Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Aurora - 9

Sisa malam gue berakhir di kamar Bryan. Sendirian. Bryan tahu diri, jadi dia pasti memilih untuk tidur bersama Loey dan Sean di kamar sebelah. Astaga.... Mimpi apa sih gue bisa menginap satu apartemen sama mereka?!

Tubuh gue terebah dengan sangat nyaman di pembaringan. Gue lelah. Gue telah mencapai titik sangat mengantuk. Di saat mata gue siap memicing, tiba-tiba¾

"AAAAARRGGHHHH!!!"

Lolongan Bryan membuat gue terkejut dan panik setengah mati.

"AARRGGHHH!!! PERGI!!! PERGI!!!"

Suara Loey yang besar itu menjerit nggak kalah kencang dari Bryan.

"AUUUU-YAAAA!!!!!!" Sean malah menjerit memanggil gue.

Gue tambah panik mendengar suara mereka yang sudah sekencang mahasiswa yang lagi demo pakai toa. Itu pita suaranya segede gorong-gorong atau gimana sih??? Gue curiga, dulu emak mereka ngidam sangkakala pas hamil.

Gue berlari secepat yang gue bisa. Tiga mahluk jantan itu masih berteriak histeris dari dalam kamar dengan suara glodakan yang rusuh banget. Gue pun membuka pintu kamar dan menemukan tiga cowok itu berdiri berhimpit-himpitan di pojok dengan muka pucat. Gue jadi tambah panik, kan!

"Ada apa?!" tanya gue ikutan heboh.

"AAAARRRGGHHHH!!!"

Mereka bertiga malah berteriak berjamaah menggunakan nada A minor, E, dan G. Muka ketiganya bertambah pucat eraya kabur bersamaan. Mereka kompakan sembunyi di belakang gue.

"Ada apa ini?!" tanya gue makin bingung.

Sean menunjuk ke dinding dekat ranjang yang membuat gue terperangah.

"Kecoa?!"

Itu doang?! Seriously?! Mereka jejeritan macem anak gadis yang histeris liat abs dan otot di badan Sean cuma gara-gara kecoa???

"Itu? Hanya itu?" tanya gue memastikan.

Jawaban mereka nggak gue butuhkan karena tiba-tiba ada kecoa terbang ke arah kami. Tiga cowok yang gagal mempesona di belakang gue itu pun langsung berteriak melengking, lalu berikutnya yang gue denger adalah suara berdebum.

Gue menoleh dan mata gue hampir melompat melihat Sean pingsan dengan satu kecoa yang mendarat manja di wajahnya. Haduh! Nih cowok, ya! Dada boleh sebidang lapangan bola, perut boleh berpetak-petak kayak sawah. Tapi pingsan ketemu kecoa?!

Hhhh....

Bukannya menolong Sean yang pingsan, Bryan sama Loey malah menjauh gara-gara melihat kecoa itu masih menempel di kening Sean. Gue nggak bisa meletakkan harapan tinggi-tinggi ke mereka. Gue pun bersimpuh di dekat Sean untuk memegang antena kecoa itu.

Dengan segera gue masuk ke toilet. Gue mengambil sabun cair yang akhirnya gue tuang ke badan kecoa itu. Setelah sekarat, gue melempar mahluk itu ke dalam toilet, lalu gue flush sampai lenyap dari hadapan gue.

"Sean! Bangun- AAAARRGGHHH!!!" jerit Loey.

Nah, apalagi tuh? Pasti kecoa yang di dinding tadi!

"Au-yaaa!!! Cepaaattt!!!" jerit Loey.

Gue segera meluncur ke mereka. Dugaan gue tepat. Kecoa yang gue maksud jalan merangkak dengan super percaya diri ke arah Loey. Gue bergerak cepat mengambil minyak kayu putih dari dalam ransel, lalu gue meneteskan minyak kayu putih ke badan kecoa sialan itu. Beberapa waktu berlalu, dan akhirnya gue, Loey, dan Bryan jadi kesaksian tewasnya dua kecoa hari ini.

"Sudah. Beres."

Gue mengambil kecoa itu dan nge-flush lagi. Saat gue kembali, Sean sudah sadar. Dia masih bengong. Tapi sebengong-bengongnya dia, tetep aja ganteng.

"Aurora keren...," puji Loey dan Bryan dengan wajah nggak percaya.

Gue tersenyum hambar.

"Mau tukaran kamar?" tawar gue sadar diri.

"MAU!!!" sahut ketiganya dengan penuh semangat.

Gue pun terusir dari kamar Bryan dengan membawa satu kisah kelam tentang kecoa. Aib idola gue yang cukup gue, mereka, kecoa, dan Tuhan yang tahu.

🍃🍃🍃

Karena terbiasa bangun pagi, jam lima tepat pun nyawa gue sudah mulai mengumpul. Gue segera melaksanakan kewajiban gue untuk beribadah di waktu subuh. Begini-begini gue masih ingat Tuhan kok. Walaupun pikiran gue kadang mengkhianati nilai-nilai luhur dalam spiritual, tapi gue masih berusaha menjalankan apa yang sudah menjadi kewajiban gue sebagai mahluk Tuhan. Gue yakin, bukan cuma gue yang seperti ini. Jutaan fangirl di luar sana pun pasti mengalami hal yang sama kayak gue.

Gue keluar kamar dan menemukan Sean yang tidur di sofa. Sepertinya dia masih trauma dengan kecoa di kamar tidur. Atau kemungkinan lain, dia nggak tahan sekamar dengan Loey dan Bryan. Ya, seisi Planet Pluto juga paham bagaiman gaya mereka berdua kalau tidur. Gue yakin, Sean yang tidurnya tenang seperti bayi nol bulan itu akan berada di ambang hidup dan mati karena terjepit Bryan dan Loey.

Sean terlihat agak kedinginan. Jadi gue masuk lagi ke kamar dan mengambilkan selimut untuk dia. Gue menyelimuti badan dia yang atletis seraya memandangi wajahnya.

"Hhhh.... Lo emang indah. Sayangnya, elo jodoh orang orang lain. Jodoh orang yang cuma boleh dilihat, tapi nggak boleh disentuh," gumam gue mengagumi pahatan wajah dia yang nyaris sempurna.

Tiba-tiba Sean membuka matanya. Gue sedikit terkejut melihat dia yang bangun dengan terlalu tiba-tiba.

"Kau bicara apa tadi?" tanya Sean yang membuat gue gelagapan.

"Jangan tidur di sini. Dingin," jawab gue berusaha menguasai diri.

Sean bangun, lalu duduk sambil tersenyum. "Kalau aku tidur di dalam, aku bisa mati terjepit. Kau tidak kuliah?"

"Hari ini kosong. Profesorku sedang ke Swedia. Kau sendiri?" tanya gue. Diam-diam gue marah dengan diri sendiri. Kenapa sih gue nggak bisa selepas ini di depan Bryan?!

"Kami akan sibuk untuk comeback," jawab Sean.

Gue manggut-manggut. "Pasti kalian lelah."

"Ya begitulah.... Tapi demi fans, kami tidak apa-apa," senyum Sean manis. "Bagi kami, fans sangat berarti. Mereka juga mencintai kami dengan tulus. Tanpa mereka, kami bukan siapa-siapa."

Perlahan gue ikut tersenyum. Gue memang nggak salah menggemari mereka. Melalui pekerjaan sampingan ini, gue jadi paham kalau mereka memang berusaha keras demi menyenangkan fans. Bahkan terkadang mereka mengabaikan cedera karena nggak mau membuat fans kecewa. Padahal ... seandainya mereka tahu, fans akan sedih kalau mereka terlalu memaksakan diri.

"Hhhh...." Gue bangkit dengan helaan napas. "Aku ke dapur dulu."

Sean mengangguk dan kembali bergelung dalam selimut. Sementara gue segera mengerjakan tugas sebagai asisten rumah tangga yang baik serta rajin.

Loey yang terbangun lebih dulu menyusul gue yang tengah menyiapkan minuman hangat di dapur. Rambut dia acak-acakan dengan muka bantal. Tapi kembali, gue harus mengakui kalau mereka ini dianugerahi wajah rupawan yang walau mereka ngiler sebaskom pun gantengnya nggak akan luntur.

"Selamat pagi, Au-ya. Kau sedang masak apa?" sapa Loey mendekati gue.

"Kau mau apa? Akan aku buatkan," senyum gue.

"Bisa masak makanan Korea?"

"Belum terlalu. Masih belajar," jawab gue jujur. Ini kelemahan gue. Ya bukannya gue nggak bisa total. Gue masih dalam tahap belajar dan gue nggak mau membuat mereka keracunan.

"Masak saja apa yang kau bisa. Bryan selalu bilang, nasi goreng dan mie goreng buatanmu enak sekali. Buatkan saja itu."

Gue mengangguk. Untung gue menyimpan cadangan indomie goreng satu kardus di dapur.

"Bryan belum bangun?" tanya gue penasaran.

Loey menggeleng. "Bangunkan saja."

"Iya, sebentar. Aku buatkan susu dulu untuk kalian."

"Biar aku yang buat. Bangunkan saja Bryan," kata Loey buru-buru mendorong dan memaksa gue pergi dari dapur. Mau nggak mau, gue melaksanakan titah dari Loey. Gue pun masuk ke kamar dan menemukan Bryan lagi tidur terlentang. Dia terlihat terkapar, mengenaskan dengan kedua kaki serta tangan yang terbuka lebar.

Gue menunduk. Haruskah gue yang membangunkan dia? Gue malu....

"Aahhh! Uhmmm.... Hhnnghhhh...." Bryan mengigau di tengah tidurnya.

Gue nggak tahu dia sedang mimpi apa. Setelah meyakinkan dan menguatkan diri, gue pun berusaha mendekati dia untuk mengguncang tubuhnya pelan.

"Bryan, Loey memintaku membangunkanmu," panggil gue.

"Eeuuungghhh...." Bryan malah meracau dalam tidur. Nggak ada tanda-tanda dia mau bangun. Gue menghela napas dan berusaha mengguncang bahu dia lagi.

"Bryan.... Bryan...."

"Berisik!" umpat Bryan.

Yang terjadi selanjutnya adalah jantung gue nyaris lepas saat dia meraih tangan gue. Dia menarik gue sampai limbung dan jatuh tepat di atas dia....

ASTAGA!

ASTAGA!

ASTAGA!

Gue shock! Gue nggak bisa mikirin apa-apa lagi! Gue panik! Kakinya yang tadi terbuka lebar, sekarang menjepit badan gue sampai gue nggak bisa bergerak.

"Bryan!" panggil gue panik dan berusaha keras melepaskan pelukan dia.

Bukannya terlepas, pelukan dia semakin kuat yang membuat gue semakin panik luar biasa! Nggak! Gue nggak bisa diperlakukan seperti ini! Gue takut! Gue mau nangis aja rasanya!

"Hmmmm...," gumam Bryan yang teramat sangat dekat dengan indra pendengaran gue. Ketakutan dan kepanikan gue pun langsung melesat 200%. Gue meronta. Tapi sial! Pelukannya terlalu kuat!

"SEAAAANNNN!!! LOEYYY!!!" jerit gue sekencang-kencangnya.

Seketika mata Bryan terbuka lebar. Dia melotot saat melihat wajah panik gue yang menindih tubuhnya.

"HAAAHHHH??!!!" kaget Bryan dan¾

BRUKKKHHH!!!

"Aaawwww!" jerit gue kesakitan.

Sumpah ya!!! Bryan tega banget telah mendorong gue keras banget!!! Pantat dan bahu gue sakit banget karena terbanting keras di lantai. Gue bangkit, lalu meringis sambil mengelus badan dengan hati terluka

"Ada apa ini, Au-ya?!" panik Loey yang baru saja datang.

"Aurora!" ucap Sean melesat menghampiri gue. Tapi keberadaan Bryan yang lebih dulu mendekati gue membuat langkah Sean tertahan.

"Aurora, maaf. Maafkan aku," kata Bryan berusaha menyentuh bahu gue. Tapi gue segera menepis tangan itu dengan mata berkaca-kaca. Dengan susah payah, gue berdiri dan berjalan keluar kamar. Gue melewati Loey dan Sean begitu saja. Sekarang bukan hanya badan gue yang sakit, tapi hati gue juga sakit. Dobel sakitnya yang akhirnya membuat air mata gue keluar. Setakut itu gue dengan perbuatan Bryan hari ini.... Sesakit ini ya rasanya diperlakukan kurang baik oleh orang yang dicintai.

Gue mengambil ransel gue di kamar dan kemudian pergi tanpa pamit. Besok gue pasti akan kembali ke apartemen Bryan lagi.

Tapi untuk mengajukan surat resign....

Di halte, gue menghapus air mata. Hati gue sakit banget. Iya, gue paham Bryan nggak sengaja. Tapi bisa kan nggak usah pakai acara membanting gue di lantai? Gue bukan atlet smackdown kayak John Cena. Harus banget ya dia banting gue di depan Loey dan Sean? Harga diri gue ikut terbanting. Hancur berkeping-keping. Gue malu....

Bis berhenti di depan gue. Tangan gue masih sakit, tapi hati gue lebih sakit....

Gue duduk di bus dan seketika gue menyadari sesuatu.

Gue masih memakai piyama....

Fakta lain yang membuat gue menololkan diri sendiri adalah baju gue ketinggalan di kamar Bryan.

-Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro