepat terbang menuju sofa. kemudian, ia duduk di sofa dengan posisi ternyaman versinya--yaitu mengangkat kedua kakinya ke tepi sofa, lalu menjadikan kedua lengan sebagai bantalan.
ia tersenyum meremehkan. "Nah, mana timbangannya? haha, lucu sekali, timbangan dalam sofa!"
"Kalau belum lihat sesuatu, diam saja! jangan bawel!" balas Arsen ketus.
"baperan, ih." cengir Mia.
Arsen menghela nafas, lalu mengusap wajah. kemudian pria berwajah imut terbang entah kemana.
"Heh, kau mau kemana?!" panggil Mia.
"diam saja di situ." balas Arsen setelah berbalik.
Arsen menatap Mia, seperti menunggu sesuatu. Mia menaikkan alisnya sebelah, bingung.
tiba-tiba, sofa awan yang diduduki Mia terbang ke atas dengan kecepatan tinggi. Mia menjerit heboh. "DASAR MAHLUK JAHAT! KAU INGIN MEMBUNUHKU?!"
orang yang dimaksud hanya tersenyum cuek, lalu berbalik, kemudian melompat ke sofa awan lainnya.
sedangkan Mia, sedang jerit-jerit dengan wajah pucat pasi setengah kejang-kejang sangking hebatnya merasakan perutnya yang teraduk-aduk.
"TOLONG! TOLONG!"
"Berisik sekali, sih! duduk tenang, maka semuanya akan cepat selesai!" seru Arsen sebal--yang telinganya sudah pengang mendengar pekikan Mia yang melengking.
"GIMANA AKU BISA DIAM?! AKU--"
suara omelan Mia tidak terdengar lagi ditelinga Arsen--ketika ia sudah menyumpal telinganya dengan awan khusus penyumbat telinga.
sofa yang sedari tadi terbang ke atas itu akhirnya berhenti. membuat Mia bernafas lega.
tiba-tiba, suara kepakan terdengar. Mia menoleh kebelakang, kemudian menemukan sebuah kertas bersayap yang terdapat tulisan angkanya.
Mia mengerjap-ngerjap bingung, lalu menarik kertas bersayap itu lebih dekat lagi.
Arsen pun berbalik, kemudian bertanya. "angka berapa yang tertulis di kertas itu?"
"eung ... 49." balas Mia, bersamaan dengan suara keroncongan nyaring dari perutnya.
"nah, berarti kau perlu makan makanan khas dimensi ini lagi untuk menurunkan berat badanmu. seporsi cemilan, menurunkan satu kilo. seporsi makanan berat, menurunkan dua kilo." ujar Arsen santai.
"hah? maksudmu, puasa seporsi cemilan akan menurunkan satu kilo, dan berpuasa seporsi makanan berat akan menurunkan dua kilo?" tanya Mia.
"apa yang kau dengar tadi?"
"kau mengucapkan kalau kau makan makanan khas dimensimu akan menurunkan berat badan!"
"ya, betul sekali." jawab Arsen.
Mia semakin bingung dibuatnya.
"aku serius! hal seajaib atau seaneh apapun itu mungkin dalam mimpi!" Arsen tersenyum bangga.
"teserah dirimu, deh. yang penting aku sekarang sedang lapar, dan satu hal yang kuinginkan, hanya makan." tanggap Mia cuek, lalu berusaha memerintahkan sofa ini untuk turun, dengan cara seperti Arsen--yaitu meliuk-liukkan tangannya. tapi kali ini kearah bawah.
sofa itu menurut--layaknya sang majikan yang menyuruh anjingnya untuk duduk. dengan perlahan, sofa itu turun kebawah.
"kau ini malas sekali, ya! padahal kau bisa terbang!" sahut Arsen.
"kalau aku terbang, siapa yang akan menuruni sofa ini?" balas Mia sinis.
"mohon maaf, jika kau terbang juga sofa itu bisa kau suruh untuk turun. dan, fyi, sofa awan itu bisa turun sendiri semenit setelah kau sudah beranjak darinya."
"ya, ya. sekarang, ambilkan makanan." perintah Mia.
"kau pikir aku babu-mu?" balas Arsen sengit.
"setengah babu setengah temanku," Mia menyengir. "bercanda. Lagi pula, Ayolah! aku bahkan tidak tahu di mana makanan khas dimensimu!"
Arsen nampak berpikir sebentar, barulah akhirnya mengiakan sambil setengah menggerutu. "ikut aku!"
Mia pun segera terbang, lalu mengikuti Arsen yang berjalan menuju ujung ruangan.
"kau mau ke--" perkataan Mia terganti menjadi pekikan ketika melihat setengah badan Arsen menembus (tembok) galaksiitu. "hiii!"
"kau hantu, ya?! kok bisa tembus-tembus begitu?! yaampun, jangan biang aku sedang berada di dimensi hantu?!"
"ck, memang setiap rumah begini!"
Mia melongo. "ruangan begini doang disebut rumah?!"
"iya." jawab Arsen santai.
Mia pun berusaha tenang. ia memejamkan mata, lalu mulai berjalan menembus (tembok) warna galaksi.
kemudian, setelah Mia membuka kedua kelopak matanya, sebuah ruangan super besar langsung mengisi matanya. terdapat tiga meja panjang cantik dengan ukiran-ukiran aneh di tepi meja. di atas meja panjang itu, terdapat ribuan makanan berbagai jenis--dengan piring-piring mahal--berderet, memenuhi seluruh meja, tanpa menyisakan jarak sedikit saja.
Arsen pun berjalan dengan santai mendekati meja yang sebelah kiri.
Mia mengikuti, sambil setengah syok ketika melihat beberapa orang datang menembus (tembok) warna galaksi dari berbagai arah,lalu mulai memilih-milih makanan, kemudian mengambilnya, lalu membawanya dengan nampan, menembus ke balik tembok lagi.
"santai saja. mereka tidak akan mengigitmu, kok," ejek Arsen. kemudian ia mulai menjelaskan. "di dimensi ini, semua rumah tersambung seperti ini. jika mereka sedang lapar, mereka hanya perlu berjalan menembus alye yang dipaling ujung rumah mereka. lalu mereka pasti akan langsung sampai di ruang makan ini. semua orang di dimensi ini mendapatkan makanan dari sini. sudah di sediakan sendiri oleh dimensi ini sendiri. omong-omong, alye itu ... mungkin kalau di dimensimu, semacam tembok. bedanya, alye itu bisa di tembus oleh pemilik rumah, maupun sang tamu pemilik rumah." jelas Arsen, kemudian melakukan bahasa tubuh, menyuruhnya untuk mengambil makanan yang ia mau.
Mia mangut-mangut mengerti. tapi kemudian mendadak ia bertanya. "apa maksudmu dengan 'sudah di sediakan sendiri oleh dimensi ini sendiri?'" tanya Mia, sambil mengambil piring berisi mie berwarna merah, dengan mashed potato di sampingnya. porsinya lumayan banyak.
"ya, memang seperti itu. kami tidak tahu siapa yang menyediakannya setiap satu jam, meja ini akan terisi dengan makanan berbagai jenis. seperti memang sudah ketentuannya. oh iya, meja yang sebelah kanan itu isinya makanan ringan, yang ditengah makanan berat, dan di meja ini--meja sebelah kiri--berisi makanan berat serta makanan ringan yang dapat menurunkan berat badan." jelas Arsen lagi.
"enaknya ..." gumam Mia.
"iya dong."
kemudian mereka pun kembali ke rumah Arsen dengan nampan awan yang bisa terbang juga.
"selamat makaaan~!" Mia berseru pelan, lalu mulai melahap makanannya dengan nikmat.
mereka pun membincangkan banyak hal selama makan.
"oh iya!" Mia memekik. "buat apa aku makan begini juga?! setelah aku bangun dari mimpi, aku tetap tidak akan kurus! kan hanya mimpi!" Mia meringis putus asa.
"eh, tentu saja kau juga akan kurusan! kau pikir buat apa kami membantu dirimu jika itu tidak membawa keberuntungan juga? kami ini, serta seluruh benda di dimensi ini benar-benar nyata! hanya saja, kita bertemu dengan jalur mimpi."
dengan ragu-ragu, akhirnya Mia melanjutkan makannya. mereka pun melanjutkan makan.
"hei, kau harus mengarang lagu tentang dimensiku nanti!" seru Arsen--dengan mata berbinar-binar (yang membuatnya makin terlihat imut)--setelah mendengar cerita Mia yang mengatakan tentang pekerjaanya di dimensinya.
"iyaaa." balas Mia, malas menanggapi. ia sedang merasa sangat kenyang. tapi entah kenapa, ia merasa beratnya berkurang juga.
baru saja Arsen ingin membuka mulutnya, tiba-tiba suara deringan nyaring menggema di seluruh rumah Arsen.
KRIING! KRIING! KRIING!
Mia menjadi panik. "eh, ini kenapa?!"
Arsen mendesah. "sudah waktunya."
"hah?! maksudmu?!" seru Mia setengah berteriak karena berbicara bersamaan dengan terdengarnya suara deringan.
"itu suara alaram punyamu! tandanya kau harus bangun dan kembali ke dimensimu!"
"tapi bagaimana caranya aku kembali ke dimensiku?!"
"pejamkan matamu dan pikirkan bayangan kamarmu!" teriak Arsen bersamaan dengan suara deringan yang semakin kencang. "kau harus cepat, jika kau tidak cepat-cepat memikirkan kamarmu dalam lima belas menit,maka kau akan terjebak di dimensi ini selamanya!"
"tapi, tunggu! apakah aku bisa kembali lagi setelah ini?!" tanya Mia kalang kabut.
"bisa! kalau kau memaksa, bisa deh!" seru Arsen lagi, tak terlalu fokus dengan apa yang dirinya sendiri ucapkan--sangking termakan dengan kepanikan.
"aku tidak memaksa! tetapi, jika aku harus memaksa dulu, ya sudah! anggap tadi itu sebagai paksaan!" teriak Mia. "tapi ... tapi ..."
"tak ada tapi-tapian! cepat bayangkan kamarmu, dan bayangkan kamarmu! teriak Arsen lagi, bersamaan dengan suara deringan yang semakin kencang itu. "yaampun! sudah peringatan ke satu!"
bukannya memejamkan mata dan membayangkan kamarnya, Mia malah bergerak gelisah.
"apa yang kau tunggu?! cepat!"
"Kau berjanji kita akan bertemu lagi, kan?!" teriak Mia.
Arsen nampak menegang. ia terdiam, tidak menjawab.
entah sejak kapan, air mata sudah mulai berkumpul di air matanya. meskipun baru (mungkin) empat jam mereka bertemu, tapi rasanya mereka seperti sudah kenal dari kecil. mereka gampang akrab.
"kumohon katakan iya!" teriak Mia lagi setengah memelas. Arsen tidak membalas, tetapi ia menatap Mia gelisah. bersamaan dengan itu, deringan alaram milik Mia berdering lebih kencang lagi dari sebelumnya. " yaampun!"
"cepat bayangkan kamarmu!" teriak Arsen gelisah. "cepat!"
Mia menatap Arsen dalam. mendadak, ruangan itu hanya berisi deringan saja.
"aku tidak tahu kita akan bertemu lagi atau tidak! tapi, yang penting, jangan pernah lupakan aku! kita akan menjadi teman sampai selamanya! titik!" teriak Mia, lalu langung memejamkan matanya, membayangkan kamarnya.
Arsen terdiam. lalu mengangguk, meskipun tahu bahwa Mia tidak bisa melihatnya.
dengan susah payah dan kegelisahan yang sangat tinggi, rasa takut yang menggerogotinya--rasa takut jika tidak bisa bertemu dengan Arsen lagi, Mia sekuat tenaga membayangkan kamarnya.
selama beberapa detik, Mia dengan keras berkonsentrasi.
"aku janji! kita akan bertemu lagi! aku janji!" teriak Arsen, tepat sedetik sebelum akhirnya Mia berpindah dimensi.
***
Mia hanya duduk diam di atas kasurnya. pandangannya kosong.
pikirannya hanya terisi dengan kalimat terakhir yang dikatakan Arsen.
entah kenapa ... ia jadi merasa hampa.
dan kehilangan harapan.
dengan letih, Mia berjalan perlahan menuju timbangan miliknya. lalu ia pun menaiki benda kotak itu.
Arsen tidak berbohong.
beratnya turun menjadi 47 kilo.
Mia menghela nafas, lalu duduk kembali di kasurnya. masih percaya tidak percaya bahwa ia telah kembali ke dimensinya.
ia pun merenung selama tiga puluh menit, dengan kepala tertunduk.
tiba-tiba, ia mengangkat kepalanya, lalu tersenyum kecil.
aku yakin kau akan menepati janjinya, batinnya.
dan, nantikan laguku tentang dimensimu, Arsen.
***
|4941 Words|
A/N
HELOOOOOO~!
YAAMPUN, ITU TANGGUNG BANGET YA, DIKIT LAGI 5000 KATA._.
TAPI, TANGAN AKU UDAH PEGEL BANGET.
ASTAGA, TERNYATA INI AKU BARU SELESAI NGETIK JAM 1 PAGI DONG! TvT
JADI AKU NULISNYA HARI KAMIS-SABTU, TERUS SELESAI HARI MINGGU (KARENA SEKARANG UDAH JAM SATU PAGI)
AKU TAUU BANGET ITU BANYAK TYPONYA. TAPI UDAH CAPEK BANGET SERIUS.
Btw, kalian jangan mikir yang aneh-aneh, ya._.
Mia sama Arsen cuma sekadar teman. Kayak, kembar ... keakraban mereka tuh kayak anak kembar ._.
Atau ngga, kalian bisa anggep juga mereka adek kaka.
JADI INTINYA, TEMANYA TUH INI:
PAMIT DULU YA, GAIS! PEGEL BANGET ABIS.
JANGAN LUPA VOTE!
SELAMAT HARI 17 AGUSTUUUS!
BABAAY
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro