Aurora - 25
Gue dan Lisa terbengong-bengong saat mendapati sebuah mobil dengan seorang pengemudi yang menunggu di depan apartemen. Tadi Bryan memang sempat menelpon gue. Katanya, dia sudah mempersiapkan mobil dan seorang bodyguard yang merangkap pengemudi. Dia khawatir terjadi apa-apa sama gue. Demi Indonesia raya, gue terharu banget. Bryan sudah sakit hati dengan skandal gue, tapi masih sempat menjamin keselamatan gue selama di Seoul. Dia benar-benar bertanggung jawab. Ini membuat gue merasa semakin bersalah....
Langkah gue dan Lisa semakin mendekati mobil itu. Meskipun menggunakan masker, gue tersenyum singkat saat pak pengemudi itu membukakan pintu mobil.
"Selamat pagi, Nona Au. Saya Vincent, bodyguard utusan Tuan Bryan," sapa beliau. "Silakan masuk."
"Terima kasih," senyum gue melangkah masuk ke mobil.
"Hebat banget lo pake sopir pribadi segala. Berasa princess. Princess Aurora," komentar Lisa ikutan masuk.
"Gue nggak enak...," desah gue melepaskan masker.
"Kita ke kampus sekarang, Nona?" tanya Vincent.
Gue mengangguk.
"Ra, tadi gue buka internet," ucap Lisa serius.
"Terus?"
"Biasa. Pada nuduh sang artis bikin skandal sebelum comeback. Biar makin laku katanya. Hhhh.... Itu contoh ketika kecepatan otak kalah sama kecepatan jari. Asal ngebacot aja. Otaknya nggak tau kececer di mana," jawab Lisa sedikit merutuk.
Gue terdiam. Kasihan juga Bryan dan kawan-kawan. Niat mau berkarya malah dituduh yang enggak-enggak. Risiko dunia artis sih. Serba salah. Bersikap baik dibilang pencitraan. Salah sedikit langsung dihujat oleh nitizen yang maha benar.
"Ra, sampai kapan lo mau drama sama Sean?" Lisa kembali membuka suara.
"Mungkin sebulan atau dua bulan aja," jawab gue sambil membenahi rambut.
"Terus? Pura-pura putus? Habis pura-pura putus???"
Gue memutar otak sebentar.
"Menghilang," jawab gue singkat.
"Terus hubungan lo sama Bryan? Tetep backstreet?"
Gue terdiam. Rumit banget sih cuma berhubungan sama Bryan doang....
Lisa menepuk bahu gue. "Gue cuma mau bilang. Setelah putus sama Sean, lo bakal kesulitan konfirmasi hubungan sama Bryan. Pasti nitizens semakin berpikir negatif tentang lo."
"Gue juga nggak mau dikonfirmasi...," jawab gue pelan.
"Lo mau selamanya backstreet?"
Gue menggeleng. "Udah ah. Gue capek dari kemarin bahas skandal itu."
"Gue cuma mau ngingetin aja. Semoga lo segera selesein drama lo. Jangan kelamaan."
"Iya, gue tau."
🍃🍃🍃
Kuliah hari ini cukup padat. Nyaris membuat gue nggak bisa bernapas. Dalam kondisi normal, gue sangat bersemangat ikut kelas. Tapi sekarang, mood gue telah terjun di titik mengkhawatirkan. Gue nggak bisa fokus. Seusai kuliah, gue dan Lisa duduk sebentar di taman kampus. Otak gue capek. Hati gue apalagi. Rasanya gue mau tidur sebulan saja karena kepala ini berdenyut-denyut. Pusing.
Gue melirik jam di layar ponsel. Sudah jam lima sore dan gue masih di taman. Tempat ini adalah kampus yang telah menemani kehidupan gue di Korea Selatan selama setahun ini. Tapi ada yang berubah setelah konferensi pers kemarin. Perubahannya nggak terlalu signifikan, tapi sudah cukup membuat gue merasa kurang nyaman. Siapa sih yang nyaman menjadi sorotan beberapa pasang mata yang menatap intens?
"Nggak apa-apa, Ra." Lisa berusaha menenangkan gue.
"Gue pake masker aja kali ya?" ucap gue gerah.
"Nggak usah. Ini kampus. Gue yakin mahasiswa di sini pada dewasa dan nggak akan mikirin hal yang nggak penting kayak skandal idol."
"Tapi lo tau kan tadi mereka liatin gue?"
"Just curious, Ra. Bukan tatapan mengancam. Santai ajalah."
Gue membisu. Mendadak ponsel di tangan gue bergetar. Kening gue berkerut saat melihat nama Sean. Gue memberi isyarat ke Lisa biar dia diam. Setelah itu, gue buru-buru menjawab panggilan dari Sean.
"Halo. Ada apa?" sapa gue.
"Sudah selesai kuliah?" Sean balik bertanya.
"Iya. Kenapa?"
"Aku sudah di kampusmu. Kita makan di restoran."
Mata gue mendelik. "HAH?!"
"Drama kita harus meyakinkan. Jangan setengah-setengah," kata Sean. "Aku tunggu di depan. Kemarilah," ucap Sean mengakhiri panggilan yang membuat gue kelabakan. Gue nggak mengira kalau Sean akan bertindak sejauh ini.
Astaga.... Gue terjebak di drama sialan ini! Rasanya mau gue tolak. Meskipun gue adalah gadis yang setia, tapi diam-diam gue takut hati ini goyah karena terlalu nyaman dengan Sean. Gue takut keadaan memutarbalikkan perasaan ini....
"Siapa? Kenapa muka lo gitu amat?" selidik Lisa kepo.
"Sean. Dia ngajak gue makan."
"Yah.... Jadi lo ninggalin gue nih?"
Gue menggaruk tengkuk yang nggak gatal.
"Ke depan aja dulu deh. Kita ketemu sama Sean dulu. Sekalian bilang sama Pak Vincent kalau gue mau pergi sama si bungsu," ucap gue.
Gue bangkit dan mengenakan masker serta topi. Lisa ikut berdiri sambill menggeleng-gelengkan kepala. Kami berjalan cukup jauh sampai di depan kampus. Ada dua mobil yang sangat gue kenal dan keduanya bersebelahan. Itu mobil Sean dan mobil dari Bryan. Gue menarik napas panjang dan memilih menghampiri mobil Sean terlebih dahulu. Melihat kedatangan gue, Sean menurunkan kaca mobil hingga ketampanannya terekspos.
"Au-ya," ucap Sean tersenyum.
"Hai," sapa gue agak kaku.
"Allahu akbar! Ganteng banget anjir!" Spontan Lisa berseru dengan sangat norak dan malu-maluin.
"Anjir??? Aku anjir??? Terima kasih. Kau juga anjir," balas Sean dengan wajah lugu yang sontak membuat gue ingin menerjunkan diri dari Namsan Tower.
Lisa tertawa aneh mendengar ucapan Sean. Kemudian dia mendekati wajah gue, masih dengan senyum aneh dan berbisik, "Lo apain anak orang? Ngajarinnya nggak bener banget."
Gue hanya tersenyum aneh tanpa dosa.
"Jadi pergi kan?" tanya Sean.
Gue mengangguk. "Tunggu dulu."
Tangan Lisa segera gue raih untuk mengajak dia mendekati mobil dari Bryan. Vincent masih berdiri dengan setia di sana. Gue jadi berpikir, berapa banyak uang yang Bryan keluarkan hanya buat ini? Melihat cara kerja dan kesetiaan Vincent menunggu gue, pasti dia dibayar cukup mahal oleh Bryan.
"Vincent, aku mau pergi bersama Sean. Bisa kau antar Lisa pulang?"
"Nona pergi dengan Tuan Sean?" Vincent memastikan.
Gue mengangguk. "Tidak usah khawatir."
"Baiklah. Kalau begitu, selamat bersenang-senang, Nona Aurora," ucap Vincent membungkukkan badan. Beliau langsung membukakan pintu untuk Lisa dan mempersilakan sahabat gue itu masuk.
Lisa melambaikan tangannya ke gue. "Gue duluan. Hati-hati."
Gue mengangguk dan segera menuju mobil Sean. Tanpa banyak bicara lagi, Sean melajukan mobilnya dengan gaya yang keren. Jujur saja, gue capek terus memuji ketampanan dia. Gue malah khawatir sendiri karena belakangan ini gue malah lebih sering memuji dia daripada Bryan.
Mungkin orang lain akan bertanya, "Is it normal?"
Gue pribadi berpikir ini masih normal. Gue hanya mengagumi keindahan ciptaan Tuhan. Mengagumi nggak harus memiliki, kan? Kagum itu memang bisa jadi awal dari perasaan cinta. Tapi nggak semua ujung kekaguman akan berakhir menjadi cinta. Dan gue rasa, gue termasuk golongan yang cukup mengagumi aja. Hati gue udah penuh sama Bryan. Intinya itu.
Setelah hampir dua puluh menit di jalan, akhirnya gue dan Sean menjejakkan kaki di salah satu restoran Japanese food. Kami disambut pelayan yang langsung membimbing ke pojok yang cukup sepi.
"Au, lepas maskermu," pinta Sean setelah memesan makanan.
"Tapi nanti ketahuan," elak gue.
"Itu tujuannya. Kan sudah kubilang, jangan setengah-setengah. Biarkan saja agar semakin meyakinkan. Lagipula kita mau makan."
Gue manggut-manggut dan mengikuti perintah Sean. Hampir semenit gue lalui dengan kebisuan. Sean hanya memandangi gue dengan alis berkerut.
"Kenapa?" Akhirnya gue memberanikan diri bicara.
Sean menghela napas. "Sejak kapan kau dan Bryan berhubungan?"
—Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro