Aurora - 22
"Tidak ada solusi lain?" tanya gue pelan.
"Kau punya?"
"Aku benci mengatakan ini. Tapi...." Gue menatap Bryan lekat. "Seperti yang kau bilang sebelumnya, konfirmasi hubungan kita."
"Aku tidak bisa."
Rasanya dada gue dihantam asteroid raksasa. Sakit.
"Kenapa? Bukannya kau yang mengusulkan itu?" Suara gue semakin lirih. "Kau malu? Kau malu punya kekasih sepertiku? Kau malu karena status sosial kita berbeda?"
"Demi Tuhan, Aurora! Aku sama sekali tidak berpikir seperti itu!! Aku memilihmu karena hatiku jatuh padamu!!!"
"Lalu kenapa?" kejar gue menuntut penjelasan.
"Jika aku melakukan konfirmasi tentang hubungan kita, risikonya bisa dua kali lipat lebih berbahaya," jelas Bryan.
"Kenapa bisa begitu?"
"Jelas bisa! Kau akan diserang penggemarku dan penggemar Sean."
Sampai di titik ini, gue masih belum paham dengan maksud Bryan. Otak gue mendadak buntu atau memang dunia Bryan yang glamour itu terlalu rumit dan memusingkan bagi gue yang hanya kalangan biasa?
"Sini," ucap Bryan mengajak gue duduk di tepi pembaringan. Sepertinya dia bisa membaca kebingungan gue. Tangan gue digenggam erat olehnya. "Fans-ku jelas akan terkejut jika aku kembali dikabarkan dating. Fans gila yang tidak terima itu pasti ada. Itu baru dari fans-ku. Kalau hanya itu, aku masih bisa menanganinya. Masalahnya di sini adalah fans Sean. Mereka pasti akan marah padamu karena mengira kau selingkuh dengan idol mereka. Kalau pun dijelaskan bahwa itu hanya angle kamera, mereka tetap akan marah dan tidak percaya begitu saja."
"Dan mereka pasti mempertanyakan kenapa aku malah main berdua dengan Sean di Everland hingga malam...," sambung gue mulai paham.
"Nah, kau mengerti kan? Kau paham kan bagaimana kerasnya komentar nitizen?"
Gue mengangguk pelan. Bryan benar. Mengakui hubungan kami justru lebih berisiko mengingat kemarin gue justru jalan-jalan dengan Sean di Everland. Mereka pasti akan semakin berpikir kalau gue bukan gadis baik-baik.
"Aurora, apa pun keputusan hari ini. Yakinkan hatimu bahwa aku akan tetap di sini untukmu," ucap Bryan lembut. Ia bangkit dan menggenggam tangan gue. "Kita temui Sean."
Akhirnya kami pun keluar kamar setelah pembicaraan alot. Gue sama sekali belum siap dengan ini dan berharap semoga kamera si penguntit itu rusak dengan ajaib agar nasib gue terselamatkan.
Gue mengambil gelas dan sekotak susu dari lemari pendingin. Setelah menuangkan susu untuk Bryan dan untuk gue sendiri, gue pun duduk di hadapan Sean. Cowok berdarah campuran Eropa itu menatap gue.
"Lehermu kenapa?" selidik Sean auto focus di leher gue.
"Digigit nyamuk," jawab gue dengan wajah merah.
"Nyamuk?"
"Nyamuk jenis mamalia, ordo primata," sahut gue malah semakin mempermalukan diri sendiri. Tanggung. Sudah kepalang malu duluan. Bryan yang sedang minum segera meletakkan gelasnya. Dia memandang gue dengan kesal.
"Nyamuk jenis mamalia ordo primata? Mahluk seperti apa itu?"
"Sepertimu!" balas gue mempersembahkan death glare.
"Jadi aku ini nyamuk atau primata? Sepertinya IQ-mu turun drastis karena alkohol. Besok-besok jangan dekati alkohol lagi!"
"Kau yang menyiapkan alkohol!"
"Harusnya kau bilang kalau kau tidak minum alkohol!"
Gue baru akan menyahut saat ponsel gue mendadak berdering dengan nyaring. Gue tau! Itu pasti Lisa. Gue pun meninggalkan ruang makan dan segera melesat ke ruang tamu. Tas gue ada di sana semalaman.
"Halo, Sa. Ada apaan nelpon gue pagi-pagi?"
"Pagi-pagi?! Ini udah jam sepuluh, Mbakyu!"
"Hah?! Masa sih?!" Gue terkejut dan segera menatap jam dinding.
Sialan! Lisa bener. Bego banget gue masih menganggap ini jam delapan pagi.
"Lo ke mana aja semaleman?! Kenapa nggak pulang?!"
"Gue di apartemen Bryan...."
"Kenapa nggak ngabarin?!" tanya Lisa jengkel.
"Maaf. Gue ketiduran.... Kenapa lo nelpon gue?"
Lisa menghela napas. "Jelasin ke gue soal foto di internet hari ini. Lo beneran ada skandal sama Sean?"
Seketika gue merinding. Mati gue! Mati! Fotonya sudah menyebar! Gue harus gimana?!
"Ra. Jawab gue."
"Nggak! Itu nggak bener!" sergah gue masih merinding.
"Terus foto ciuman yang gue liat di internet itu foto siapa? Kembaran lo?"
"Nanti gue jelasin. Yang jelas kenyataannya nggak seperti yang lo liat di foto itu," sahut gue pelan.
"Jelasin garis besarnya sekarang."
"Sean cuma berusaha ngambil minuman di deket gue. Posisinya tuh ya, gue baru sadar kalau ada kamera yang memotret dari luar. Gue mau kasih tau Sean. Makanya gue tepok pundaknya. Lah, dia noleh pas kameranya ngebidik. Gitu ceritanya, Sa...."
Lisa terdiam di seberang sana. Perasaan gue mengatakan, Lisa sedang pusing memikirkan skandal itu. Tapi gue tahu, Lisa akan selalu mendukung kalau gue benar dan dia selalu mengingatkan kalau gue salah. Itulah yang bikin persahabatan kami awet.
"Ya udah. Lo kapan pulang? Untung hari ini libur."
"Gue nggak tau. Gue, Bryan, sama Sean lagi puyeng mikirin solusi buat skandal itu. Gue matiin dulu telponnya. Ntar gue ceritain. Oke?"
"Oke."
Panggilan itu gue akhiri. Langkah gue kembali terayun menuju ruang makan. Tempat di mana Sean sibuk mengoleskan selai coklat di roti gandumnya dan Bryan yang sibuk mengunyah serealnya. Gue menghela napas. Meratapi nasib gue yang terjebak masalah cukup serius dengan mereka.
Gue kembali mendudukkan diri ke kursi di hadapan Sean. Dia menatap layar ponsel yang tiba-tiba menyala. Gue ikut melirik. Nama Nikolai—manager Sean, Loey, dan Bryan—terbaca oleh gue. Sean segera meletakkan rotinya.
"Halo."
"...."
"Aku di apartemen Bryan. Ada apa?"
"...."
Wajah Sean mendadak serius.
"Oh, fotonya sudah menyebar, ya?" ucap dia pelan.
"...."
"Nanti aku jelaskan setelah perform di acara musik."
"...."
"Iya." Sean mengakhiri panggilan.
"Manajer bilang apa?" tanya Bryan segera.
"Dia menanyakan soal foto itu. Fotonya sudah menyebar di internet."
Wajah Bryan seketika mendung. Gue menggigit bibir. Demi apa pun, gue nggak tega melihat wajah Bryan yang seperti ini. Dia yang menjaga gue, malah dia yang tersakiti. Gue juga tersakiti! Tapi gue pikir, Bryan pasti lebih sakit daripada gue.
"Kita harus ke agensi sekarang sebelum semua jadi parah. Kau juga ikut, Aurora," ucap Bryan bangkit dan meninggalkan gue serta Sean.
Gue terdiam di kursi. Tangan gue mencengkeram ujung baju. Ini beneran gue juga harus ikut? Gue belum mandi. Gue nggak mau menampakkan diri dengan wajah kumal. Udah bikin skandal sama idol, muka gue jelek lagi. Bisa tambah di-bully gue!
"Aku akan memesan taksi untukmu. Kembali dulu ke apartemenmu. Bersiaplah di sana. Kami akan menjemputmu nanti," ucap Sean seolah bisa membaca pikiran gue.
Gue mengangguk dengan hati yang sama sekali jauh dari kata tenang. Gue sadar kalau setelah ini, hidup gue nggak akan pernah sama lagi....
—Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro