Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Aurora - 27

"Mungkin untuk sementara waktu, kau jangan ke sini dulu."

Gue terkesiap. Maksudnya apa? Gue dipecat? Please, gue belum siap kehilangan mata pencaharian gue di sini. Ah, bukan! Bukan itu masalah utamanya! Gue udah terlanjur terbiasa melihat wajah Bryan. Gue terlalu terbiasa dengan dia. Gue nggak yakin sanggup melewati hari tanpa dia.

Demi apa pun! Gue harap Bryan nggak serius.

"Kenapa?" Suara gue mulai bergetar.

"Aku takut orang akan curiga karena kau terlalu sering ke sini."

"Bilang saja aku tinggal di gedung apartemen ini!" tukas gue pedih.

Gue nggak tau sejak kapan hati ini jadi sangat sensitif. Bahkan pembicaraan barusan telah membuat mata gue berkaca-kaca. Tenggorokan gue tercekat. Gue baru tau kalau mencintai bisa membuat seseorang jadi selemah ini. Kalau kata band Geisha: tetapi kulemah karena cintaku padamu.

Sumpah! Itu true banget!

Gue jadi lemah di depan Bryan.

"Bisa tidak kau mencari jalan keluar yang tidak membuat hatiku sakit?"

Air mata gue mulai merembes. Gue meletakkan gelas di atas meja, lalu menenggelamkan wajah gue di antara paha. Tangisan gue pecah di sana. Gue bersumpah, gue terlihat sangat konyol dan kekanakan. Tapi persetan dengan itu. Hati gue butuh pelampiasan!

Gue merasakan kedua lengan Bryan mendekap tubuh gue. Kehangatan sentuhan dia menjalari punggung gue, seolah menyusup ke pembuluh darah dan merasuk tepat di hati gue. Dada gue bergemuruh dengan segala kesedihan. Isakan gue makin kencang.

"Maaf...," ucap dia pelan.

Gue masih terisak. Bryan mengecup puncak kepala gue. Sementara gue masih berkubang dalam kepedihan hati. Gue berusaha mengumpulkan suara untuk menyuarakan isi hati.

"Kencan bersama Sean saja sudah membuatku menderita...." Gue bersusah payah mengatakan itu di tengah isakan. "Aku.... aku.... tidak mau semakin jauh denganmu. Aku tidak mau...."

Dekapan Bryan yang semakin kuat membuat hati gue semakin sakit. Gue masih terpuruk, menangis tersedu-sedu sambil menyembunyikan wajah.

"Ini demi kebaikanmu, Aurora. Aku tidak mau banyak yang curiga karena kau sering ke sini," ucapnya berusaha memberi pengertian ke gue.

"Hanya sebulan saja. Jika kau rindu, kau bisa melihat wajahku di televisi. Di youtube juga banyak," lanjut dia.

Gue mengangkat wajah, menegakkan tubuh gue, dan menatap dia dengan kejengkelan maksimal. "Lalu apa bedanya aku dengan penggemar yang lain?! Apa bedanya dengan fangirl lain jika aku hanya bisa melihat wajahmu dari layar ponsel?! Apa bedanya aku dengan mereka yang mengaku istri online-mu?!"

Bryan mengusap air mata gue. Dia berusaha tersenyum untuk menghibur gue. Isakan gue mulai mereda saat dia meraih tangan gue dan membimbing ke dadanya.

"Bedanya di sini," ucap dia menempatkan tangan gue di dada bagian kirinya. Sementara tangan kanannya mengelus rambut gue dengan penuh kasih.

Gue terdiam dengan sisa-sisa kesedihan.

"Aurora, hanya sebulan. Setelah itu, kita jalani semuanya seperti semula. Oke?"

Gue menunduk.

Hanya sebulan? Hanya.... Tapi selama 30 hari itu banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Gue takut rasa sayang dia luntur. Apalah gue dibandingkan dengan para gadis cantik yang ada di lingkar pergaulan dia. Dari segi apa pun, gue kalah saing. Gue takut Bryan kepincut sama artis lain.

"Percaya padaku," ucap Bryan tersenyum.

Gue menarik napas dalam-dalam. Hanya permasalahan seperti ini, tapi gue sangat kesulitan mengambil keputusan. Setelah perang batin yang cukup alot, akhirnya gue mengangguk.

Bryan menyodorkan tangannya ke gue.

"Apa?" tanya gue heran.

"Cardlock. Berikan cardlock cadangannya padaku. Aku tidak mau kau tiba-tiba muncul di sini."

"Aku merasa seperti diusir suami dari rumah," sahut gue pelan sambil memberikan cardlock ke dia.

"Pulanglah. Bodyguard akan mengantarmu."

Kalimat barusan bikin hati gue nyesek banget.

Ya Tuhan.... Ini gue merasa seolah ditalak tiga, kemudian ditendang dari rumah suami. Cara dia meminta gue pergi tuh nggak ada manis-manisnya. Oh, oke! Sejak kapan perpisahan itu manis?

"Ini pertemuan terakhir kita?" tanya gue pelan.

Bryan menangkupkan kedua tangannya di pipi gue yang memaksa gue untuk memandang dia. Kedua mata polosnya menatap gue dalam. Mata gue mulai berair lagi saat gue menemukan ada rasa sayang di sana. Perlahan, dia mengecup bibir gue.

"Hanya satu bulan, Aurora," bisik Bryan yang membuat hati gue mencelos.

"Tetap hubungi aku. Jika kau pergi bersama Sean, katakan padaku. Mengerti, kan?" lanjut dia.

Gue mengangguk lemah.

***

Harapan gue saat menjejakkan kaki di kamar adalah bisa beristirahat dengan nyaman. Apalagi setelah kejadian barusan. Rasanya pikiran gue capek. Otak gue berasa mau meledak. Tapi kenyamanan yang gue harapkan itu seolah mulai menjauhi kehidupan gue.

"Ra, ada paket buat lo," kata Lisa menunjuk sebuah kotak di atas meja.

Alis gue nyaris bertabrakan. "Dari siapa?"

"Anonymous. Buka aja," sahut Lisa mengendikkan bahu.

Gue menghela napas. Setelah meletakkan tas dan mengenakan piyama, gue segera menghampiri paket itu. Dahi gue berkerut saat membaca nama pengirimnya. Seperti yang Lisa bilang, nama pengirimnya bener-bener Anonymous.

Kenapa perasaan gue buruk, ya?

Imajinasi gue udah ke mana-mana. Gue khawatir ini adalah paket dari fans Sean yang nggak suka gue nge-date sama idolanya.

"Sa."

"Hummm?" Lisa menyahut dengan mata yang nggak lepas dari buku.

"Lo aja deh yang buka," pinta gue.

Lisa menghentikan acara bacanya dan menatap gue heran. "Kenapa nggak lo buka sendiri aja?"

"Gue takut kalau paketan ini dari fans gilanya Sean...."

"Bisa jadi sih," tukas Lisa yang justru memperburuk prasangka gue.

"Nah, makanya lo aja yang buka. Mental lo kan lebih kuat dari gue."

Lisa bangkit dari kasur dan menghampiri gue. Berlawanan dengan gue yang malah melesat ke kasur karena nggak siap mental untuk menghadapi kenyataan. Paling nggak kalau isinya buruk, gue udah persiapan mental duluan karena melihat reaksi Lisa.

Perlahan tangan Lisa membuka kotak itu. Raut wajah Lisa sama sekali nggak menunjukkan ekspresi terkejut. Dia menatap gue.

"Isinya kue, Ra."

Gue mendesah lega.

"Ada kartu ucapan. Katanya, selamat atas hubunganmu dengan Sean. Terimalah pemberian kami," sambung Lisa membaca tulisan di kartu itu.

Gue mengernyitkan dahi.

"Kami? Artinya banyak orang dong? Mereka dapet alamat kita dari mana?"

Lisa mengangkat bahu. "Mau lo apain kuenya?"

"Kasih ke kucing liar," jawab gue. Prasangka buruk gue masih jalan meskipun ucapan di kartu itu terlihat sangat baik. Gue nggak mau ambil resiko. Who knows kan makanan itu dikasih racun?

"Oh, gue pikir mau lo makan. Bagus deh. Mau dikasih sekarang nih?"

Gue mengangguk.

"Mungkin ini kedengeran jahat. Tapi gue mau tau, makanan itu normal atau udah dikasih racun."

"Dengan cara mengorbankan seekor kucing? Tega lo," decak Lisa.

"Lo mau jadi volunteer buat gantiin kucing?" tawar gue.

Lisa memutar bola matanya dengan malas. "Ya udah, buruan pake masker lo. Kita turun. Nyari kucing."

Gue dan Lisa bener-bener kurang kerjaan hanya buat memastikan dugaan buruk gue. Kebetulan ada kucing liar di deket apartemen. Lisa pun meletakkan sepotong kue di salah satu sudut. Setelah itu, kami agak menjauh dan mulai mengamati.

"Gue kasian kucingnya," ucap Lisa.

Gue diem aja sambil melihat baik-baik tingkah kucing itu. Dia mulai mengendus, lalu menggigit kue yang dikasih Lisa. Beberapa menit berlalu, tapi si kucing terlihat baik-baik aja bahkan setelah kuenya habis.

Gue dan Lisa berpandangan.

"Nggak beracun?" Gue memastikan.

"Kurang banyak mungkin. Kasih semua aja, gimana?" usul Lisa.

"Ya udah. Sono," angguk gue.

Lisa pun meletakkan semua kue di sana. "Baek-baek ya, Cing. Moga lo makin montok dengan sumbangan kue dari Princess Aurora."

"Bacot lo. Ayo balik"

Gue dan Lisa berjalan cepat di kegelapan malam. Ada tugas dari dosen yang harus kami selesaikan. Rasanya otak gue makin berdenyut mengingat paper yang harus gue bikin malam ini.

Bugh!!!

"Awww!"

-Bersambung

🐹🐹


Mungkin kalian bertanya-tanya, "Emang kucing doyan kue?"

Bisa iya, bisa enggak. Tergantung selera kucingnya. Tapi kucing makan kue itu udah biasa. Aku miara kucing sejak zaman megalithikum (lebay), jadi kurang lebihnya aku cukup tau kebiasaan kucing-kucing. Kucingku sendiri doyan kue, rumput laut, dan roti hehehe.

®®®

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro