Aurora - 11
Sejujurnya gue sedang dalam misi pengiritan uang. Tapi buruknya, sekarang gue sudah berdiri di depan restoran Loey. Gue ragu apakah akan menginjakkan kaki ke dalam restoran itu atau enggak. Sayang kalo uang gue dipakai untuk makan di sini. Gue harap Loey tahu diri untuk menraktir gue karena dia yang mengajak gue ketemuan.
"Au-ya, ayo masuk," ucap Loey tiba-tiba mencul dari belakang yang membuat gue terkejut.
"Astaga! Kau mengagetkanku! Kapan kau datang?!" tanya gue sambil mengelus dada. Elus dada sendiri sih. Maunya elus dada Loey, tapi itu dada jodoh orang. Gue cuma ampas tebu.
"Baru saja. Ayo," sahut Loey menarik tangan gue.
Demi apa ini, Tuhan?! Tangan gue dipegang erat oleh seorang Loey Parker! Cara dia memegang tangan gue itu sweet banget. Seolah-olah gue ini adalah calon istri idaman yang telah dinantikan setelah ribuan tahun masa perjombloan Loey.
"Aku tidak punya uang untuk membeli makanan di resto ini!" Gue berusaha menjelaskan sambil berjalan dengan terpaksa.
"Aku yang mengajak, berarti aku yang traktir."
Gue bersyukur. Akhirnya dana di kantong gue terselamatkan. Loey memberikan isyarat agar gue duduk. Gue mengangguk, lalu duduk di pojokan—berhadapan dengan Loey.
"Mau makan apa?" senyum Loey menyodorkan daftar menu.
"Terserah," jawab gue singkat. Loey mengangguk-ngangguk, lalu memesan makanan untuk dia dan gue. Setelah itu, dia menatap gue dengan mata bulatnya.
"Mau bicara apa?" tanya gue to the point.
"Betah tidak kerja di apartemen Bryan?" Loey akhirnya blak-blakan.
Gue menggeleng. "Kalau betah, aku pasti tidak resign. Aku sudah meletakkan surat resign di apartemen Bryan."
"Kau sudah menyerahkan suratnya?!" Suara Loey meninggi dan menatap gue dengan tatapan nggak percaya. Sebelum gue sempat menjawab, dia menyodorkan topi dan masker. "Pakai ini. Ada fans yang melihat kita. Aku hanya khawatir kau kena bully."
Seketika hati gue tertohok. Gue menunduk sembari mengenakan masker. Ini sih tandanya kalau gue benar-benar harus menjauh dari kehidupan Bryan. Gue masih ingin hidup normal tanpa dibayang-bayangi oleh sorot kamera, media, dan haters.
Loey mengecek ponselnya. "Bryan sudah di depan."
"HAH?!" Gue melotot.
🍃🍃🍃
Duduk berhadapan dengan dua cowok ganteng membuat jantung gue terasa nggak sehat. Yang bikin gue nggak enak hati adalah ... Bryan memandang gue dengan surat resign di tangan kanannya. Kali ini gue akan menyingkirkan semua rasa kikuk di depan dia. Gue ini cewek yang punya harga diri!
"Kau tidak boleh resign," kata Bryan angkat bicara.
Gue menarik napas dalam-dalam.
"Aku berhak menentukan mau resign atau tidak," ucap gue mulai tegas. Gue menolak dipermainkan.
"Kalau aku tidak memperbolehkan?"
"Aku tetap keluar. Aku akan mencari pekerjaan lain. Menjadi tukang cuci piring di restoran juga tidak masalah!"
"Tidak akan ada yang menerimamu. Aku akan meminta mereka menolakmu," kata Bryan membuat gue melotot.
Nih orang maunya apa sih?!
"Oh! Mentang-mentang kau bintang besar dan punya uang, lalu kau tega melakukan ini padaku?" dengus gue mulai marah dengan masker menempel di wajah.
"Aku minta maaf untuk yang tadi," kata Bryan lembut. Dia berdiri, lalu membungkuk di depan gue. "Aku minta maaf sudah membuatmu kurang nyaman. Aku minta maaf untuk kalau selama ini sikapku kurang menyenangkan. Aku minta maaf sudah membuatmu merasa buruk. Untuk semua kesalahanku, aku benar-benar minta maaf."
Aduh!!! Kok jadi kayak gini?!
Gue memang marah—tadinya. Tapi melihat mantan majikan gue yang minta maaf sampai segitunya, gue jadi malu. Orang-orang jadi menatap gue, Loey, dan Bryan.
"Bryan. Sudah, sudah. Orang-rang melihat kita," ucap Loey sadar situasi.
Bryan kembali duduk. Dia menatap gue.
"Kalau kau resign, siapa yang akan membuat nasi goreng untukku? Siapa yang akan membuatkan mie goreng untukku? Siapa yang akan menyambutku di apartemen sepulang kerja?" ucap Bryan yang membuat hati gue perih.
Kenapa lo nggak nikah aja sih? Yang lo butuhin tuh istri, bukan pembantu! Kalimat lo tuh udah kayak suami yang digugat cerai istri, terus berharap rujuk pas mediasi. Gue merepet dalam hati.
"Au-ya, pikirkan lagi. Bryan itu sulit dekat dengan wanita. Dia sudah terlalu nyaman dengan pelayananmu," rayu Loey.
Pelayanan??? Pelayanan apa ya??? Kok rada ambigu gitu??? Gue mengomel lagi dalam hati.
"Banyak yang bisa membuat nasi goreng. Kalau kau ingin indomie goreng, kau bisa memasaknya sendiri. Aku sudah menyimpan mie instant satu kotak untukmu. Kalau kau ingin ada seseorang yang menyambutmu, pelihara saja kucing atau anjing," ucap gue tersenyum kecut.
Bryan mengusap wajahnya dengan agak frustasi. Dia mendekatkan wajahnya ke gue. "Kalau kau menyukaiku, kenapa kau malah menjauh?!"
"Pardon???" ucap gue memastikan.
Bryan mengacungkan surat resign itu di depan muka gue dan....
SREEETTTHHH!!!
Gue menahan napas saat surat itu dirobek.
"Permintaan resign ditolak. Kau tetap bersamaku. Kau bilang butuh uang untuk cicilan study loan, kan? Akan aku lunasi sekarang juga."
Gue melotot. "Kau sudah gila???"
Loey menatap gue. "Au-ya, Bryan tidak pernah memohon seperti ini kecuali padamu dan Kimmy—"
"Haruskah kau membawa-bawa namanya di saat seperti ini?" sela Bryan sensitif.
Gue juga sensitif dengan nama itu. Tapi gue sadar diri kalau gue hanyalah daki amuba kalau harus disandingkan dengan beliau. Jadi gue pasrah.
"Oke! Aku diam. Lanjutkan," kata Loey mengalah.
"Kembali bekerja mulai besok. Bisa, kan?" pinta Bryan memasang wajah imut.
Haduh.... Hati gue lemah kalau lo sok imut gini....
Gue menghela napas lalu mengangguk. "Tapi penuhi dulu janjimu yang tadi."
Mata Bryan langsung berbinar.
"Aku akan kembali jika kau sudah mengirimkan uang untuk membayar study loan-ku," lanjut gue lagi.
Sekali-kali nggak apa-apa dong gue memanfaatkan situasi? Biasanya Bryan yang memanfaatkan situasi, kali ini anggaplah gue sedikit balas dendam. Lagipula uang segitu kan pasti kecil buat dia. Kaos oblong dia saja harganya jutaan rupiah. Belum tasnya. Jadi gue nggak terlalu merasa berdosa karena berniat mengeruk dompet dia buat melunasi utang gue di bank.
"Baik. Akan aku bayar besok," angguk Bryan setuju dengan permintaan gue.
"Aku hanya akan datang kalau kau telah menunjukkan bukti pelunasan," lanjut gue kejam. Haduh, kok gue jadi kayak cewek jahat gini???
Loey cuma memutar bola matanya malas-malasan melihat transaksi konyol antara gue dan Bryan. Pasti dia menganggap gue matre. Bodo amat. Kapan lagi gue bisa dapet kesempatan seperti ini?
Bryan mengacungkan jempolnya. "Oke! Berapa total yang harus aku bayar?"
"Tujuh puluh juta rupiah," jawab gue santai.
"Kalau dikonversi ke mata uang won, kira-kira jadi berapa???" tanya Loey penasaran.
"Enam juta won."
Bryan tersenyum miring. "Hanya enam juta won? Piece of cake.... Aku transfer tujuh juta won dan kau tetap bekerja untukku. Deal?"
Terus terang gue sangat terkejut dengan niat gila Bryan. Tapi gue berusaha meredam itu dan menjaga wibawa sebagai orang yang sedang menjaga harga diri. Jadi gue hanya mengangguk santai dan berakting cool.
"Oh ya, kami akan pergi ke Pulau Jeju," sambung Bryan lagi
"Aku akan menjaga apartemen dengan baik."
"Kau juga ikut," kata dia tiba-tiba yang membuat gue terkejut.
Mata gue melebar. "Aku ikut ke Jeju?!"
"Iya!" sahut Bryan tegas. "Minggu depan kita berangkat."
Gue sama sekali nggak mau menolak ajakan ke Jeju. Kapan lagi gue bisa ke Jeju G.R.A.T.I.S? Masalahnya adalah waktu ke Jeju yang terbentur dengan jadwal kuliah gue yang full.
Gue menggaruk kepala. "Uhm.... Minggu depan, ya? Jadwal kuliahku padat."
"Aku sudah membelikan tiket pesawat dan memesan kamar untukmu," ungkap Bryan yang semakin mengejutkan gue.
"Bryan, itu sulit. Kita kan mau syuting, bukan liburan," kata Loey mengingatkan.
"Tidak apa. Kan kita yang syuting, bukan Aurora. Biarkan dia liburan," sahut Bryan yang membuat hati gue mencelos.
Loey menghela napas.
"Hei, Aurora ke sini untuk kuliah, bukan untuk bermain-main. Kau ingin menyesatkan anak orang???"
Pernyataan Loey sangat gue benarkan dalam hati. Kalau diibaratkan, saat ini gue berhadapan dengan hitam putih yang melambangkan iblis dan malaikat. Loey ada di sisi kanan gue sebagai malaikat. Bryan di sisi kiri gue sebagai setan yang tengah berupaya menghasut gue untuk bolos kuliah.
Bryan mencomot kentang dari piring gue.
"Kuliah terus. Tidak bosan? Otakmu tidak lelah? Kau harus liburan...."
"Emmm.... Lumayan...." Gue mengakui itu.
"Nah!" Bryan menjentikkan jarinya, "apa kubilang! Ikutlah ke Jeju. Liburan itu baik untuk otakmu yang sedang jenuh."
Gue membungkukkan badan untuk menghargai Bryan. "Sebelumnya terima kasih. Tapi aku benar-benar tidak bisa meninggalkan kuliahku."
"Tapi Au, aku sudah booking hotel dan tiket¾"
"Maaf. Aku benar-benar tidak bisa," sela gue mulai tegas.
Bryan terlihat sangat kecewa dengan keputusan gue.
Maaf ya, Bryan.... Songong banget gue nolak liburan gratis dari lo.
—Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro