6
"Aku bisa menjaga diri, Mah." Ia berjanji, tidak akan mengecewakan Ibunya lagi. Berjanji tidak akan membuatnya khawatir. Walaupun sebenarnya ia tidak yakin PKM di tingkat perguruan tinggi akan seperti apa. Yang penting sekarang tugasnya adalah meyakinkan sang ibu.
Mamah memutar kepala, menatap sang suami yang tengah sibuk memerhatikan si rambut mangkok yang lemot di layar kaca. "Gimana, Pak?"
"Kumadinya." (Terserahlah)
Ia mendengkus, dan menatap anaknya lagi. "Iya terserah kamu aja. Mamah percaya kamu bisa jaga diri." Mamah mengelus puncak kepala Selenia sayang. Tindakan ini membuatnya mengingat seseorang.
...
Selenia sampai di kampus jam 10 lewat 2 menit. Jantungnya berdebar-debar sebelum memasuki aula. Berharap acaranya diundur duajam lagi. Ia tidak siap menerima konsekuensinya. Apapun itu.
Indra pendengarannya masih berfungsi, walaupun Ethan sering mengatainya budeg. Ia tidak mendengar suara apapun dari arah aula. Hening mendominasi. Bolehkah ia berharap semua peserta bernasib sama dengannya? Alias telat.
Ia mengintip dari celah pintu, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada kursi-kursi nganggur. Selenia mengernyit, mengingat isi chat dari Aryan mengenai tata tertib PKM hari ini. Di dalam isi percakapan tertera jelas bahwa tempatnya di aula. Mana mungkin para panitia mendadak pindah lokasi tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Selenia bergerak gelisah. Apa yang harus ia lakukan?
Tiba-tiba gadis itu tersentak, saat sebuah tangan hinggap di bahunya. "Hei, kenapa bengong aja? Cepetan masuk!" Ia memutar tubuhnya, menghadap sang pelaku. Ternyata Ethan dengan cengiran lebarnya.
Selenia mendengkus dan memasuki ruangan bersama pria bersenyum gusi itu. Di dalam, belum ada siapa-siapa, tetapi ia yakin tidak salah ruangan. Dikarenakan ada banner mejeng di belakang mimbar. Sepertinya akan ada sambutan dan lain-lain. Karena jika hanya acara inti saja, mungkin hanya membutuhkan kursi dan meja di depan sana. Ya, mungkin. Entahlah ia tidak tahu akan seperti apa pelaksanaan PKM ini.
Setengah jam kemudian, peserta mulai berdatangan. Namanya juga orang Indonesia, ngaret seperti sebuah kewajiban. Hmm. Tidak patut ditiru.
Acara pembukaan adalah kegiatan yang membosankan. Apalagi mendengar sambutan yang dibuat terlalu bertele-tele. Suka bikin ngantuk. Tetapi kali ini Selenia tidak merasakannya, karena yang memberi sambutan adalah Widi, sang Ketua Pelaksana.
Selenia tertegun. Memandangi bola mata Widi yang teduh namun tajam. Matanya tidak diam, berputar ke seluruh audien. Ia terpesona lagi dan lagi. Apalagi suaranya, dalam, tegas dan bulat. Menakjubkan. Sampai-sampai Selenia menegakkan badannya, karena ikut terbakar semangatnya. Wahai Widi yang selalu menggebu-gebu, sumbangkan sedikit energimu padaku. Batinnya.
Ketua pelaksana turun dari podium. Jas almamaternya yang pas di badan melambai-lambai saat ia melangkah. Salahkan sendiri kenapa jasnya tidak dikancing rapi? Ah, warna kemejanya yang selalu hitam, membuat Selenia berkesimpulan. Bahwa Widi menyukai warna hitam. Dan Selenia akan menyuakain apa yang Widi sukai.
Waktunya istirahat, semua peserta berhambur keluar. Karena tidak suka diburu waktu, Selenia lebih memilih salat dzuhur terlebih dahulu. Lantas makan siang di kantin.
Ia sendiri, tak ada yang menemani, sebelum Ethan menghampiri. Membawa baki berisi ayam geprek dan es teh manis. Menemani batagor miliknya yang bersanding dengan air mineral. Selenia kurang suka beli es, gampang kenyang efeknya.
"Asli, lo keliatan banget jomlonya." Selenia mendengkus dan menyendok batagornya perlahan. Makan dengan hidmat, hiraukan makhluk jejadian di sampingnya.
"Balap makan, yuk. Yang habis terakhir harus nyium pipi yang menang." Mata Selenia membulat.
"Ogah."
Hidung Selenia masih berfungsi normal, dan ia mencium bau yang ia sukai. Wangi semerbak bunga dari pengharum pakaian harga gopean di warung. Entah merek apa. Tapi Selenia hapal betul ini milik ... Widi. Selenia tersentak, dan memandang pria yang memakai jas almamater pas badan tersebut berada di depannya. Tersenyum dengan dekik di bawah bibirnya. Selenia terhipnotis.
Dan ia kembali sadar ketika Ethan berdehem ganteng. "Ada apa Pak Ketuplak?"
Masih tersenyum, ia mendudukan dirinya di depan Selenia. "Enggak ada apa-apa. Aku Cuma mau mastiin yang aku liat ini bukan mimpi." Widi menyangga dagunya dengan tangan kanannya, menatap Selenia yang sedang duduk tegang.
"Diantara yang berpakaian putih-hitam. Kukira yang berkucir tinggi itu bukan kamu." Widi menghela napas perlahan, "Ternyata kamu ngikutin saranku."
Ada rasa bangga di seulas senyumnya.
"Yaudah, Good luck, ya!" Ia bangkit berdiri, dan mengusap ubun kepala gadis itu. Memebuat darahnya naik ke atas, dan berkumpul di pipinya. Rasanya panas. Malu. Apakah pipinya sudah semerah tomat? Oh, tidak, ini memalukan.
Widi pergi berlalu, menyisakan Ethan yang misuh-misuh di tempatnya. "Dikira gua batu apa. Di kacangin, anjir." Selenia mengulum bibirnya menahan tawa. Ya, Widi barusan seperti menganggap Ethan tidak ada, kasihan.
...
Satu persatu materi telah tersampaikan. Dari Antropologi kampus, kepemimpinan, adminsitrasi, dan lain sebagainya. Kini saatnya malam puncak, yaitu simulasi sidang. Selenia bingung, apa tujuan materi tersebut? Ia bukan jurusan hukum. Apa gunanya? Wahai, Selenia engkau akan mengerti suatu saat nanti!
Peserta hanya terdiri dari 20 orang. Hanya 2 orang perkelompok. Dan Selenia kebetulan satu kelompok dengan Ethan. Setiap kelompok diberi 1 bundel draft sidang, dan 1 lembar tata tertib sidang. Mereka membaca dan mencermatinya.
Kini giliran Ethan dan Selenia yang maju ke meja sidang. Selenia tak menyadari, saat ia duduk di depan, ternyata ia duduk di tempat pimpinan sidang. Itu artinya ia yang harus memimpin sidang. Dan Ethan di sebelahnya menjadi notulen.
Mereka akan melanjutkan sidang yang terhenti oleh kelompok 4, karena pimpinan memilih mundur dan pergi dari ruangan. Tangan Selenia bergetar, ketika handak menggapai palu untuk memulai kembali persidangan. Ethan sadar hal itu, dengan sigap ia meraih tangan Selenia yang lain. Meremasnya pelan, mencoba menenangkan.
Palu dipukul dua kali setelah Selenia mengucapkan salam pembuka. Dan persidanganpun berlanjut. Dengan suara bergetar, dan napas tersendat-sendat, Selenia terus berbicara. Karena ada Ethan yang menguatkan.
Caci, maki, sindiran, kritikan, sanggahan, bahkan lemparan botol ia terima. Entah siapa pelakunya, ruangan remang-remang, tak bisa mellihat dengan jelas. Matanya terasa panas. Namun Ethan disampingnya, semakin mengeratkan pegangan. Menyalurkan energi dan keyakinan.
"Pimpinan sidang kok malah pacaran."
"Halah, nggak becus, turun aja turun. Ganti tuh sama cogan yang disebelahnya."
"Ngomong aja nggak bener, mau jadi pimpinan sidang."
Terus seperti itu, hingga akhirnya ia undur diri. Dan mengakhiri sidang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro