Aurora - 5
Gue sedang berdiri di pinggir jalan sembari menyeruput minuman hangat. Udara malam ini cukup dingin. Ditambah lagi, sejak tadi gue melihat banyak pasangan yang berlalu-lalang dengan bergandengan tangan. Gue iri. Berharap ada cowok tampan yang sudi menghangatkan tangan gue. Rasanya jari-jari gue sudah penuh debu dan usang karena terlalu lama sendiri.
"Aurora."
Gue menoleh. Senyum si pemanggil nama gue itu membuat saluran pernapasan gue mendadak sempit. Levin—temen sekelas gue asal Vancouver—memang tampan. Dalam sekejap, gue mendapatkan tatapan iri dari beberapa orang yang lewat. Hah! Mereka pasti mengira Levin ini pacar gue.
"Bagaimana? Lancar?" tanya gue.
"Lancar. Kau sendiri? Sudah selesai?" Levin balik bertanya.
Gue mengangguk. Di saat bersamaan, Lisa dan Joyceline pun datang. Kami berempat satu kelompok dan Levin jadi satu-satunya cowok di kelompok kami.
"Mission completed! Jadi, selanjutnya bagaimana?" tanya Lisa.
"Kita selesaikan malam ini. Besok kan tidak ada kelas pagi. Jadi tidak masalah kalau kita lembur," tawar Joyceline.
"Boleh juga. Kita kerjakan di mana?" sahut Levin.
"Di tempatku dan Aurora saja. Bagaimana?" usul Lisa.
"Oke," angguk Levin.
Setelah semuanya setuju, kami pun langsung meluncur ke apartemen untuk menyelesaikan tugas kelompok. Lembur juga nggak masalah. Besok gue cuma ada dua mata kuliah dari jam sebelas sampai jam dua siang. Dan sepulang kuliah, gue harus meluncur ke apartemen Bryan. Gue harus mencuci dan menyetrika pakaian mahal dia. Lalu membersihkan apartemen dia yang sebenarnya selalu bersih karena jarang berdebu.
Satu hal yang belum bisa gue lakukan: masak makanan Korea.
Gue masih dalam tahap belajar. Jadi daripada gue memasakkan makanan nggak layak konsumsi, lebih baik gue jujur dari awal. Gue cuma bisa membuatkan makanan simpel semacam nasi goreng, mie goreng, tumis-tumisan, dan masakan yang mudah lainnya.
"Aurora," panggil Joyceline menghancurkan lamunan gue.
Gue menoleh.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Joyceline. Dia adalah make up artist yang memberi tahu soal kerja part time di apartemen Bryan. Kebetulan dia itu teman sekelas gue di kampus.
"Baik," jawab gue singkat sambil mengacungkan jempol.
"Syukurlah. Kau tidak keteteran, kan?"
Gue tersenyum. "Tidak. Terkadang aku memang lelah. Tapi sudah risikoku. Aku harus bertanggungjawab pada pekerjaanku."
"Aku tahu kau pasti bisa melakukannya. Aku tidak salah pilih orang," ujar Joyceline tersenyum cantik.
"Terima kasih, ya. Aku benar-benar terbantu," balas gue.
"Tidak usah dipikirkan."
Dan malam itu pun, kelompok gue isi dengan lembur demi seonggok nilai "Perfect" dalam transkrip nilai kami kelak.
🍃🍃🍃
Besoknya, badan gue serasa mau rontok saat tiba di apartemen Bryan. Cowok itu masih ada jadwal manggung—katanya. Tapi sebentar lagi dia selesai. Kata dia, gue masuk duluan saja dan lakukan apa yang sudah jadi tugas gue. Gue hanya mengiyakan saja.
Gue nggak tau kenapa dia percaya banget sama gue sampai-sampai berani menyerahkan cardlock cadangan. Gue pun bisa mengakses apartemen dia dengan mudah. Kalo seperti gini, gue merasa seperti jadi pacarnya. Nggak salah dong kalau gue berkhayal seperti ini? Situasinya mendukung sih.
Pekerjaan pertama gue adalah mengecek kebersihan dapur dia. Gue tahu dia nggak bisa masak. Merebus telur aja nggak becus, terciprat di sana-sini. Jadi gue maklum melihat dapur dia yang kotor. Gue pun segera membersihkan dapur dia yang mengenaskan itu. Pekerjaan kedua gue adalah mengecek pakaian bersih dia di pengering pakaian. Setrikaan gue nggak terlalu banyak tapi lumayan bikin pegel karena sejujurnya, gue nggak suka nyetrika. Tapi apalah daya, gue harus bertanggung jawab sepenuhnya pada job desk. Beberapa puluh menit berlalu, akhirnya kerjaan kedua gue kelar.
Gue membuka pintu kamar dia. Seperti biasa, baju kotor dia berserakan di mana-mana. Dan... gue nggak habis pikir, kenapa underwear dia bisa ada di atas TV?! Benda itu menggantung begitu saja di sudut TV sampai menutupi sebagian layar.
"Hhhh.... Sabar, Aurora.... Sabar...."
Gue memutuskan untuk merapikan dulu baju yang habis disetrika, baru gue urusin tuh underwear sialan. Kayaknya dia sengaja banget deh ngerjain gue lagi.
"Kenapa bisa nyasar di sini sih?!" gerutu gue sambil mengambil benda itu dari sudut TV.
Gue memegang underwear itu cukup lama sambil berpikir. Bisa kali ya gue buka pre order underwear Bryan. Ah! Atau mending gue buka lelang aja??? Gue paham, ada banyak fans kaya-raya dan akan membeli apa pun pernak-pernik yang berkaitan sama grupnya Bryan. Modelan fans kayak gitu pasti ridho lahir batin membeli underwear artis idola dengan harga tinggi. Jadi gue bisa bayar angsuran study loan gue di bank.
Tapi gue buru-buru memusnahkan rencana busuk itu. Gue mau mencari uang dengan cara halal dan diberkahi Tuhan. Bukan dengan cara mengutil underwear bekas. Malulah sama gelar S2 yang sebentar lagi gue sandang. Gue juga nggak mau menambah daftar dosa. Gue mau jadi orang lurus.
"Sudah berapa menit kau memegang celana dalamku?"
Suara yang nggak asing itu membuat gue menoleh dan... melotot!
Mampus!!! Jantung gue rasanya berhenti berdetak saat melihat Bryan yang tiba-tiba muncul tanpa ada tanda. Sumpah! Gue tengsin abis! Apalagi sekarang gue masih memegang underwear dia.
Bryan berdiri bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Senyum jahil khasnya mulai keluar lagi.
"Mau sampai kapan kau memegang celanaku?" tanya dia lagi yang membuat gue buru-buru melempar benda itu ke lantai. Gue bersumpah! Pasti pipi gue udah merah nggak karuan sekarang.
Dia mendekati gue. Semakin dekat semakin jelas kalo make up-nya belum dihapus dan itu bikin dia keliatan... ganteng. Ralat! Makin ganteng dan manly look!
Bryan berhenti tepat di depan gue, sementara mata gue malah nggak bisa berkedip menatap wajah dia. Mata gue udah berkhianat sama perasaan gue. Gue lagi malu banget, tapi mata gue malah memelototi wajah ber-make up dia yang mempesona.
"Kalau kau suka, kau boleh menyimpannya," kata dia yang membuat gue melotot.
Ngapain gue simpen daleman elo anjir?! Oh iya, gue mau open PO....
"Bukan! Bukan! Bukan seperti itu!" sergah gue cepat setelah memusnahkan pikiran sesat barusan.
"Lalu kenapa kau melihatnya sampai melotot begitu???" Bryan memancing gue.
"Aku hanya heran, kenapa benda ini bisa tersangkut di televisi," jawab gue jujur. Gue nggak punya alasan lain yang nggak kedengeran konyol. Jadi gue jawab apa-adanya.
"Orang pintar memang selalu seperti itu, ya? Selalu mengamati hal yang tidak penting sekalipun. Jangan-jangan, kau juga suka mengamati iring-iringan semut di jalan?" sindir Bryan tersenyum miring. Ia mencondongkan badannya ke gue. Gue agak menjauh karena muka dia jadi terlalu dekat dengan gue.
"Bukan hanya itu. Kau juga pintar berbohong...," sambung dia.
Kening gue berkerut.
"Bohong??? Maksudnya?" Gue berusaha memperjelas.
Bryan merogoh ponsel dari sakunya, lalu menunjukkan beberapa foto yang membuat kening gue semakin mengernyit.
"Ini kau, kan?" tanya dia terlihat marah.
Gue mengangguk. Itu memang gue.
"Kau bilang izin karena tugas kelompok. Tapi yang aku tahu, semalam kau berkencan dengan pemuda tampan. Kenapa kau berbohong padaku?"
Mata gue melebar denger ocehan dia.
"Aku tidak berkencan. Aku benar-benar ada tugas kelompok!" bantah gue membela diri.
Bryan menghela napas, lalu menjauh dari gue. Gue bisa melihat kalau sekarang dia kecewa berat sama gue. Tapi serius, gue nggak bohong!
"Aurora. Aku tidak apa-apa kalau kau memang lelah dan butuh istirahat."
"Tapi itu¾"
"Aku tidak mempermasalahkan kau ingin kencan...," sela Bryan yang malah menggantung ucapannya sendiri dan diam.
Gue ikut membisu. Kalimat dia yang itu kok bikin hati gue perih, ya.... Gue memang nggak boleh terlalu berharap. Selamanya gue dan dia adalah fans dan idol. Nggak lebih.
"Tapi aku tidak suka kau berbohong. Aku tidak sekejam itu memaksamu bekerja. Aku tahu kalau kau lelah karena harus kuliah sambil bekerja. Jangan memaksakan diri. Aku tahu ini tidak mudah bagimu." Bryan melanjutkan kalimatnya yang membuat hati gue mencelos. Gue jadi terharu mendengar itu. Dan tanpa permisi, air mata gue jatuh. Gue nggak menyangka dia seperhatian ini sama gue yang cuma pembantunya.
"Eh, kenapa kau menangis?!"
Gue menggeleng sambil memungut celana dalam yang tadi gue lempar. Gue masih menangis dan berniat ingin menyingkir dari hadapan dia. Gue pun berjalan keluar dari kamar. Tapi Bryan menahan tangan gue. Jadi gue pegang celana dalam dia, dia pegang tangan gue yang lagi pegang celana dalam.
"Maaf...," ucap dia pelan.
Mata gue membulat. Gue nggak menyangka dia bakal minta maaf. Dan gue lebih nggak menyangka lagi saat dia mengusap air mata gue. Hati gue adem. Gue sedih sekaligus senang. Sedih karena gue sempet dianggap pembohong. Senang karena dia baik banget mau mengotori tangannya dengan air mata gue.
"Aku tidak berbohong...," ucap gue pelan.
Dia nggak menjawab. Mungkin masih nggak percaya sama omongan gue. Gue pasrah aja. Yang penting gue udah jujur.
"Aku ke sana untuk melakukan wawancara tugas kelompokku. Bukan untuk bermain. Maafkan aku jika membuatmu salah paham. Aku harap kau tidak memecatku. Aku benar-benar butuh pekerjaan ini...," lanjut gue setengah memohon.
Bryan terdiam sebentar sebelum menghela napas.
"Baiklah. Aku percaya," kata dia akhirnya.
Gue tersenyum sedikit. Seenggaknya mata pencaharian gue aman. Sumber dana buat melunasi study loan gue masih terselamatkan.
"Tapi aku punya satu permintaan untukmu," sambung dia dengan wajah serius.
"Oh... iya. Katakan...," jawab gue agak gugup.
"Sebelum aku meminta, kau harus berjanji akan mengabulkannya. Paham?" tanya Bryan yang kedengeran agak memaksa.
"I-iya.... Katakan saja," sahut gue tambah gugup.
"Beritahu aku semua ukuranmu."
"Hah???" Gue bengong. "Ukuran? Ukuran apa???"
Bryan memutar bola matanya dengan malas, lalu menyentil kening gue.
"Semuanya. Ukuran sepatu, ukuran baju, dan ukuran pakaian dalammu."
Mata gue melotot. "Untuk apa?!"
"Bertanya lagi, kau kupecat."
"Eh, jangan! Jangan!" pinta gue panik.
Majikan ini hobi banget menggunakan kekuasaannya untuk mengancam gue. Untungnya permintaan dia nggak aneh-aneh. Gue pun segera mengambil kertas dan pulpen untuk mencatat semua ukuran yang dia minta.
"Ini," ucap gue menyerahkan kertas itu.
Bryan mengangguk-angguk puas sebelum bertitah. "Baiklah. Aku pegang ini. Sekarang buatkan nasi goreng untuk dua orang. Buat yang cantik."
Dahi gue berkerut. "Ada tamu?"
"Tidak. Buatkan saja dua porsi. Jangan ada ketimun. Aku mau telur setengah matang, keju, dan sosis yang banyak," perintah dia berhenti sebentar. Dia menatap gue lekat. "Jangan dulu pulang kalau semuanya sudah selesai. Kau hanya boleh pulang kalau sudah aku izinkan. Paham?"
"Iya."
Gue segera meninggalkan kamar untuk melaksanakan titah dari Baginda Raja Bryan yang kelaparan itu. For your information aja nih, nasi goreng memang sudah kondang di antara artis-artis luar negeri, termasuk Korea Selatan. Jadi nggak heran kalau Bryan tahu dan suka banget makan kuliner sejuta umat itu. Untungnya, nasi goreng buatan gue termasuk enak banget. Dan bukan kali ini saja Bryan minta dibuatkan nasi goreng. Ah, perkara nasi goreng doang udah bikin hati gue berbunga-bunga. Memikirkan Bryan makan nasi goreng buatan gue aja rasanya udah berasa kalau dia suami gue....
Makanan pesanan Bryan udah siap. Gue menata meja makan sebelum memanggil majikan ganteng gue itu untuk makan. Tapi sebelum gue panggil, dia terlanjur keluar dari kamar. Mukanya ganasnya yang tadi make up-an sekarang udah polos.
Memandang dia yang bare face begini membuat gue takjub betapa hebatnya the power of make up. Saat kena kosmetik, dia jadi manly seperti tadi sewaktu mengomeli gue. Sekarang muka aslinya keliatan. Asli! Cute dan manis banget!
"Makanannya sudah siap," lapor gue.
Dia mengangguk, lalu menarik kursi dan duduk menghadap ke nasi goreng. Dia menatap gue yang bikin gue bertanya-tanya.
"Duduk," perintah Bryan yang membuat mata bulat gue semakin bulat.
"Duduk??? Aku???" tanya gue memastikan sambil menunjuk diri sendiri.
"Memangnya ada orang lain di sini? Cepat duduk," jawab dia sambil menarik kursi di samping dia dan memberi kode agar gue mengikuti perintah dia.
Gue patuh, duduk diam sambil menatap nasi goreng yang ada di depan gue. Jujur, gue laper....
"Makan," perintah Bryan menyodorkan nasi goreng.
"Untukku?" tanya gue lagi.
"Iya. Mau aku suap juga?" Dia balik bertanya.
Muka gue memerah. Rasanya mau gue iyakan saja, tapi terdengar nggak tahu malu banget. Gue masih punya harga diri sebagai seorang wanita meski gue nge-fans berat sama dia. Jadi gue pun menggeleng dan segera makan tanpa banyak bicara. Suasana antara kami mendadak sepi seperti Kabupaten Karanganyar jam dua belas malam di malam Jumat Kliwon.
"Aku baru tahu kalau kemarin-kemarin kau berulangtahun," kata dia tiba-tiba.
"Eh???" Mata gue membulat.
Gue kaget. Nggak menyangka dia tahu ulang tahun gue walaupun telat seminggu.
"Aku sudah memesankan kado ulang tahun untukmu. Kau suka bikini dan pakaian dalam berwarna hitam?"
"Uhukkk!!!" Gue mendadak tersedak sosis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro