Sana dan Saha
[Fantasy - misteri, siluman]
Manan Sana.
Manan Saha.
Sang Kembar, tak terpisahkan.
Mereka dari desa terpencil, dekat pegunungan penuh siluman.
***
Memikul kayu bakar di punggung masing-masing, si Kembar terus berjalan perlahan menuruni gunung selagi mencari sesuatu yang bisa dijual atau dimakan langsung.
"Aku dengar kabar," kata Sana. "Kalau tetangga kita meninggal malam itu."
Saha membalasnya. "Aku mendengar, kalau dia tewas dimangsa."
Desa yang mereka tinggali saat ini, punya kisah tersembunyi. Setiap satu purnama, pasti ada setidaknya satu warga yang meninggal. Jasad tampak kering seakan darahnya dihisap, juga begitu kurus bagai tengkorak berbalut kulit.
Semua sudah terjadi selama mereka tinggal di sana. Si Kembar terus mendengarkan setiap larangan dan peringatan warga sekitar akan teror makhluk yang menganggu mereka sejak satu dekade lamanya.
"Dahulu, ada kakak beradik seperti kalian tinggal di sini," kata salah satu tetangga Sana dan Saha di hari kedua kedatangan mereka. "Namun, di malam purnama mereka lenyap tanpa jejak."
Bukan hal janggal jika ada warga yang kabur akibat teror makhluk misterius itu. Namun, sekali melangkah, sudah raib dan tidak terdengar lagi kabarnya.
Sana dan Saha bukan pendatang baru di desa ini. Mereka menetap di sana baru beberapa bulan dan sudah ada banyak kehilangan tetangga. Entah tewas dalam keadaan aneh tadi atau justru lenyap seperti beberapa warga.
Namun, Sana dan Saha hanya menyimak. Entah percaya atau tidak.
Selagi menyusuri jalan kecil, mereka sesekali menengok ke belakang. Kadang ke kiri dan kanan sambil memasang telinga. Waspada ketika mendengar suara gemerisik, meski itu hanya dari babi hutan yang mencari makan.
"Sana, malam ini malam purnama." Saha menginggatkan.
Sana pun mengiakan.
Mereka hidup bersama sejak lama, lebih tepatnya kembar tak terpisahkan. Tapi, tidak jelas dari mana kedua orangtua mereka dan tidak sekalipun dibahas ketika mengobrol santai maupun ditanya.
"Kami dilahirkan dan hidup begitu saja," ujar Sana ketika ditanyai perihal orangtua. "Aku dan Saha saling melengkapi. Kami hidup berdampingan dan saling menjaga."
Maka, keduanya pun tetap hidup bersama meski tidak mengenang atau mengingat masa lalu barang sekali.
Sana punya rambut lurus hitam legam yang diurai dengan mata biru langit serta postur tubuh yang tinggi.
Saha punya postur dan gaya rambut sama dengan warna ungu, sebagai pembeda di antara mereka.
Keduanya tinggal bersama di sebuah desa kecil di bawah gunung bersama warga lain. Orang-orang sana tahu keduanya hanyalah pendatang yang kemudian menjadi warga di desa itu.
Mereka berdua muncul dalam wujud yang kita ketahui saat ini, tampak seperti dua gadis remaja yang menawan. Meski hidup di tengah desa yang diteror makhluk misterius pemangsa warga selama satu dekade lamanya.
"Kamu dari desa mana?" tanya salah seorang warga begitu melihat si Kembar.
Sana menatap adiknya sesaat. "Dari sebuah desa dekat pegunungan."
"Pegunungan yang terpencil," timpal Saha.
Keduanya lalu meninggalkan si petanya. Kesannya seperti tidak ingin bicara, tapi jika ditanya lagi mereka akan menjawabnya dengan kalimat yang sama untuk pertanyaan serupa. Hampir semua orang menanyai, dari kepala suku hingga warga sekitar bahkan sesekali pengunjung yang kebetulan menetap di tempat mereka untuk sementara. Semua pertanyaan itu selalu dijawab demikian seakan mereka tidak ingat asal usul sendiri.
"Saha, lihat di sana, desa ini telah mati," ujar Sana setibanya mereka di tempat yang mereka tinggali saat ini.
Hanya ada rumah-rumah kosong dan suasana hening menyambut. Belum lagi kabut putih menyelimuti menambah kesan kelam. Seakan desa ini tidak dihuni sejak lama.
Saha mengiakan. "Kamu sudah kumpulkan semuanya?"
"Iya, aku sudah mengumpulkan semua." Sana sengaja mengucapkannya dengan perlahan untuk menekankan. "Kamu lapar?"
"Tentu saja tidak," balas Saha. "Ayo, kita cari rumah lain!"
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
***
Hingga keduanya tiba di sebuah danau yang cukup keruh dan diselimuti kabut.
Saha menyalakan api, Sana mencari kayu.
Keduanya lalu duduk diam saling tatap, sesekali juga memandang sekitar tanpa mengucapkan sepatah kata.
"Sana, aku lapar," keluh Saha.
"Aku juga," balas Sana. "Sebentar, aku merasakan aura makhluk yang mendekat."
Benar saja, muncul perahu dengan seorang pria mengayuh pelan menyusuri danau. Ia berhenti kala menyadari keberadaan si Kembar.
"Hai, gadis-gadis! Tidak takut di sana berduaan?" Sang pengayuh berniat menggoda, melihat paras sang Kembar bagai bintang-bintang penghias malam.
Sana lantas berdiri, bersama Saha keduanya melambaikan tangan, isyarat menyuruh si pengayuh mendekat.
Si pengayuh tersenyum. Ia mendekat dengan antusias, mengabaikan kabut yang kian pekat menghalangi pandangan.
Kabut-kabut ditembus tanpa beban, si pengayuh tadi akhirnya tiba di depan sang Kembar lalu duduk menghadap mereka.
"Kalian berani sekali ke sini," komentarnya. "Banyak siluman ganas, lho."
Sana dan Saha tersenyum.
"Kami terbiasa," ujar Sana.
"Kami tahu apa yang harus dilakukan," timpal Saha.
"Kami tidak perlu takut."
"Kami tidak akan takut."
Keduanya tersenyum pada pria yang baru dikenal itu. Membuat lawan bicara terlena akibat suara mereka yang mendayu bagai kicauan burung.
"Kamu pasti lapar," ujar Sana.
Saha kembali menimpali. "Kamu pasti lelah."
"Izinkan kami menghiburmu," ucap si Kembar.
Tentu saja pria itu senang mendengarnya. Ia lalu kembali berkomentar.
"Kalian kembar yang cantik," pujinya. "Akan kupinang kalian berdua."
Sana dan Saha terkikik, mereka tidak menjawab setelahnya melainkan dengan menyodorkan segelas air hangat.
Si pengayuh menegaknya dengan lahap. "Terima kasih. Aku tidak menyangka kalian ternyata di sini."
Sana dan Saha hanya tersenyum menanggapi. Bukan hal aneh jika mereka bertemu lagi meski dengan wajah yang berbeda.
Pria itu menghabiskan gelasnya. "Benar-benar lezat, aku suka hasil panen dari desa itu."
"Sayangnya, para warga telah pergi beberapa jam lalu," ujar Sana.
Saha membenarkan. "Sepertinya mereka sudah tahu."
"Sayang sekali." Pria itu lantas berdiri. "Kalau begitu, sampai jumpa di lain desa."
Ia lalu kembali ke perahunya lalu lenyap ditelan kabut.
Sana berdiri. "Ayo, kita cari tempat baru."
Saha menyusun bekal mereka. "Ayo."
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
***
Manan Sana.
Manan Saha.
Sang Kembar, tak terpisahkan.
Mereka dari desa terpencil, dekat pegunungan penuh siluman.
TAMAT
Cerita ini dibuat dengan konsep dan tema abal-abal sehingga berakhir seperti ini. Tujuanku membuat cerita ini demi memenuhi hasrat kegabutanku yang ingin lari dari cerita utama tapi malas menulis novel baru.
Cerita mini ini terinspirasi dari beberapa dongeng dari beragam kultur tentang makhluk penggoda tapi berbahaya seperti kitsune dari Jepang, siren dari Eropa, hingga pelakor dari Indonesia.
Sebenarnya juga terinspirasi lagi dari Dewa Kembar–Levia dan Behemo dari seri Evillious Chronicles tapi itu cuma konsep kembarnya saja yang sama.
Sampai jumpa di cerpen berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro