Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Berdiri Kokoh

Cerpen ini kutulis secara iseng, tidak ada makna tersembunyi di sana selain anu. Selamat membaca!

***

Malam berselimut embun, siang bertudung awan. Begitu kisah hidupku dalam satu kalimat. Setiap hari menyaksikan penghuni bumi ini lalu lalang di sekitarku, membiarkan keadaanku kian menyedihkan. Padahal, jika diberi sedikit kasih sayang, maka aku sudah dikatakan layak.

Bumi memberi belas kasih dengan menyediakan tempat berteduh bagi penghuninya. Namun, ada kalanya bumi mulai marah dan mengusir sebagian penghuninya, termasuk orang tuaku. Mereka marah karena perbuatan penghuninya yang belum juga membalas belas kasih darinya. Hingga saat ini pun, semua masih berlalu seperti sebelumnya.

Aku kini hanya bisa mengandalkan bumi untuk merawatku, meski tentu saja ada banyak sekali penghuni lain yang harus dijaga. Namun, saat ini untuk bisa melihat esok hari pun sudah membuatku mensyukuri keadaan. Bumi memang memberiku tempat berteduh, meski tidak seperti penghuni lain. Setidaknya, aku masih bisa makan dari berian bumi meski tidak sebanyak yang lain. Selama ini, aku hanya mengandalkan belas kasih.

"Tolong, beri belas kasih," ujarku lirih.

Namun, tidak ada yang memberi bahkan melirik. Kupandangi langit, cuaca hari ini memang cerah, tapi tidak pernah menggambarkan keadaan penduduk di perumahan ini.

Aku berada di sebuah perumahan sunyi, bisa dibilang hampir mati karena jumlah warganya yang bisa dihitung dengan jari. Mereka melewati perumahan ini tanpa senyuman apalagi sapaan. Seperti boneka yang berjalan tanpa jiwa. Itulah mengapa aku hanya menyaksikan mereka melewatiku tanpa sekalipun menunjukkan belas kasih.

Bumi memang memberikan belas kasihnya dengan sedikit makanan dan tempat berteduh bagi penghuninya. Namun, aku tidak mendapat belas kasih seperti itu. Hanya bisa duduk diam sambil menunggu keajaiban tiba.

Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara benda keras saling menumbuk, diselingi suara orang-orang saling menyahut. Kulihat, kebanyakan arah jalan warga yang melewatiku itu melanjutkan langkahnya menuju arah suara tadi. Bisa jadi ada kejadian luar biasa di perunahan ini sampai bisa menarik banyak perhatian warga.

Rasa penasaran mendorongku menuju arah keramaian. Rupanya ada tanah lapang yang sedang diberi beberapa kayu dan semen, entah rumah siapa yang akan dibangun kali ini.

Di antara keramaian, kulihat dua pria sedang berbincang. Dari pakaiannya yang megah, kuduga salah satu pria itu pasti seorang hartawan.

"Untuk anakku nanti, tidak mungkin kuberikan rumah yang biasa," ujarnya kepada pria lain. "Kamu selaku pengawas harus memastikan kalau rumah ini akan jadi tempat yang bagus baginya."

Pria satunya, yang aku yakini sebagai mandor, membalas ucapannya. "Kalau begitu, Tuan cukup tambahkan upah bagi kuli bangunan agar mereka dapat menciptakan rumah yang indah."

"Tidak, tidak, itu tidak akan cukup," balas sang hartawan. Dia menatap fondasi bangunan yang belum rampung itu. "Aku menginginkan rumah yang kokoh. Bangunan yang kuat butuh fondasi yang kuat pula."

"Kalau fondasi, kami bisa memberikan saran," ujar si mandor. "Apa Tuan tertarik?"

"Apa itu?" tanya sang hartawan.

"Jika ditambahkan satu saja, sudah cukup membuat rumah ini tetap kokoh meski sudah diterpa seribu badai," ujar si mandor. "Bahkan akan tetap terlihat baru dibangun meski sudah lewat seribu tahun."

Aku yang waktu itu penasaran, langsung mendekat sambil mengharapkan belas kasih dari mereka. Mereka pasti akan bergerak hatinya. Toh, demi anak saja rela membangun rumah yang bagus, apalagi anak kecil malang sepertiku yang hanya bisa menetap diselimuti tanah.

"Tolonglah aku," lirihku. "Aku sudah lama tidak diberi makan." Aku ulangi ucapan itu, kukira mereka tidak mendengar karena masih sibuk berbincang. Namun, pada akhirnya seluruh tatapan tertuju padaku.

Aku pun meninggikan nada suaraku. "Tuan, mohon berbelas kasihlah!"

Perutku yang kosong menuntut banyak makanan, sementara aku saat ini bahkan belum diberi sedikit belas kasih dari bumi. Entah karena bumi mulai bosan merawatku atau aku mungkin sudah dianggap tidak layak untuk dikasihi.

Sang hartawan menatapku. Tidak seperti dugaanku, dia justru memandangiku dengan wajah risi. "Hei, di mana orang tuamu? Beraninya masuk ke sini!"

Suara kerasnya membuatku gemetar, tapi aku berhasil memberanikan diri untuk membalas. "Keduanya telah mati karena bencana."

Sang hartawan terdiam, begitu juga dengan si mandor. Keduanya diam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan pembahasan perihal rumah itu.

"Jadi, apa satu hal yang kamu maksud itu?" tanya si hartawan.

"Cukup satu hal saja." Si mandor mulai menatapku.

"Satu?" Si hartawan mengulang, matanya pun ikut mengarah kepadaku.

Si mandor mengiakan, tanpa mengalihkan tatapannya dariku. "Tentu saja, tanpa jiwa yang menyangga, bangunan ini tidak akan berdiri lama."

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro