Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5 - Aa dan Teteh

Udah lama.

Ya, udah lama Fila nggak berantem sama orang, dia emang sering berantem dari dulu. Mulai dari dia masih jadi bocah perempuan unyu yang ingusan dengan pipi bakpao yang sering berantem berebut mainan sama anak teman arisan emaknya atau dia yang berantem jaman SD karena nggak terima nama bokapnya dijadiin bahan candaan.

Pokoknya dari jaman bocah, SD, SMP udah nggak keitung berapa seringnya dia berantem sama orang.

Gue, Bisma. Selalu jadi pahlawan bertopengnya Fila. Selalu jadi tameng dia dan pembelanya di barisan terdepan. Gue selalu berada di sisinya sejak Tante Ninda alias mamanya Fila ngelahirin dia. Gue yang baru berumur lima tahun saat itu menyaksikan betapa luar biasanya suasana saat Fila akan dilahirkan ke dunia.

Nyokap gue sama tante Ninda itu udah jadi partner in crime dari jaman SMA. Ketika nyokap gue sibuk, gue selalu dititipin ke tante Ninda. Saat itu tante Ninda udah hamil Fila di bulan ke sembilan tapi dia tetap maksa buat gue dititipin ke dia aja. Saat itu gue lupa-lupa inget sih sebenarnya, yang gue inget cuma gimana gue digendong sama om Arkan, suami tante Ninda lari-larian di rumah sakit mengiringi isterinya yang terbaring digiring berlari menuju ruang bersalin sama petugas rumah sakit.

Dan ketika anak pertama keluarga itu lahir, gue ikut merasakan kebahagiaan dan kehangatan yang membuncah saat itu.

Gue sama Fila tumbuh kembang bersama karena kita sama-sama anak tunggal. Kita selalu masuk satu sekolah yang sama dan gue selalu ingat saat dia nangis kejer karena gue harus lulus duluan.

Mungkin kita udah dekat layaknya adik dan kakak kandung. Gue tau dia luar dalam dan sebaliknya pun dia juga tau segala hal tentang gue. Dia tau siapa cewek yang pertama kali gue taksir dan bahkan gue masih inget betapa paniknya dia saat pertama kali datang bulan.

Pokoknya Fila termasuk orang penting dalam hidup gue.

Makin ke sini orang tua Fila makin sibuk. Sedangkan orang tua gue emang udah sibuk dari dulu. Kita bergantung satu sama lain. Dan khususnya, orang tua Fila menitipkan anak cewek mereka itu ke gue. Gue sama sekali nggak menganggap Fila sebagai beban, melainkan sebuah tanggung jawab.

Terakhir kali dia berantem pas kelas 1 SMP dan saat itu gue kelas 3 SMA. Entah gue harus bersyukur atau apa, sekolahan kita itu emang sebelahan.

Fila berantem sama teman sekelasnya, cewek. Mereka jambak-jambakan dan orang tua diwajibkan untuk datang ke sekolah. Karena orang tua Fila sibuk semingguan diluar kota bersama orang tua gue, maka dari itu gue lah yang diberi mandat untuk berhadir menggantikan orang tua Fila.

Gue berhadapan dengan orang tua musuhnya Fila. Emak-emak coy, lu pikir aja anak cowok kelas 3 SMA versus emak-emak. Ye di mana-mana emak-emak selalu benar. Mulutnya membrebet kayak knalpot bocor ngomelin Fila dan gue juga kena semprot.

Anak tuh emak mewek dan ngadu-ngadu ke emaknya dan si Fila-- pengin gue pites ribuan kali karena menunjukkan ekspresi yang sangat tidak bersahabat. Mukanya dingin banget kayak putri es. Saat disuruh minta maaf dia juga nggak mau. Kata dia, bukan dia yang salah. Well, gue percaya sama Fila karena selama ini dia nggak pernah duluan nyari gara-gara. Dia bakalan ribut pasti karena dia rasa masalah itu termasuk dalam kategori fatal.

Gue sempat speechless ketika dia dengan dinginnya menyahut pada emak musuhnya yang kayaknya udah capek ngomel.

"Ibu, Ibu boleh omelin saya sepuasnya tapi jangan Aa saya. Dia nggak salah dan saya pun sebenernya nggak salah. Anak Ibu yang salah. Jangan mentang-mentang dia anak Ibu, Ibu bisa menghakimi anak orang tanpa berpikir terlebih dahulu. Tanpa tau dengan jelas permasalahannya."

"Dan lo" Tatapannya beralih pada lawannya yang masih mewek itu. "Lo tau siapa yang salah sebenarnya, and gue ingetin kita bukan anak SD lagi. Jadi, coba lo pikir baik-baik."

Anak itu tercengang sesaat sebelum kembali melontarkan pengelakan dan kembali menyudutkan Fila.

"Stop. Gue pusing." Fila menatap guru BP nya. "Saya nggak salah, kalau Ibu nggak percaya Ibu bisa liat CCTV kelas karena semua saksi menyudutkan saya, CCTV itu bukti yang saya ajukan." Guru BP Fila nampak terperangah dengan apa yang diutarakan muridnya, gue kemudian melirik lawan Fila, air mukanya menunjukan ekspresi panik yang kentara.

"Betul, saya percaya kalau adik saya nggak salah. Jadi, bisa kita lihat kebenarannya sekarang, Bu?" Gue bersuara yakin.

Guru BP Fila pun mengangguk dan membawa kita ke ruang CCTV. Dan gotcha, muka dingin Fila langsung berubah lega dan menatap gue menunjukkan senyum kemenangannya. Fila memang tidak bersalah. Di dalam CCTV itu terlihat si musuh Fila dan gengnya membully Fila dengan semena-mena. Fila diam saja dan mencoba berlalu menghiraukan tapi si cewek itu malah menjambak rambut Fila. Fila mencoba melepaskan tangan cewek itu dari rambutnya tapi jambakannya malah semakin kuat. Teman geng cewek itu pun hanya ikut menertawakan. Fila yang mulai emosi pun balik menjambak rambut cewek itu.

Saat guru datang si cewek melepas jambakannya dan menangis-nangis seolah ia yang teraniaya, teman gengnya itu juga membantu untuk memfitnah Fila.

"Oke, sudah jelas kan siapa yang salah di sini?" kata gue memecah keheningan.

Guru BP Fila pun kembali menggiring kami ke ruang BP, teman-teman geng cewek itu juga kemudian dipanggil dan mereka diberi peringatan keras. Emak cewek itu kemudian minta maaf sama gue dan Fila. Dan Fila juga udah maaf-maafan---walaupun dengan suasana yang mungkin agak dipaksakan--- dengan musuh-musuhnya itu.

Gue kemudian nraktir dia makan bakso saat pulang.

"Gila lo La, keren bangeeet. Yakin lo masih kelas satu SMP?" gue ngacak-ngacak rambut dia.

"Aa juga keren banget lah tadi," kata dia ceria menampilkan gigi gingsulnya.

"Emangnya lo kenapa sampai dibully gitu?" tanya gue penasaran sambil menuangkan saos tomat ke bakso Fila.

"Mereka itu emang suka bully orang, terus yang cewek itu kayak leader-nya gitu deh. Dia pengin nyontek aku. Aku sih mau-mau aja. Karena waktu mepet banget kan dia baru nyalin beberapa. Eh dia malah ngambil kertas jawaban aku dan nuker sama kertas jawaban dia, terus dia malah mau nyoret nama aku...."

"He-em, terus?" gue kemudian menuangkan saos tomat ke mangkok gue.

"Ya aku nggak mau lah. Nggak tau diri banget udah dicontekin juga. Aku heboh kan terus ketahuan guru deh. Dia dihukum dan nilainya kosong."

"Ohh begitu... yaudah, jangan lama-lama marahnya nanti bisa jadi penyakit hati." Gue kemudian menambahkan banyak kecap pada mangkok Fila yang emang maniak kecap.

"Udah ayo cepet itu dimakan."

"Nanti boleh nambah nggak, A?"

"Iya boleh sepuasnya buat lo hari ini," ujar gue sambil menunjukkan senyuman bak seorang Ayah yang bangga pada anaknya.

"Horeeeew makasih Aa-kuh yang ganteng syelalu," sahutnya gembira. Gue terkekeh dan mengacak rambutnya.

"Mulai deh alay," gue mencibir.

Melihat dia ketawa gue kemudian berdoa dalam hati.

Semoga ade kecil gue, nggak mengalami peristiwa kayak gini lagi.

Kembali ke masa sekarang.

Sekarang ini, beda.

Fila berantem.

Pada masa SMA-nya.

Berantem sampai gue kembali mendapat kehormatan untuk masuk ruang BP.

Dan dia berantem sama....

Cowok.

Gue keluar dari ruang BP, lalu melirik cewek yang sempat buat gue lupa diri, eit maksudnya terperangah saat melihat kedatangannya. Dia cantik saat dengan paniknya mengkhawatirkan adiknya itu. Lah kenapa gue jadi salah fokus.

Oh iya gue tadi bilang, Fila akan ribut jika masalah itu termasuk dalam kategori fatal. Tapi ini, nggak fatal-fatal amat sebenarnya, menurut gue.

Hanya karena merchandise Kiev, dia udah bikin lawannya oh my.... Hidungnya berdarah. Tapi gue percaya perkataan Fila  bahwa dia nggak sengaja.

Permasalahan ini fatal, menurut Fila.

Gue tau dia sayang banget sama idolanya itu. Kamarnya penuh sama poster Kiev. Gue juga nggak ngerti kenapa dia bisa sampai begitu gilanya karena si Kiev-Kiev itu. Dia nabung untuk beli barang-barang yang menyangkut idolanya itu, soalnya emak Fila emang rada-rada pelit. Sama kayak emak gue. Sedangkan bokapnya Fila udah meninggal, satu tahun yang lalu karena sakit ginjal. Tante Ninda pun jadi tambah sibuk sepeninggal Om Arkan.

Hal itu juga yang membuat rasa tanggung jawab gue ke Fila bertambah. Gue janji sama Om Arkan bakal selalu melindungi Fila.

"Ekhem, sekali lagi maafin ade gue ya dia emang jail orangnya," gue terkesiap mendengar cewek ini bicara. Dia kemudian senyum.

Manis banget.

"Iya maafin ade gue juga, orangnya emang rada bar-bar," sahut gue sambil menunjukan senyum terganteng yang gue punya.

"Oh iya UKS-nya di mana ya?"

"Tadi gue liat sih di sana. Yuk," ajak gue. Kita lalu berjalan beriringan menuju UKS.

"Elo...." tiba-tiba kita berucap bersamaan.

"Elo duluan," kata dia mempersilakan.

"Nggak, ladies first."

"Eum... lo... Bisma Anggara P. itu kan?" tanya dia dengan raut wajah ragu-ragu.

Dia ... tau gue?
Gila, masa?

"Kok ... lo tau nama gue? Elo Dian Banyu P. itu kan?" jawab gue kemudian bertanya memastikan, dia itu bener nggak sama orang yang gue kira. Soalnya gue pernah liat dia di foto doang nggak pernah ketemu secara langsung.

"Eh, kok lo juga tau nama gue?"

"Yaiyalah lo kan duta kampus, foto lo aja gede banget di pinggir jalan, masa iya gue nggak tau. Gue yang heran kenapa lo tau sama gue?"

"Lo sekretaris BEM yang terkenal itu kan?"

True. Gue sekretaris BEM.

Terkenal?
Hmm, gue juga nggak tau.

Gue ketawa kecil. "Biasa aja gue sih orangnya."

"Nggak usah ngerendah deh. Lo itu kan cowok yang baru megang toa di kampus, maba-maba cewek langsung kelepek-kelepek," cerocos dia sambil terkekeh manis.

"Fitnah itu mah," sanggah gue sambil masih ketawa.

"Suer lah. Nggak boong."

"Kalau lo termasuk kelepek-kelepek juga nggak?" tanya gue sambil menaik-naikkan kedua alis gue jenaka.

Dia di em sebentar.

"Ya ... nggak lah ih, gue kan bukan maba lagi."

Muka gue langsung menggambarkan raut kecewa. "Oh gitu ya.... Hmm, lo jurusan apa?"

"Komunikasi, elonya?"

"Gue Teknik."

"Cocok sama muka lo," kata dia ketawa. Lagi.

"Kenapa, garang ya?"

Dia menggeleng,
"Nggak, tapi macho."

"Bisa aja lo, cantik."

"Nggak usah gombal."

"Yang duluan gombalin kan elo, gimana sih?"

"Masa iya?" kata dia nyengir memperlihatkan gigi-giginya yang putih.

Nggak kerasa kita pun sampai di ruang UKS. Kita kemudian saling pandang mendengar suara riuh cekikikan di dalam. Dahi kita sama-sama berkedut heran.

"Itu suara... Fila," kata gue berbisik.

"Sama, itu juga suara Iyon."

"Mereka beneran ketawa bareng  apa kesurupan masal?" Cewek itu mengulum senyum saat mendengar pertanyaan gue.

"Semoga aja bukan poin yang kedua," ujarnya terkekeh.

Dian kemudian berinisiatif membuka pintu ruangan itu.

"Gila lo bangke monyet banget dah! Ampun gue pengin ngompol Nang," terdengar jelas suara Dion yang cekakakan bersama Fila alias Gina. Eit tunggu apa kata Dion tadi? Nang?

"Oh iya terus-terus ya--" Omongan Fila terhenti saat melihat kita berdua yang telah memasuki UKS. Dion yang melihat komuk Fila a.k.a Gina pun otomatis menghentikan tawanya dan memusatkan perhatian pada gue dan Dian yang sedang memandang mereka berdua keheranan.

"Ekhem, jadi udah damai nih?" tanya Dian.

"Damai? Kita?" tanya Fila sambil menoleh ke arah Dion.

"Kita dah damai, Nang?" Dion malah balik nanya.

"Mana tau gue, menurut lo?"

"Udah-udah keliatannya sih gitu. Nggak usah ribut lagi," lerai gue. "Eh, Dion maafin gue ya tadi udah salah paham." Gue mengulurkan tangan ke arah Dion.

"Iya nggak papa, Bang. Woles aja," kata Dion menyambut tangan gue.

"Oh iya nama gue Bisma," kata gue setelah jabatan tangan kita terlepas. Dion mengangguk.

"Aku Dian. Tetehnya Dion. Maafin Dion ya Gina." Kali ini Dian yang mengulurkan tangannya pada Fila.

"Iya, Teh. Nggak papa kok."

"Oh iya ini sisir, pakai aja De," kata Dian sambil mengeluarkan sisir dalam tasnya. Gina menyambut setelah mengucapkan kata terimakasih.

"Harusnya ngasih aku dulu dong, Teteh gimana sih?" sewot Dion.

"Suka-suka Teteh lah," balas Dian yang membuat Gina menunjukkan senyum mengejeknya pada Dion.

"Gue juga bawa sisir kok, Yon." Gue mengeluarkan benda itu dari dalam ransel gue.

"Widih, tengkyu Bang," kata Dion dengan berbinar, gue hanya tersenyum menanggapi. Dion berjalan ke arah helm yang dipakai Fila sebagai cermin di pojok ruangan. Fila cemberut ketika Dion mencoba menggesernya untuk berbagi cermin.

"Aduh selesein gue dulu ngapah?!" Fila balik menggeser bahu Dion.

"Nggak bisa yeee. Elo tibang sisir sembarang aja sonoh." Dion kembali menggeser Fila.

"Elo tuh yang nanti aja. Budayain antri dong."

"Elo--"

"Kalian ribut lagi kita kawinin ya," tandas Dian yang mulai jemu melihat kedua makhluk remaja itu cekcok dan geser-geseran.

Gue dan Dian saling pandang dan tersenyum geli saat melihat dua bocah itu langsung kicep dan diam berdempetan di depan cermin, merapikan rambut bersama dengan khusyuk dan sesekali mencibir satu sama lain.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro