Bryan - Sin
Wajah Aurora semakin merah. Aku benar-benar khawatir melihatnya. Walau itu akibat kebodohannya sendiri, tapi aku merasa bersalah. Semua ini tidak akan terjadi kalau aku tidak menyiapkan minuman beralkohol. Gadis ini tidak pernah mengatakan kalau ia tidak minum alkohol.
Aurora terdiam cukup lama sebelum bangkit. Ia berjalan dengan sempoyongan.
"Kau mau ke mana?!" tanyaku segera menyusulnya.
"Pulang...."
Aku melotot dan menahan langkahnya.
"Kau mabuk dan ingin pulang sendirian?! Tidak akan aku izinkan!" ucapku tegas.
"Heh! Bryan!" Gadis itu membentakku dengan tubuh limbung. Oh, sepertinya kewarasan dia sudah hilang.
"Aurora, masuk ke kamar. Kau sudah mabuk," pintaku berusaha menariknya agar mengikutiku ke kamar. Tapi kekasihku itu malah diam saja. Ia enggan mengikutiku.
"Aku tidak mau! Kau mau macam-macam, kan?! Jangan mimpi!"
Aku menghela napas. "Aurora, ayo masuk."
"Ah.... Kalian memang menyebalkan.... Bryan juga menyebalkan.... Kenapa sih kalian ... sukaaaaa sekali membuat para gadis histeris? Hah? Kenapa?!"
Ia terus meracau. Aku memutuskan untuk menggendong dia ke kamar. Kalau aku menunggunya, bisa satu malam dia merepet. Lucunya, meski telah menuduhku, tapi gadis itu tidak menolak saat aku menggendongnya ke kamar. Ia malah melihatku dengan mata bulatnya yang mulai kemerahan karena mabuk. Aku merebahkannya ke tempat tidur. Sebelum bangkit, aku tersenyum padanya. Sungguh, ia sangat menggemaskan.
"Lebih baik kau di sini. Setidaknya kau bisa langsung tidur kalau kau semakin lelah meracau," bisikku menatapnya lembut.
Aurora balas memandangku. Tiba-tiba ia mengalungkan tangannya di leherku. Aroma alkohol dan strawberry menyapa hidungku. Aku terdiam.
"Aku sayang Bryan...," bisik Aurora mendadak mengecup bibirku dengan aroma unik dari alkohol dan kue.
Aku membalas kecupannya dengan lembut. Tapi alkohol telah membuat gadis yang berbaring di bawahku ini mendadak gila. Ia kembali mengecupku sebelum memelukku dengan tangan mungilnya. Aku menenggelamkan wajah di leher jenjangnya dan menghirup aroma vanilla dari sana.
"Bryan...."
Aurora memanggil namaku dengan tangan yang berusaha menarik kaosku. Mendadak aku menghentikan semuanya. Tangannya telah aku pegang kuat-kuat. Aku menatap kedua bola matanya. Ia mengerjap dengan sangat polos.
"Kau mau apa?" tanyaku pelan.
"Aku mau kau...," jawabnya lirih.
Aku menatap wajahnya lekat-lekat.
"Kau menginginkanku?" tanyaku lembut.
"Sangat...."
"Aku juga menginginkanmu," sahutku terus terang. Aku bukan orang munafik. Aku benar-benar menginginkannya. Tapi aku memang harus menghentikannya sebelum semuanya jadi tak terkendali.
"Tapi tidak dalam kondisi seperti ini," ucapku dengan berat hati.
"Kenapa?" Ia mengerjap.
"Kau mabuk, Aurora...," bisikku mengecup keningnya. "Aku menghargai keputusanmu. Aku tidak ingin merusakmu dan komitmen kita. Tidurlah."
Yap! Aku telah membuat keputusan yang akan menyiksa. Katakanlah aku ini bodoh karena menyia-nyiakan kesempatan. Tapi lebih baik seperti ini daripada harus melihat gadisku itu kecewa.
Wahai sabun, tunggu aku di kamar mandi.
Aku melepaskan tangan Aurora dan segera menyingkir dari atas tubuhnya. Kututupi tubuhnya dengan selimut. Aurora hanya menatapku dengan mata memerah. Kurasa sebentar lagi dia mulai berkicau lagi.
"Ahhh.... Kau marah kan? Kau marah karena rumor.... Yaaaaaaa! Itu hanya rumor. Tapi Sean memang tampan sih. Ehehehehe...."
Aku melotot. Masih sempat-sempatnya dia memuji Sean?! Kenapa bukan aku yang dipuji?! Aurora sialan!
"Tidak. Aku tidak marah! Tidurlah!" sahutku ketus.
Gadis itu kembali mengerjap polos. "Hhhh.... Kau marah.... Nah! Ituuuu.... Kau membentakku.... Pasti foto itu juga yang membuatmu marah.... Ah.... Kenapa jadi foto ciuman dengan Sean????"
Aku terkesiap. Foto ciuman dengan Sean??? Apa maksud Aurora?!
"Ciuman dengan Sean?" tanyaku dengan hati panas.
Aurora terdiam. Aku meraih tangannya, lalu kucengkeram kuat. Sekuat tenaga aku menahan emosi yang naik. Rahangku mengeras.
"Kau berciuman dengan Sean? Jelaskan padaku!" desakku dengan suara bergetar karena menahan amarah.
"Tidak! Foto itu bohong.... Ahhh! Ini gara-gara penguntit sialan.... Padahal kan.... Itu.... tidak seperti...."
Hah! Bagus!
Gadis ini malah ketiduran sebelum menjelaskan apa pun padaku! Aku menatapnya dengan frustasi. Iya! Aku frustasi karena dua hal. Pertama, aku harus menahan hasrat sampai-sampai kepalaku pusing. Aku rela menahan hasratku karena aku sangat menghargai Aurora. Kedua, ciuman dengan Sean?! Mati-matian aku menahan hasratku, tapi yang keluar dari bibirnya adalah kalimat brengsek itu?!
Aku meraih ponsel di nakas untuk menghubungi Sean. Berkali-kali aku menarik napas panjang untuk meredam emosi. Ah, itu sulit sekali! Bayangan Sean dan Aurora yang berciuman sudah terlanjur bermain dalam kepalaku.
"Halo. Ada apa?" sapa Sean dari seberang sana.
"Ada kejadian apa di Everland?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Oh.... Itu.... Biasa. Rumor. Buka saja internet."
Alisku bertaut. "Hanya itu?"
Sean terdiam.
"Sean. Ada apa denganmu dan Aurora?" desakku tidak sabaran.
"Kita harus bertemu."
Aku menahan emosi. Reaksi Sean menunjukkan seperti telah terjadi sesuatu dengannya dan Aurora. Hah! Pantas saja Aurora langsung memelukku tadi! Pasti karena sadar kalau ia telah berbuat kesalahan!
"Jadi benar kau berciuman dengan Aurora?" tanyaku menahan amarah.
"Tidak!"
"Lalu apa?!" Aku mulai kesulitan mengontrol diriku.
Sean menghela napas. "Aurora masih di tempatmu? Aku ke sana sekarang."
"Masih! Kenapa kau malah menanyakan Aurora?!"
"Kenapa kau sangat marah?"
"Jelas aku marah! Dia asistenku!"
"Begini saja, kita harus bertemu sekarang juga. Ini masalah serius."
Aku menatap Aurora yang tertidur sebelum memutuskan untuk memberikan persetujuan. Tadinya aku belum ingin mengatakan pada member lain soal hubunganku dengan Aurora. Tapi sepertinya aku memikirkannya lagi.
"Aku tunggu," balasku langsung mengakhiri panggilan.
🍃🍃🍃
Kening Sean mengernyit saat melihat meja makan yang dipenuhi oleh makanan, minuman beralkohol, dan lilin. Aku sadar, ia pasti mulai berpikir yang aneh-aneh, semacam mulai menganggapku mengalami halusinasi tengah makan malam bersama kekasih. Ia menunjuk ke arah meja.
"Kau tidak sedang berkhayal memiliki kekasih, kan?" tanya Sean polos.
"Aku masih waras," dengusku pelan.
Mata Sean melebar. "Oh! Jadi kau sudah punya kekasih baru?! Siapa?!"
"Aurora Titania," jawabku tegas.
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Aku tidak berkata apa-apa lagi dan segera mendudukkan diriku di sofa. Sean masih terpaku di dekat meja makan. Niatnya untuk mengambil minuman di lemari pendingin sepertinya sudah menguap. Ia menyusulku di ruang tamu.
"Kau tidak sedang bergurau, kan?"
Aku tersenyum hambar. Oh, rupanya ia masih penasaran. Kupikir, ia akan mengatakan selamat atau sejenisnya atas hubunganku dengan Aurora. Yah, sebenarnya tidak penting juga. Dulu, saat aku memiliki kekasih, ia malah menertawakanku. Kurang ajar memang si Sean ini.
"Apa aku terlihat sedang bergurau?" balasku.
Sean duduk di sampingku.
"Jadi itu yang membuatmu marah?"
"Ceritakan apa yang telah terjadi." Aku mengabaikan pertanyaannya.
Ia menghela napas. "Sudah tahu kan rumor dating di Everland hari ini?"
"Yang ingin aku ketahui adalah soal ciuman itu!"
"Itu tidak benar! Tadi ada penguntit. Entah papparazzi atau fans gila," sela Sean.
"Oh, lalu?"
"Aku dan Aurora makan di mobil. Aku hanya berusaha mengambil minuman di dekatnya. Aku tidak tahu kalau ada yang memotret itu dari jauh," tutur Sean melanjutkan.
Mataku menyipit. "Benar?"
"Astaga.... Untuk apa aku berbohong? Daripada menuduhku yang bukan-bukan, lebih baik kita memikirkan cara agar Aurora aman."
Aku membisu.
Sean benar. Jika sampai foto itu rilis dan tersebar di media, Aurora pasti akan menjadi sasaran bully dari para immature fans. Bahkan bisa jadi nyawanya ikut terancam karena fans gila. Sungguh! Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya gadisku itu hanya karena selembar foto.
"Aku sudah memikirkan solusinya. Aku juga sudah mengatakannya pada Aurora," ucap Sean.
"Apa solusimu?" selidikku penasaran.
Sean tidak langsung menjawab. Ia terlihat ragu dengan jawabannya yang justru membuatku semakin penasaran setengah mati.
"Apa?!" desakku tidak sabaran.
"Emmm.... Aku memintanya menjadi kekasihku...."
"KAU SUDAH GILA, SEAN???!!!!"
Spontan aku berdiri dengan mata melotot dan suara yang menggelegar. Sean sangat terkejut mendengar teriakanku yang entah menyentuh oktaf ke berapa. Ia mengelus dadanya, lalu ikut berdiri.
"Bagaimana bisa kau meminta kekasihku menjadi kekasihmu?!" bentakku kesal.
"Mana aku tahu dia kekasihmu! Kenapa tidak bilang kemarin-kemarin?!" balas Sean dengan suara meninggi.
Oh, sial! Sean benar!
Berulang kali aku menarik napas dalam-dalam, lalu kembali menghempaskan diriku di sofa. Sean pun melakukan hal yang sama. Aku meliriknya sekilas. Wajahnya terlihat lebih kusut. Mungkin karena memikirkan masalah foto itu.
"Aku memintanya jadi kekasihku untuk menyelamatkan nama baiknya. Walau aku mengelak, mereka pasti tidak akan percaya dan tetap beranggapan bahwa itu adalah foto ciuman," jelas Sean berusaha meluruskan.
"Tidak harus menjadi kekasih, kan?" sindirku jengkel.
"Kalau aku tidak seperti itu, orang akan menganggapnya gadis penghibur! Kau mau seperti itu?"
"Bilang saja dia itu staff atau saudara sepupumu!"
"Ayolah.... Jangan bercanda. Bagaimana kalau fans berhasil menelusuri silsilah keluargaku dan menemukan bahwa Aurora bukan siapa-siapa? Mereka akan semakin marah karena merasa kita tipu!"
"Aku akan meminta agensi agar mengonfirmasi hubunganku dengan Aurora!" ucapku frustasi.
"Dan membiarkan para fans berpikir bahwa Aurora selingkuh denganku hingga ketahuan berciuman malam-malam???" tukas Sean.
"Cerita saja yang sebenarnya!"
"Lalu membuat fans tahu kalau kau dating dengan asisten rumah tanggamu? Kau tahu apa yang akan mereka pikirkan tentang Aurora?" ucap Sean mematahkan usulanku lagi. "Di sini bukan kita yang menderita, tapi Aurora. Kupikir konfirmasi dating denganku adalah langkah terbaik."
Aku menghembuskan napas kasar. Hanya masalah foto saja tapi sudah membuatku pening. Merelakan agensi mengonfirmasi soal hubungan Sean dan Aurora? Aku belum sanggup membayangkannya. Aku belum sanggup menerima fakta bahwa orang-orang akan mengenal Aurora sebagai kekasih Sean.
Lebih tepatnya, aku tidak akan pernah sanggup.
🍃🍃🍃
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro