Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pahlawan

[hero, demon]

Seorang gadis kecil menjerit ketika rambutnya yang jingga dijambak oleh seorang pria yang diduga mendagangkan buah. Di tengah suasana pasar yang ramai, gadis malang itu tampak sengaja dipermalukan. Terdapat banyak tumpukan buah yang keluar dari tas yang gadis itu bawa, tanda banyaknya buah yang dia curi. Tidak heran menyulut amarah pedagang itu

“Lihat! Ini pencurinya!” Si penjambak menarik kepala gadis itu dengan kasar. “Dia pantas untuk dihukum!”

Aku yang waktu itu berusia dua belas tahun tidak sanggup menyaksikan anak seusiaku diperlakukan begitu. Namun, di sisi lain aku memang tidak bisa membenarkan tindakannya. Belum pernah kulihat gadis ini di kota tempatku berasal, barangkali dia pendatang yang kelaparan.

“Apa yang sebaiknya kulakukan?” ucap si pedagang dengan nada mengejek. “Akan kupukuli saja!”

“Tunggu!” seruku. “Biar aku yang ganti rugi, asal bebaskan dia!”

Pedagang itu menatapku. “Kamu mau membayar sebanyak ini?” Dia tunjuk tumpukan buah yang berjatuhan.

Entah kenapa aku dengan penuh percaya diri berucap. “Ya, akan kubayar semua kerugian ini. Dengan syarat, bebaskan gadis itu!”

***

Kejadian empat tahun silam kembali membuatku sedikit malu meski di sisi lain bangga telah menyelamatkan seseorang. Namun, hingga kini aku belum juga menemui gadis itu lantaran dia langsung pergi begitu dibebaskan. Menduga dia sebagai pendatang membuatku berprasangka bahwa bisa jadi dia sekarang telah kembali ke kampung halamannya. Andai kami dapat berjumpa kembali suatu saat nanti.

Kini, aku berada di pasar dan hendak membeli makan malam. Hingga jeritan memecah suasana pasar yang meriah. Bersamaan dengan itu, beberapa barang yang akan dijual di pasar berjatuhan akibat sesuatu yang mengejar. Berlarian para warga berusaha menyelamatkan diri. Sebagian bahkan berani saling mendorong dan menjatuhkan agar selamat.

Seekor iblis telah memangsa seseorang, tapi masih menginginkan mangsa baru. Di antara yang terjatuh dan terinjak kerumunan menjadi santapan.

Di antara yang berlarian, aku berjuang menyeimbangkan kaki agar tidak mudah terjatuh apalagi terinjak. Namun, tubuhku terdorong oleh sosok di belakang hingga jatuh.

Bruk! Aku jatuh di antara kerumunan yang berlari. Mereka hanya terus berlari, tidak peduli dengan apa pun selain keselamatan diri.

Tepat ketika aku membuka mata. Wajahku berhadapan langsung dengan sosok iblis yang kelaparan.

Aku menutup mata, tidak sanggup jika harus menyaksikan iblis itu menyantapku.

Kudengar suara sesuatu yang terpotong. Bertepatan dengan benda jatuh di depan. Perlahan ketika mata terbuka, dapat kulihat sosok wanita berdiri di depanku, di tangannya terdapat sebilah pedang yang berdarah serta kepala iblis yang terpenggal di tanah.

Dialah Dima, yang melindungi kota ini dari para iblis. Selain gerakannya yang tangkas, juga penglihatannya yang tajam membuat dia selalu menjadi pengawas terbaik. Meski kali ini dia datang terlambat karena sudah memakan korban.

Ketika iblis tadi tumbang, kerumunan perlahan menghentikan langkah untuk menyaksikan tubuh iblis yang telah terpenggal itu.

“Terima kasih!” Ucapan yang menggema dan selalu terdengar setelah kedatangannya. Hampir semua orang di area terdekat berseru bahkan menganggungkan Dima. Meski begitu, tidak pernah kulihat dia menanggapi. Barangkali karena itu hanya sekadar ucapan, bukan sambutan lain seperti upah atau hadiah.

Dima menjauh membiarkan mereka terus mengucapkan terima kasih padanya. Bahkan ketika sebagian mendekat untuk mengucapinya pun dia abaikan layaknya angin lalu. Namun, sikap itu tidak membuat reputasinya menjadi buruk karena dia tetaplah pelindung kota ini. Sebagai sosok yang terkenal, tidak sedikit yang mendekat dan ingin menjadi temannya. Namun, sejauh ini belum ada yang menarik perhatiannya.

Ketika Dima menjauh, aku memberanikan diri mendekat dan menatap wajahnya. Rambutnya jingga agak bergelombang yang diikat di bagian belakang, kulitnya kuning langsat sementara matanya kuning. Penampilannya memang seperti kebanyakan penduduk sekitar sini sehingga asal-usulnya bisa ditebak hanya dengan anggapan bahwa dia memang benar terlahir dari bangsa kami.

“Terima kasih.” Ucapan itu keluar dari bibirku.

Tidak disangka, matanya tertuju padaku. “Aku yang seharusnya berterima kasih.”

Meski terlihat biasa saja, balasan darinya sukses membuatku terkesiap. Jantungku berdebar ketika ucapan dibalas oleh sosok yang aku kagumi juga. Namun, kenapa dia berterima kasih padaku?

Namun, belum sempat berbuat banyak, dia telah raib.

***

“Keren, lho, dia bicara padamu langsung,” puji tetanggaku keesokan paginya.

“Barangkali itu hanya ucapan untuk kita semua, bukan hanya untukku,” ujarku berkilah. Meski aku tahu dia mengucapkannya sambil menatap langsung ke arahku. Tapi, kenapa bilang terima kasih alih-alih bilang “sama-sama” yang lebih masuk akal?

“Siapa tahu kamu bakal menjadi temannya,” ujarnya lagi.

Ucapan itu hanya kubalas dengan gelak tawa.

Setelah obrolan kecil itu, aku memutuskan untuk pergi ke hutan untuk mencari beberapa kayu bakar atau barangkali berburu. Setelah berkemas, aku bawa dalam satu tas kulit dan melangkah menuju hutan di tengah teriknya mentari. Memasuki hutan, aku berhenti sejenak untuk mengamati sekitar. Memastikan tidak ada bahaya mengintai. Bahkan di suasana hening pun tidak selamanya aman. Dengan waspada, kembali kulangkahkan kaki dan mencari kayu bakar. Bila beruntung, akan ada seekor kelinci yang bisa disantap untuk malam ini.

Srek! Bunyi daun kering terinjak membuatku terperanjat. Langsung saja aku berpaling dan memegang erat pisau yang kugunakan sebagai alat berburu. Suasana hutan kembali hening, namun tentu setelah mendengar bunyi itu membuatku skeptis.

“Maaf sudah membuatmu takut.”

Suara yang kukenal.

“Dima?” Aku nyaris tidak percaya. Kebetulan macam apa ini?!

Baru kali ini kulihat dia tersenyum. “Maaf kalau malam tadi terlalu membingungkan.”

“Tidak apa.” Ah, mungkin saja dia salah berucap.

Dima kemudian merogoh saku dan menunjukkan beberapa keping uang. “Terima kasih sudah membayar ganti rugi waktu itu. Kini, aku kembalikan uangmu.”

Aku ternganga melihat kepingan uang yang ada di tangannya. Hendak berucap tidak tapi aku juga merasa pantas menerimanya. Kuakui waktu itu dia mencuri buah dalam jumlah yang tidak sedikit. Maka, aku terima uang itu. “Terima kasih.”

Dima mengangguk. “Sama-sama, pahlawanku.”

Aku tersipu mendengarnya. Melihat sosok yang waktu itu hanya gadis kurus kering yang tampak menyedihkan kini menjelma menjadi wanita penuh wibawa.

Baru saja hendak berucap lagi, Dima telah pergi. Meninggalkanku yang hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan melongo.


Tamat

Cerita pendek kali ini cukup sederhana, hanya tentang orang biasa yang melakukan hal luar biasa untuk orang istimewa. Terdengar seperti premis yang anu, bukan?

Gimana menurut kalian? Iya, tahu kok pendek. Tapi, ini yang aku inginkan juga, hehe.

Cerita ini diikutsertakan dalam sebuah event tapi gatau nanti kapan dikabarin hasilnya. Semoga bagus aja, ya.

Jangan lupa vote serta memberi komentar supaya aku semakin semangat menulis.

Sampai jumpa!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro