Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mengapa Aku Ada?

[undead, drama]

Setiap yang diciptakan, pasti ada tujuan.

Namun, mengapa aku ada?

Semua makhluk yang berjalan di atas bumi memiliki tugasnya masing-masing.

Lantas bagaimana denganku?

Mereka menjalani hidup sesuai dengan garis takdir yang ditentukan.

Namun, apa garis takdirku?

Tercipta dari makhluk ciptaan, aku tidak dapat menerka. Jika aku ada hanya sekadar untuk mengisi dunia, maka tiada gunanya aku di sini. Penciptaku hanya bisa membuatku ada, tapi tidak mampu memberi tujuan untukku ada.

Pada malam itu, aku diciptakan. Kali pertama aku melihat dunia dan penciptaku. Dia memberiku raga dari gumpalan daging dan tulang, setelahnya dia jejal dengan tumpukan organ dan menyatukannya dalam rangkaian benang jahitan. Dapat kulihat wajah penciptaku dipenuhi gairah, tanpa lelah menyatukan satu demi satu bagian tubuh itu.

Aku berada di ruang yang remang, sehingga sulit menerka waktu. Aroma harum yang berasal dari kobaran api kecil di pojokkan membuatku merasa aman. Sementara dia merakitku dari sisi kiri dan kanan, perlahan tapi pasti, dengan dua tangannya menyatukan ragaku menjadi satu.

Bagian tubuh pertama yang dia ciptakan adalah kepala, tempatku bisa melihat dan mendengar. Ketika dia memasang telinga di kedua sisi wajahku, aku bisa mendengar. Dia lanjutkan menyatukan bagian tubuh lain. Sepanjang mengerjakannya, kulihat dia sesekali tertawa menatapku, sesekali pula menangis ketika tangannya tidak sengaja tergores jarum. Namun, itu tidak membuatnya berhenti. Terus menerus hingga akhirnya dia berhenti dan menarik napas.

"Nah, sedikit lagi." Kudengar ucapan penciptaku untuk kali pertama. Sebelumnya hanya kikikan dan tangisan sejenak.

Dia mengambil sebuah gumpalan daging yang tampak lebih pucat dan meletakkannya dalam kepalaku. Dia tutup bagian atas kepalaku dengan tempurung. Ukuran benda itu sama persis dengan kepalaku. Lalu dia satukan dalam satu jahitan.

Sesekali dalam proses menjahit, kudengar dia bicara sambil menatapku seakan tahu jika aku dapat memahami bahasanya.

"Kamu ciptaanku, dan kamu mahakarya terbaik yang bisa manusia ciptakan. Oh, mana mungkin orang lain bisa? Aku pasti diberkati!" Dia kemudian terkikik.

Dari bentuknya, penciptaku sepertinya jauh lebih kecil dan pendek. Rambutnya cokelat dan panjang terurai, dia sepertinya tidak keberatan jika rambut itu sesekali menghalangi pandangannya.

"Nah, sudah jadi!" Penciptaku berdiri sambil berkacak pinggang, dia bernapas dengan berat. "Perjuanganku! Akhirnya terbayar sudah!"

Hening sesaat. Asap yang berasal dari kobaran api kecil itu perlahan memamerkan diri. Seakan membiarkan aroma harum itu tampil untuk kami sesaat.

Sungguh wangi, hanya bau itu yang tercium dalam ruangan ini.

"Ah, kamu suka bau itu?" Penciptaku bicara lagi, seakan membaca pikiranku. "Ini untuk menutupi bau busuk, sekaligus memicu api agar tidak pernah padam kecuali jika tersentuh air."

Dia mengambil sebuah lilin dan menyodorkannya pada kobaran api harum itu. Dia dekatkan padaku. "Ini aroma dari dupa ciptaanku. Begitu menyengat hingga kamu tidak dapat mencium bau busuk sama sekali."

Tidak heran aku tidak dapat mencium aroma tanah atau aroma badanku sendiri selama di sini. Untuk apa dia melakukannya? Barangkali karena aku terbuat dari gumpalan daging yang bau.

Aku berdehem tanda mendengar.

"Kamu mengerti?" Matanya melotot dihiasi senyuman di wajahnya.

Aku tidak tahu harus balas apa selain dengan menutup mataku dan membukanya secara perlahan.

"Kamu mengerti!" serunya diselingi jeritan tertahan. "Aku berhasil! Aku menciptakan manusia!"

Mengapa aku memahami bahasa yang dia ucapkan? Barangkali karena sesuatu yang dia letakkan dalam kepalaku. Apakah itu benda yang digunakan manusia juga? Aku mencoba menggerakkan bibir, tapi terasa berat dan keras.

"Oh!" Dia menutup mulutnya, tapi aku tahu dia sepertinya gembira. "Ayo, ayo! Ucapkan sesuatu!"

Bibirku begitu berat, terasa kaku dan kering. Berbeda dengan dia yang bisa buka-tutup mulut sesuka hati. Beberapa saat berjuang, akhirnya keluar suara dari bibirku. "A ..."

Kukira dia akan kecewa, tapi kulihat dia berjingkat-jingkat di tanah sambil menjerit pelan. Dia berseru kembali. "Aku berhasil! Aku telah menciptakan manusia!"

Aku diam saja menyaksikan dia menari-nari selama beberapa saat hingga dia berhenti dan menghampiriku.

"Luar biasa! Kamu pintar! Tidak rugi aku menciptakanmu! Kamu mahakaryaku! Ciptaan terbaik umat manusia! Tidak tertandingi!" Dia serbu aku dengan puluhan pujian lainnya dengan cepat hingga ludahnya menciprat ke arahku.

Setelah puas memuji, dia pun berhenti untuk mengatur napas. Aku mencoba duduk hingga posisi kami sejajar. Meski dia masih terlihat mungil.

"Karena kamu perempuan sepertiku, akan kuberi nama yang cantik," ujarnya. "Kamu tidak bisa hidup tanpa jantung, jadi aku ambil dari nama lain dari 'jantung' itu sendiri. Ya, namamu Cordia!"

"Cor ..." Aku mencoba menyebut namaku.

" ... dia." Dia menyambungkan. "Cor-dia, namamu Cordia."

Aku ulangi sekali lagi. Dia bertepuk tangan dan kembali menari lagi mengelilingi ruang beralaskan tanah ini. Tak lama, dia roboh di tanah dan tidak bergerak. Aku mendekat dan memeriksa keadaannya. Rupanya dia tertidur. Entah berapa lama bekerja untuk menciptakanku, yang pasti telah menguras tenaganya.

Sekarang apa?

Apa aku harus menunggunya? Berapa lama dia akan tidur?

Kulihat secercah cahaya memantul dari belakang kami. Ketika menoleh, kulihat itu berasal dari lubang di atas sana, seakan memberiku isyarat untuk mendekat.

Barangkali, di sana ada yang menarik.

Aku lewati penciptaku dan menaiki tangga yang terbuat dari besi. Menuju pintu menuju keadaan luar.

Dia tinggal di rumah yang cukup luas, entah kenapa malah memilih menciptakanku dalam rubanah yang kotor, pengap, lagi gelap. Barangkali agar terkesan tersembunyi, tapi aku lebih yakin dia hanya tidak ingin mengotori rumahnya selama menciptakanku. Melihat beberapa bercak noda dan tumpukkan benda tajam tergeletak di tanah.

Aku menyusuri rumah yang terdiri dari satu tingkat ini, hanya rubanah menjadi daya tariknya karena di situ keadaan tampak kebalikan dengan di atas. Bawah sana sungguh tidak nyaman untuk dilihat, sebaliknya atas sana malah terkesan nyaman untuk dihuni.

Sepertinya, penciptaku hidup nyaman di sini. Lantas, untuk apa dia menciptakanku?

Aku duduk di sebuah sofa. Kali pertama merasa nyaman berbaring setelah merasa kaku akibat berbaring di atas tanah yang keras selama ini. Terasa tidak adil dia bisa berbaring dengan nyaman selama aku kedinginan dan merasa nista di bawah sana.

Pada akhirnya, aku habiskan malam dengan menyusuri rumah penciptaku dan menikmati segala yang ada di sana.

***

Kudengar bunyi ketukan pintu dari luar. Di saat itu juga terdengar langkah kaki dari balik rubanah.

"Sebentar!" seru penciptaku. Dia keluar dari rubahan dengan rupa persis seperti sebelumnya. Tatapan kami kembali bertemu. "Waduh, Cordia, aku kira kamu hilang!"

Terdengar lagi ketukan pintu.

"Iya, sebentar!" sahut penciptaku. Dia berlari ke arah pintu dan membukakannya.

Terlihat sosok gadis yang tampak sebaya dengannya. "Waduh, Mallory, kamu kok terlihat lusuh begitu?"

Penciptaku tertawa canggung. "Malam itu aku selesai menciptakan manusia."

Gadis itu melotot mendengarnya. "Ma ... nusia?"

Mallory–penciptaku berbalik dan menunjukku. "Perkenalkan, Cordia! Manusia pertama yang diciptakan oleh sesama manusia!"

Aku yang tadinya berbaring pun berdiri. Mereka tampak hanya setinggi perutku yang mana membuat mereka harus mendongak untuk melihat wajahku.

Gadis itu begitu pucat, bibirnya gemetar, bahkan dapat kulihat matanya sedikit berkaca. Dia terbata-bata. Bibirnya berjuang mengeluarkan sepatah kata. "Mo ... monster!"

Gadis itu berpaling dan lari tunggang langgang.

"Hei!" tegur Mallory, dia berusaha meraih gadis itu tapi gagal. Dia berdecak. "Orang yang tidak paham mana mau mendengarkan."

Dari ilmu yang diberikan padaku, aku mengerti maksud dari kalimat gadis itu. Monster. Apa maksudnya? Dia melihat sesuatu yang menakutkan? Tapi ... hanya ada aku di pantulan matanya.

"Pencipta, apa aku monster?" tanyaku. Bukankah dia bilang aku ciptaan terbaik umat manusia? Harusnya tidak seburuk itu, bukan?

"Bukan, bukan." Mallory mengibas tangan sebagai isyarat betapa konyolnya kalimat tadi. "Kamu ciptaan terbaik umat manusia. Tidak ada yang bisa menandingi. Jangan dengarkan mereka, mereka iri karena tidak sepertimu."

"Benarkah?" sahutku, sedikit terhibur.

Mallory tersenyum. "Ya, tentu. Yuk, sarapan. Kamu dari kemarin belum makan, tuh."

Aku ikut dia ke dapur dan menikmati sarapan bersama. Karena kursi yang disediakan terlalu kecil, aku duduk di lantai sementara Mallory membuatnya sarapan berupa roti selai kacang dan memberiku dua potong. Meski dua potong tampak terlalu banyak baginya, aku bisa langsung melahapnya dalam sekali gigit. Begitu mungilnya dia dan temannya di mataku. Entah kenapa Mallory menciptakanku begitu tinggi.

"Nah, habis ini, aku mau belanja dulu. Kamu di rumah saja dan tunggu aku, ya," pesan Mallory. "Nanti malam kita akan jalan-jalan. Kebetulan ada pasar malam, jadi kamu pasti suka."

Aku mengangguk patuh. Selagi menunggunya mandi dan berdandan untuk pergi, aku berpikir lebih baik berbaring sambil memandangi langit-langit rumahnya yang berhias warna krem. Di sisi lain aku membayangkan bagaimana kehidupan di luar rumah ini. Mendengar ucapan dari Mallory membuatku kian penasaran dan antusias.

Sepertinya, ini akan seru.

***

Seusai kepergian Mallory, aku kembali merana sendirian di rumah. Dalam keadaan tidak tahu harus berbuat apa, aku mencari segala cara agar tidak bosan menunggu. Ada beberapa hal yang kulakukan guna mengulur waktu, mulai dari mengamati lukisan-lukisan yang dipajang, hingga hiasan rumah.

Dari lukisan, hanya ada satu gambar yaitu Mallory seorang. Wajahnya sama persis dengan yang kulihat di masa sekarang tanda ini lukisan yang masih baru. Namun, aku tidak menemukan lukisan lain seakan hanya dia yang menghuni rumah ini sejak awal. Berarti, Mallory bisa jadi sendirian sejak awal. Apa karena ini dia menciptakanku?

***

Aroma dupa dari rubanah kian menyengat bahkan sampai menguasai rumah ini. Aku bukannya terganggu, hanya saja cemas jikalau api yang menyalakan dupa itu perlahan akan menghabisi rumah ini.

Pintu terbuka dan kulihat Mallory telah datang membawa beberapa bungkus, entah apa isinya.

"Aku membawa beberapa makanan," ujarnya.

Aku bukannya membalas kalimat itu, justru menanyai perihal bau itu. "Bau dupanya ..."

"Ah, itu," potong Mallory. "Sengaja kubiarkan. Tidak masalah jika rumah kita sedikit harum, 'kan?"

Aku mengiakan.

Mallory mengeluarkan beberapa buah dan daging ayam dari bungkusan. "Nah, kamu mau makan apa?"

Aku mengamati makanan yang ditata. Meski aku tahu namanya, tidak dapat kutebak rasa yang dihasilkan. "Apa saja."

Dia mulai mengambil sepotong daging ayam mentah. "Cobalah."

Maka kukunyah. Rasanya sedikit aneh tapi entah kenapa lidahku memaksa untuk mencicipinya lebih banyak. Hingga aku habiskan ayam mentah dengan utuh.

"Enak, 'kan?" tanya Mallory.

Aku mengiakan.

Kudengar suara ricuh dari luar. Pintu dan jendela digedor hingga dapat kudengar bunyi kaca pecah. Aku tersentak dan bahkan tidak bersiap untuk menghadap apa pun di luar sana.

"Monster! Monster! Monster!"

Suara itu menggema bersama dengan derap kaki yang sukses mengguncang bumi. Aku menelan ludah, antara berniat kabur atau merasa harus menghadap mereka.

Mallory mendekati pintu. "Tetap di belakangku."

Aku mendengar dan patuh.

Pintu hancur akibat pukulan dari senjata mereka. Membuatku merasa kian terpojok. Mereka semakin dekat.

Kini, mereka di hadapanku. Mengangkat setiap benda yang bisa dijadikan senjata, bahkan batu sekali pun, menghadap padaku.

"Monster! Monster! Monster!"

Kenapa mereka begitu marah?

Kenapa mereka ingin mengusirku?

"Mallory sudah gila! Apa dia kira dengan begini bisa menghidupkan orang tuanya kembali?" Salah seorang dari mereka berucap.

"Lihat! Itu wajah orang tuanya yang digabung jadi satu! Menjijikkan!" Seorang wanita berseru sambil menunjuk wajahku.

"Lihat badannya yang tinggi! Semua berasal dari dua jasad, ini kejahatan!" seru salah satu dari mereka.

Kulihat seorang gadis di antara mereka, orang asing pertama yang melihatku. "Musnahkan dia!"

"Hentikan!" seruku.

Mereka terkesiap, masih siaga senjata.

Mallory berdiri di depanku. "Dia bukan monster, dia manusia seperti kalian, lihat?"

Aku coba untuk tersenyum, sekiranya bisa meredakan amarah.

Mereka melangkah mundur, tidak sedikit juga menutup mata begitu melihat senyumanku.

"Wajahnya tidak tampak manusiawi," sahut salah satu dari mereka. "Bahkan iblis pun akan berpaling begitu melihatnya."

"Aku tetap manusia!" sahutku.

"Sepertinya dia belum pernah berkaca," balas seorang dari mereka.

Makin ricuhlah mereka. Masing-masing melempar senjata ke arahku dan tidak sedikit pula melempariku dengan kata-kata menyayat hati.

"Monster." Kata yang terus mereka ulangi hingga nyaris membuatku gila.

Aku dan Mallory menghindari lemparan batu bahkan benda tajam yang mereka arahkan padaku. Belum lagi harus menahan batin agar tidak tersayat mendengar ucapan buruk dari mereka. Ini sungguh menyakitkan.

Sebuah batu mendarat di wajahku, aku menggerang.

Mallory bergerak mendekat. Wajahnya tampak kontras dengan wajah-wajah di sekeliling kami, penuh belas kasih.

"Dia belum tahu sampai melihat sendiri." Gadis itu berkata. "Berikan dia cermin!"

Aku mengelus pipi, tepat pada luka bekas lemparan batu.

Tangan gadis itu mengarahkan cermin itu padaku dengan gemetar. "Lihat dirimu!"

Cermin itu hampir saja memantulkan wajahku tapi dia menepis tanganku yang mencoba meraih cermin tadi.

"Ew, jelek!" seru gadis itu ketika aku menatapnya. Dia melempar cermin itu.

Aku langsung mengambilnya dan mencoba memandangi bayanganku.

Terdengar bunyi batu yang menghantam dinding rumah.

"Hei!" tegur Mallory. "Hentikan!"

Duk!

Sebuah batu mendarat di wajahku. Aku menggerang dan terduduk membelakangi mereka. Bertepatan dengan itu, dapat kulihat dari pantulan kaca ...

Mengapa ... wajahku ...

Dipenuhi jahitan, susunan kulit pucat dengan berantakan, mata tajam membekas ke dalam jiwa, bila aku tersenyum, benang-benang itu melebar dan menciptakan lubang yang lebih dalam di wajah. Sementara mereka memiliki kulit mulus dan tampak elok dipandang, berbeda denganku yang tampak seperti kutukan.

Aku seperti dua jasad yang menyatu, seperti apa yang mereka ucapkan.

Betapa buruk rupanya ...

Mengapa aku diciptakan dengan seburuk-buruknya rupa?

Dia bilang aku manis, tapi aku sendiri bahkan tidak sanggup melihat wajahku.

Pencipta, mengapa kau membuatku ada?

"Hei! Hentikan itu!" Kudengar seruan Mallory. "Lepaskan Cordia! Kalian yang monster, rupa bagus tapi tidak punya rasa kemanusiaan!"

Terdengar suara erangan dari belakang. Ketika aku menoleh, terlihat Mallory tengah berjuang melawan kumpulan orang yang telah menggerombolnya.

"Lepaskan Cordia, dasar monster berkedok manusia!" seru Mallory pada sekitarnya. "Kalian bahkan belum melihat sifatnya, malah sok menilai dari luar!"

"Kami tidak ingin kehancuran umat manusia!" seru seorang dari mereka. "Kau kira mayat hidup itu mau mendengarmu? Dengan badan sebesar itu dia pasti akan memberontak dan menghabisi kita semua!"

"Memangnya kau pernah dengar dia bilang begitu?" sahut Mallory.

"Kami khawatir jika dia berbahaya bagi dunia."

"Lepaskan kalau begitu. Kalian manusia, 'kan? Kenapa tidak berempati sedikit dan memberi Cordia kesempatan? Aku heran dengan kalian yang merasa paling sempurna di sini, padahal perusak dunia yang sebenarnya adalah kalian sendiri."

"Jadi, kau kira mayat hidup dapat menyelamatkan dunia?" tanya gadis yang tadinya menjadi temannya. "Mallory, aku mengerti kamu sedang berduka, tapi sadarlah jika orang tuamu tidak akan kembali."

"Ini tidak ada sangkut pautnya dengan mereka," sahut Mallory. "Lepaskan saja Cordia! Dia anak baik!"

"Kau mau mayat berkeliaran di rumahmu?"

Pertanyaan itu membuat hatiku tersayat. Hanya karena rupa, mereka telah menilai seakan telah melihat segala tindakan dan membaca lubuk hatiku. Mereka kira aku akan membinasakan umatnya.

Ah, sungguh lucu.

Mereka menakuti sesuatu padahal mereka sendiri yang melakukannya.

Mereka tidak akan sadar.

Manusia tidak akan sadar.

Sementara Mallory paham, tapi tidak ada yang ingin mendengarnya. Mengira dia akan menyakiti mereka.

Aku mengerti, aku tidak mampu membaca isi hatinya, tapi pantaskah jika aku langsung bertindak berdasarkan asumsi belaka tanpa melihat sedikit kenyataan dari itu?

Aku baru ada sejak kemarin dan belum memahami dunia, tapi sepertinya mereka tidak ingin aku maupun Mallory di sini.

Oh.

Mereka tidak ingin kami di sini. Maka mereka tidak pantas berada di dekat kami sejak awal. Jika itu yang mereka pikir aku tidak pantas hidup di dunia maka mereka juga tidak pantas berlama-lama di sini.

Aku berpaling selagi mereka sibuk berdebat dengan Mallory. Di rubanah, kulihat sebuah obor dan sebuah bubuk yang kuyakini telah menghiasi aroma rumah ini, begitu harum hingga dapat menutupi segala bau. Ini akan menjadi jawaban atas keinginan manusia-manusia itu.

Aku keluar sambil membawanya. Kulihat Mallory telah dipenuhi luka wajahnya, bahkan sebelah mata tidak mampu melihat terhalang oleh lebam. Malangnya dia.

Aku secara perlahan membiarkan angin membawa bubuk itu, biar angin membawanya pergi entah ke mana asalkan di desa ini sudah mulai tertutup bubuk itu. Mereka tidak sadar bahwa ada butiran berjatuhan ke wajah bahkan tidak sedikit telah masuk ke dalam dirinya.

Mereka terlalu sibuk merasa sempurna.

"Kalian hanya akan merusak bumi!"

Aku taburi bubuk lagi hingga habis. Udara dipenuhi bubuk yang telah menyatu dengan angin. Menciptakan gambaran layaknya terkurung dalam kabut.

Seseorang mulai menyadari tanganku yang sedari tadi terangkat. "Hei! Apa yang dipegangnya?!"

Terlambat sudah. Ini keputusan dariku. Aku sangat menyayangkan tindakan mereka. Jika dibiarkan terus, maka binasa sudah dunia seperti yang mereka takutkan.

Aku angkat obor tinggi-tinggi. Menciptakan kobaran api yang kian meluas.

"Kalian yang seharusnya binasa."

Pandanganku dipenuhi warna merah diiringi jeritan dan tangisan di balik asap yang mengepul. Mereka yang telah menghirup udara kematian itu tumbang menjadi abu sementara lainnya telah tersapu angin dengan kobaran api menyertai.

Di antara manusia-manusia yang berjuang menyelamatkan diri meski sudah di ambang kematian, kulihat seorang gadis terkapar di tanah. Setiap bagian dari wajahnya dipenuhi tanah habis diinjak secara bertubi-tubi.

Aku mendekat dan menatapnya. "Pencipta."

Kudengar bisikan darinya, layaknya desiran angin bersama jeritan dan tangisan. Tidak dapat kudengar, namun daat kusentuh maknanya. Dia menutup mata dan membiarkan api mendekapnya.

Aku terdiam. Meski semua orang memandangku dengan jijik, dia satu-satunya yang tetap membelaku.

Untuk apa aku masih di sini? Pencipta, satu-satunya yang menunjukkan kebaikan padaku kini telah tiada.

Sementara mereka yang telah menyakiti kami telah binasa.

Mereka membuatku menderita. Mereka alasanku tidak dapat menikmati hidup layaknya manusia lain.

Mereka harus merasakan deritaku.

Mereka harus diberi pelajaran.

Mereka harus tahu jika aku telah terzalimi.

Mereka telah merasakan akibatnya.

Jika tidak ada lagi yang tersisa bagiku, untuk apa aku masih di sini? Apa aku akan bertahan di luar sana seorang diri?

Apa aku harus menjalani hidup seperti yang dia harapkan padaku? Dia menciptakanku dengan alasan pastinya agar aku bertahan di dunia ini. Di luar sana, masih ada yang belum kujangkau dan barangkali ini yang Mallory inginkan padaku.

Dia ingin aku bertahan. Dia ingin aku terus melangkah.

Maka, kukabulkan keinginannya.

Aku melangkah pergi dari desa itu. Menyisakan abu dan asap menghias udara. Jeritan mereka berangsur hilang menyatu dengan angin, bersamaan dengan aroma dupa mengubur bau jasad yang menyengat.

Tibalah aku di luar batas desa, satu-satunya area yang belum tersentuh api. Sebelum melangkah, aku menatap desa itu untuk terakhir kali. Menyaksikan api membawa mereka menuju dunia yang pantas mereka tinggali.

Tamat

Hai semua! Gimana nih soal cerpen baru dariku? Sedikit anu, ya.

Awalnya cerpen ini dibuat untuk Halloween nanti, tapi aku kepingin update dan jadi deh, muncul di ini.

Cerpen ini juga publish sekalian dalam rangka merayakan tahun ke-5 aku join Wattpad.


Awal aku main di Wattpad itu tahun 2017 dulu, sekarang ini mau serius menggarap, meski sekarang bakal lebih sibuk dari sebelumnya. Tapi, tak apalah yang penting bisa berkarya nanti.

Terima kasih sudah baca dan sampai jumpa di cerita berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro