Aurora - 26
Sean menghela napas. "Sejak kapan kau dan Bryan berhubungan?"
"Sejak di Jeju."
"Harusnya aku sadar itu," tawa Sean terlihat terpaksa. "Pantas saja kau selalu minta izin Bryan untuk apa pun. Kupikir itu sedikit berlebihan untuk porsi pekerjaanmu."
"Tapi tidak berlebihan untuk sepasang manusia yang saling mencintai."
Sean terdiam. Mendadak suasananya jadi sangat canggung bagi gue. Untungnya ada pelayan yang mengantarkan minuman. Jadi kecanggungan itu agak berkurang. Terjebak dalam kebisuan beberapa saat membuat gue menghela napas.
"Kau tampan. Banyak female artist yang masih single. Kenapa tidak memacari salah satunya?" tanya gue hati-hati.
"Aku tidak mau berhubungan dengan sesama artis."
Gue mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
"Jika aku berhubungan dengan sesama artis, itu akan membahayakan karirnya di dunia hiburan. Kau tahu, kan? Setiap ada berita dating di sini, yang paling tersakiti adalah pihak wanita."
Gue mengangguk-angguk. Fakta.
"Sebenarnya aku tidak mau kau ikut konferensi pers," ungkap Sean lalu menghela napas. "Tapi wajahmu terlanjur terekspos dengan skandal itu. Jadi kupikir, membawamu ikut konferensi pers adalah tindakan yang benar. Setidaknya orang akan berpikir bahwa kau menghadapi skandal ini dengan berani dan bertanggung jawab."
Senyum gue perlahan mengembang. "Terima kasih. Aku bukan siapa-siapa tapi kau mau melindungiku."
"Andai bisa, aku ingin jadi siapa-siapanya kau."
Mata gue melebar. "Pardon?"
Pertanyaan gue malah membuat Sean tertawa. Tangannya merapikan rambut gue yang berantakan. Gue diam saja. Gue tahu, gue harus mengikuti permainan dia.
"Aku bercanda," kata dia mendekatkan wajahnya yang membuat jantung gue berpacu cepat. Jarinya mengelus pipi gue dengan lembut. "Ada yang memotret kita."
Gue menggigit bibir dengan perasaan bergejolak. Harusnya ini nggak terjadi! Harusnya gue bisa menghindari skinship semacam ini. Ada dua alasan kenapa gue wajib menghindar. Pertama, sikap Sean sama sekali nggak baik untuk jantung gue. Meskipun gue nggak berniat untuk jatuh cinta ke dia, tapi gue sadar akan pesona Sean. Gue ini hanyalah fangirl biasa yang penuh khilaf. Gue takut goyah dengan sikap dia yang terlalu manis. Bukankah selingkuh itu dimulai dari kenyamanan seperti ini?
Kedua.... Gue selalu memikirkan perasaan Bryan. Setiap mengingat betapa besar rasa cinta gue ke dia dan pengorbanan perasaan dia untuk gue, rasanya hati ini tertusuk. Demi apa pun, gue merasa bersalah kalau terus-terusan seperti ini.
Sean menarik tangannya dari wajah gue dan kembali tegak tepat di saat pelayan mengantarkan makanan pesanan kami. Gue berdeham kecil. Berlagak sibuk dengan sushi demi mengalihkan perhatian. Dengan mengabaikan Sean, gue melahap sushi itu.
"Makan yang banyak. Kalau mau tambah, pesan saja," senyum Sean.
Gue menganggu dengan pipi menggembung. Tapi kegiatan gue diinterupsi oleh suara ponsel. Gue pun segera menelan makanan, lalu merogoh ponsel dari saku.
Gue termenung mendapati nama Bryan yang muncul di layar.
"Iya. Halo...," ucap gue pelan.
"Kau di mana? Aku lapar," kata Bryan to the point.
Gue terpekur. "Emmm.... Aku sedang bersama Sean...."
"Oh...." Bryan mendesah kecewa. "Ya sudah kalau tidak bisa datang."
"Aku bi—"
Tuuuttttt....
Gue menghela napas. Kebiasaan buruk Bryan adalah nggak menunggu gue selesai bicara dulu sebelum dia mengakhiri sambungan. Padahal gue mau bilang, gue bisa datang. Gue nggak mau membuat dia kecewa. Cukup kemarin-kemarin saja gue membuat hatinya berdarah. Bukan hanya hati dia, hati gue pun berdarah.
"Siapa?" selidik Sean.
"Bryan," sahut gue segera menghabiskan makanan.
Gue hanya butuh waktu enam menit untuk memindahkan makanan itu ke lambung, sementara Sean baru mencomot dua sushi. Setelah menghabiskan makanan dan minuman, gue bangkit lalu membungkukkan badan. Sean memandang gue heran.
"Maaf. Tapi aku harus duluan. Bryan memintaku datang," ucap gue pelan.
Sean menghela napas. "Aku antar."
"Tidak usah!" tolak gue. "Aku pakai taksi saja."
"Jangan lupa ada kamera yang menyorot kita," ucap Sean tegas.
Bisu. Gue pun hanya bisa menerima tawaran Sean demi kelancaran drama yang kami jalani. Hhhh.... Sampai kapan gue harus begini?
🍃🍃🍃
Bryan terlihat terkejut saat melihat kedatangan gue dan Sean yang tiba-tiba. Dia nggak berusaha menyapa. Dia hanya melirik gue sekilas, lalu masuk ke kamar. Jujur, hati gue ngilu. Sepertinya ada yang salah di sini. Akhirnya gue menatap Sean.
"Sean, kau belum izin pada Bryan soal makan denganku?" tanya gue pelan.
"Maaf."
Gue tersenyum kecut.
"Tidak apa-apa. Bisa tinggalkan kami?" pinta gue.
Sean menarik napas panjang. Wajah dia terlihat nggak rela. Tapi pada akhirnya, dia mengangguk juga dan beranjak dari hadapan gue. Selepas kepergiannya, gue menyentuh dada untuk meredakan gemuruh yang ada di sana. Langkah gue akan terayun ke kamar, tapi Bryan keburu keluar dan menghampiri gue dengan wajah suram.
"Kenapa tidak bilang kalau kau pergi dengan Sean?"
"Maaf. Aku pikir Sean sudah izin padamu...," ucap gue menyesal.
"Jadi kalau aku tidak menelpon, kau tidak akan bilang sedang pergi dengannya?"
Gue menunduk. Hati gue tertusuk.
"Maaf," ucap gue lirih.
Bryan menghela napas. "Jangan diulangi."
"Iya," angguk gue masih menunduk.
Gue benar-benar merasa bersalah dengan kejadian hari ini. Gue nggak bisa menyalahkan Sean juga. Harusnya gue punya inisiatif untuk menghubungi Bryan duluan mengingat ini adalah hal yang sensitif. Dia sudah rela menyewa bodyguard, tapi gue sungguh nggak tahu diri karena pergi tanpa izin.
"Kau sudah makan?" tanya gue mencairkan suasana.
Bryan mendudukkan dirinya di sofa. "Sudah."
"Oh.... Makan apa? Kau masak sendiri?"
Bryan menggeleng. Pertanyaan gue terjawab dengan adanya dua mangkok kotor yang tergeletak di atas meja. Lagi-lagi gue merasa bersalah. Gue hanya bisa melangkah ke dapur dengan membawa penyesalan gue. Rencana gue saat ini adalah menyogok Bryan dengan segelas susu strawberry. Jadi gue putuskan untuk membuat dua gelas susu.
"Ini," ucap gue menyodorkan gelas.
"Terima kasih," ucap Bryan lalu memnadangi gelasnya. "Aku jadi memikirkan sesuatu...."
"Apa?"
"Untuk sementara waktu, kau jangan ke sini dulu."
Gue terkesiap. Maksudnya apa? Gue dipecat? Please, gue belum siap kehilangan mata pencaharian gue di sini. Ah, bukan! Bukan itu masalah utamanya! Gue sudah terlanjur terbiasa melihat wajah Bryan. Gue terlalu terbiasa dengan dia. Gue nggak yakin sanggup melewati hari tanpa dia. Demi apa pun! Gue harap Bryan nggak serius.
"Kenapa?" Suara gue mulai bergetar.
-Bersambung
🌻🌻🌻
Perbedaan Jihyun dengan Aurora:
• Aurora cengeng, gak berusaha terlihat sok kuat 😂.
• Jihyun tegar, berusaha terlihat kuat padahal hati udah hancur ☺.
®®®
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro