12 - Home
AUTHOR
Dion memarkirkan si manis tepat di samping motor Gina yang juga baru tiba. "Morning, Nang," sapa Dion sembari tersenyum lebar.
Gina melepaskan helm, kemudian menoleh pada Dion. "Morning-morning, biasa makan ikan asin juga," cibir Gina.
Dion menoyor dahi Gina.
"Yee jangan remehin ikan asin coy, ikan asin itu adalah warisan nenek moyang. Udah murah, enak, tahan lama pula."
"Waw. Betul juga. Hidup ikan asin!" seru Gina bersemangat.
"Hidup!"
Semua orang di parkiran menatap Gina dan Dion heran. Apa hari ini hari peringatan ikan asin nasional ya? Begitu rata-rata yang ada di pikiran mereka.
Gina beralih dari atas motor lalu berjalan meninggalkan Dion yang masih nangkring di atas sepedanya.
Sepeninggal Gina, mata Dion melotot maksimal dan segera berlari mengejar Gina dengan kecepatan super.
"E... kodok ayam biawak!! Anjir, ngapain lo Yon?!" Gina sampai latah karena tindakan Dion. Cowok itu berjalan di belakang nya dalam jarak yang teramat dekat. Belum lagi tangan Dion yang mencengkeram kedua bahunya dari belakang.
"Bacot, cepetan jalan," bisik Dion dan sedikit mendorong tubuh Gina. Memaksa cewek itu untuk berjalan cepat.
"Lo ngapain sih?!" balas Gina berbisik. Gina merasa risi dengan tatapan orang-orang yang mengarah pada mereka.
"Ampun dah bawel amat Nyai, buruan dah jalan aja!"
"Dih, jangan mentang-mentang kita telah menyepakati gencatan senjata lo bisa nemplok-nemplok gue gini ya, emangnya gue cewek apaan?!"
"Emangnya gue cicak nemplok-nemplok di dinding diam-diam merayap, gitu?"
"Yon gue serius!"
"Buruan jalannya kampret. Gue ini lagi nyelamatin hidup lo, lo bisa sujud sungkem berterimakasih ke gue nanti."
"Emangnya kenapa sih?"
"Bawel amat dah. Makanya cepetan jalan."
Gina mendumel kesal dan mengambil langkah-langkah lebar untuk mempercepat jalannya. Dion dengan setia tetap berada di posisinya memepet Gina dari belakang.
Setelah memasuki koridor, Dion langsung mendorong Gina berbelok ke arah koridor sepi yang mengarah ke gudang sekolah. Dion kemudian beralih ke depan Gina dan menyudutkan cewek itu ke tembok.
"Lo mau apain gue?!" seru Gina. Jantungnya jedar-jeder tidak karuan. Tangan Dion masih mencengkram kedua bahunya. Ditambah dengan ekspresi cowok itu yang serius melihat ke kanan dan ke kiri mengontrol keadaan.
"Yon! Gue teriak nih!"
Dion membekap mulut Gina. "Ssst diem ngapa, Na!" bisik Dion.
Gina menggigit tangan Dion. "Aww! Gila lo ya?!!" Dion meringis tertahan.
Usaha Gina untuk kabur gagal saat Dion menarik tangannya dan kembali menempelkan tubuhnya ke dinding.
"Yon... elo masih waras 'kan? Yon sadar!! Kalau lo mau macem-macem gue bakal tendang aset lo sampe nggak berfungsi lagi!"
"Heh, kalau lo ngomong mulu kapan gue ngomongnya ish!" Dion menjitak kepala Gina kesal.
"Ya udah cepetan ngomong?!"
"Resleting rok lo kebuka."
"What?!" pekik Gina dan langsung memeriksa roknya. Gina langsung menutup resleting roknya dengan gesit tanpa berpaling. Wajahnya masih terarah pada Dion yang terlihat sekali sedang menahan tawa.
"Gila looooo. Kenapa nggak bilang dari tadi?!" Gina menonjok bahu Dion.
"Lo mau gue bilang di tengah orang banyak gitu? Terus lo bakal nutup di sana?" tanya Dion dengan alisnya yang bergerak naik turun seirama dengan nada suaranya.
"Hooh. Why not? Gila, nggak perlu lo dempet juga kali. Kalau gue tewas gara-gara fans lo, gimana?"
"Elo yang bakal tewas, kalo sampe orang-orang liat nana dalem lo yang kuning ngejreng ditambah gambar bebek tepat di pan---"
"Kampret lo liat? Lo liatin bemper gue?!" Gina kembali memukuli Dion.
"Ya gimana nggak liat kalo gue punya mata?! Udah dibantuin juga ah lo, Nang!" Dion mengaduh dan segera menahan tangan Gina yang bergerak beringas.
"Heh, lagian itu tuh bukan nana dalem ya tapi celana pendek semacam boxer kalo cowok!"
"Ya emangnya orang bakal ngira itu bukan nana dalem?"
"Tsk, dasar juga A Bisma, kenapa sih ngasih kado gitu banget." Gina mendesis.
"Ya elo juga kenapa make."
"Auk ah! Kolor kolor gue juga!" sahut Gina gahar dan beranjak sembari menabrak bahu Dion. Tangan Dion terulur menahan lengan Gina.
"Eh mau ke mana? Bilang apa coba kalo udah dibantuin?"
"Males!"
"Dih gue tebar nih aib lo," ancam Dion.
"Heh lo ampe berani, muka lo gue acak-acak!"
Dion bersedekap dada dan tersenyum miring.
"Mangkanya, bilang makasih dong."
Gina mendengus.
"Iye, makasih."
Tangan Dion mencekal Gina saat cewek itu kembali mengambil langkah. "Apaan lagi sih?!" ujar Gina memutar bola matanya kesal.
Dion tersenyum dengan songong. "Ucapannya gini dong. Makasih Dion yang lebih ganteng dari Kiev."
"Apa lu kata?!"
"Ayo bilang." Dion tersenyum sambil mengangkat alisnya naik turun.
Tiba-tiba Gina berseru dengan mata yang membelalak. "Astaga, Yon! Resleting celana lo kebuka!!" Dion otomatis menunduk melihat celananya.
"Kena, deh!" Gina langsung ambil langkah seribu dari hadapan Dion.
Dion memandang Gina yang berlari. "Mampus kena tipu gue, Gina awas lo ya!!" Dion berlari mengejar Gina. Mereka berlarian di koridor menuju kelas. Orang-orang menatap mereka berdua heran sekaligus bertanya-tanya. Mereka ini kenapa sih, pagi-pagi sudah kejar-kejaran.
Gina berjalan mundur mengejek Dion yang terengah-engah lalu ia tak sengaja menabrak seseorang sampai orang itu limbung. Untung saja Dion menyelamatkan cewek itu sebelum jatuh mencium lantai.
Untuk sepersekian detik Dion dan cewek itu bertatapan. Gina memandang adegan di depannya dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Lo... nggak apa-apa, Li?" tanya Dion kemudian.
"Eh iya gue nggak apa-apa, makasih ya."
Gina terkesiap, lalu mengambil buku-buku Berlian yang berserakan. "Aduh sori banget ya, Li." Gina mengulurkan buku-buku itu pada Berlian.
"Iya nggak apa-apa, Na."
Dion menjitak kepala Gina.
"Elo sih makanya hati-hati."
"Yee, kan gara-gara lo juga monyet," balas Gina tak terima.
"Haha gue nggak apa-apa kok. Kita masuk yuk," ajak Lian sambil menampilkan senyumnya.
Gina memakai helmnya. "Yakin di rumah gue, nih?" tanya cewek itu pada Dion yang sedang berdiri di depannya.
Rencananya mereka akan mengerjakan tugas kelompok berdua. Ya berdua, ini memang tugas kelompok bersama teman sebangku. Sebenarnya tugas ini di kumpul beberapa hari lagi, tapi Dion dan Gina hanya punya waktu kosong hari ini. Dion sibuk dengan basket dan bandnya. Sedangkan Gina sibuk karena Pramuka dengan segala tetek bengeknya.
Tapi bukannya memang bagus tugas itu dikerjakan secepatnya ya? Jangan menunda-nunda. Kayak KB aja nunda-nunda.
"Yakinlah. Oh iya, jangan cepet-cepet bawa motornya. Gue nggak tau rumah lo." Dion lantas menaiki sepedanya.
Gina menahan bahu Dion. "Yon, sepeda lo ditenteng lagi aja gimana, jadi lebih gampang 'kan?"
"Lo yakin?" tanya Dion heran.
"Yoi, ayo naik cepet." Dion menenteng sepedanya dan naik ke boncengan motor Gina.
Gina menatap Dion dari spion.
"Siap?"
"Cabut, Jek!"
Gina melajukan motornya dalam kecepatan sedang. Rumah Gina dan Dion berada di arah yang sama, namun saat di pertigaan, rumah Dion lurus sedangkan Gina belok ke arah kanan.
Gina berhenti di sebuah rumah dengan nuansa kehijauan. Banyak sekali tanaman di rumah itu.
Setelah memarkirkan motor di garasi, Gina mengetuk pintu dengan Dion yang berada di sampingnya.
"Assalamu'alaikum." Pintu pun terbuka.
"Wa'alaikumsalam, eh Non Fila," sambut seseorang dengan daster panjangnya.
"Oh iya Bi, kenalin ini temen Fila. Mau kerja kelompok."
"Nama saya Dion, Bu." Dion langsung mencium tangan wanita paruh baya itu.
"Eh Aden panggil bibi aja ya, jangan ibu atuh. Nama saya Ijah." Dion menanggapi dengan sopan. Mereka pun memasuki rumah.
Setelah tiba di ruang tamu, Gina berbalik menghadap Dion.
"Tunggu sini ya, gue mau ganti baju dulu." Dion mengangguk dan menaruh tasnya di sofa.
"Nang." Gina yang sudah menaiki anak tangga kembali berbalik menatap Dion. "Apa?"
"Wudhu di mana?"
"Eh? Oh, sini ikutin gue." Gina kembali turun dan meletakkan tasnya di meja lalu beranjak bersama Dion.
Setelah menunjukkan tempat wudhu, Gina menyiapkan sajadah untuk Dion di sebuah ruangan.
Beberapa saat kemudian terdengar langkah kaki mendekat. Gina menoleh menatap Dion dengan rambut setengah basah dan wajahnya yang entah kenapa jadi lebih bersinar dan cowok itu terlihat sangat, hmm-- tampan. Oke, itu memang salah satu keutamaan wudhu. Jadi, sekarang Gina nggak perlu menatap Dion seolah cowok itu Kiev atau Adam Levine 'kan?
"Wey, Na."
"Eh wey," Gina gelagapan, lalu bangkit dari posisinya, "sekalian doain gue juga ya, Bos." Gina terkekeh dan beranjak menuju pintu.
"Lo emangnya nggak sholat?
"Biasa bulan oh bulan." Dion hanya mengangguk menanggapi. Tangannya mengambil sesuatu dari atas lemari yang ada di ruangan itu. "Oh iya ini peci siapa? Gue boleh make nggak, Nang?"
Gina tertegun. "Eh? I...iya pake aja. Punya bokap gue." Dion memakai peci itu dengan mantap, cowok itu kemudian beralih menuju sajadah dan mulai menunaikan salat Dzuhur.
Gina menatap punggung Dion lekat. Terbayang sosok yang sangat ia rindukan. Yang selalu menjadi imam dalam salatnya. Sosok yang tak akan pernah lagi kembali.
Papa... Fila kangen.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Eh Nyonya tumben pulang siang."
"Ini ada yang mau diambil Bi, nanti balik lagi ke kantor. Itu di depan sepeda siapa Bi?"
"Sepeda temennya Non Fila, mau kerja kelompok katanya."
"Oh gitu...."
Langkah wanita itu terhenti saat dilihatnya seseorang sedang bersimpuh di atas sajadah dalam ruangan khusus yang dulu ia dan keluarga kecilnya gunakan untuk menunaikan salat berjamaah. Sekarang dia dan Gina jarang menggunakan ruangan itu, mereka lebih memilih beribadah di kamar masing-masing.
"Itu temennya Non, Nyah. Ganteng loh. Hihi," bisik Bi Ijah.
Wanita itu tersenyum simpul. "Bi Ijah bisa aja, sekarang Filanya di mana?"
"Dapur, Nyah. Lagi bikin minum."
Setelah mengambil dokumen di kamar, Mama Gina menuju dapur untuk menemui puteri semata wayangnya.
"Mama...." Gina mencium tangan mamanya. "Tumben pulang jam segini."
"Hehe cuma bentar kok ini mau balik lagi ke kantor, oh iya yang sholat itu pacar kamu? Kalau iya, Mama dukung banget deh pokoknya."
"Mama apaan sih? Dia itu temen sebangku aku. Cuman temen, Ma dan asal Mama tau aja dia itu musuh jambak-jambakan aku dulu, tau."
"Yee emangnya mama nggak tau siklus percintaan jaman sekarang kalau nggak benci bilang cinta ya friendzone-an, kan?"
"Mama kenapa dih, ih!"
"Nang... lo di mana?" Suara bariton menggema dari ruang tamu membuat Mama Gina tersenyum menggoda ke arah putrinya.
"Dapur, Yon!" seru Gina. "Mama apaan sih." Gina berbisik sembari menahan tangan mama yang terus-terusan menoel dagunya.
Tanpa menunggu lama sosok itu muncul di antara mereka.
"Eh... Hai ganteng," sapa Mama Gina sambil melambaikan tangan.
"Yon... kenalin emak gue."
Dion langsung mencium tangan mama Gina. "Halo Tante, nama saya Dion."
"Ninda. Mamanya Gina."
"Iya salam kenal, Tante." Dion menunjukkan senyum manisnya.
"Oh ini peci papa ya sayang. Duh jadi kangen papa, aduh maaf ya Dion tante orangnya emang baperan." Mama Gina terkekeh malu.
"Eh, maaf Tante. Saya lupa lepas, hehe."
"Nggak papa. Cocok tau sama kamu."
Tiba-tiba ponsel Ninda berdering. Wanita itu segera mengangkat panggilan dan berbicara secara singkat bahwa dia akan segera kembali ke kantor.
"Pergi sekarang?" tanya Gina. Ninda mengangguk. "Hm, sorry baby."
"Eh iya Dion, Tante pergi dulu ya, nanti sering-sering main ke sini. Biar kita bisa ngobrol banyak."
"Iya, Tante. Hati-hati ya, Tan."
"Oke dadaah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Gina menghela napas berat ketika mamanya sudah hilang di balik pintu.
"Mama lo lucu ya," komentar Dion lalu terkekeh.
"Hooh, macem gue gini lah."
"Kalau lo sih lebih parah, Na."
"Lebih parah lucunya?" Gina menangkupkan kedua tangannya ke dagu. Matanya berkedip-kedip genit.
"Najis!" Dion terkekeh dan mengacak rambut Gina gemas.
"Huh... akhirnya selesai juga." Gina menggeliat meluruskan otot-ototnya yang terasa kaku.
Dion menutup laptop dan menyenderkan punggungnya ke sofa.
"Nang, gue mau cerita nih."
"About?" tanya Gina, tangannya bergerak aktif membereskan snack yang menemani mereka sepanjang mengerjakan tugas.
"Cewek."
Satu kata itu membuat Gina membeku sesaat.
"Ada apa dengan cewek?" Gina menjatuhkan pantatnya di sofa dan duduk bersila menghadap Dion.
Dion memiringkan posisinya untuk menghadap Gina. "Gue...."
Gina mencoba menebak pernyataan Dion. "Lo... suka sama cewek?" dan tepat, Dion mengangguk. Gina kembali membeku. Matanya berkedip beberapa kali.
Gina merasakan sesuatu dalam hatinya. Rasa apa ini? Ada pait-paitnya gitu.
"Anjay siapakah cewek tidak beruntung itu?!!" pekik Gina antusias.
Lain di mulut, lain di hati. Respon berlebihan untuk membangun topeng yang sempurna. Dan ia berhasil, Dion tak menyadari apapun yang bergejolak pada diri Gina.
Dion nyengir. "Sialan lo!" Cowok itu menjitak kepala Gina. "Berlian."
Makin menusuk.
Gina terdiam memperhatikan saat cowok itu tersenyum najis tapi ganteng saat menyebut nama Berlian.
"Oy, Na! Respon dong! Heloww, Firstya Angginafila?! Woy!"
"Eh iya, terus?"
"Terus? Gue mau nanya ke elo, gue harus ngapain?" tanya cowok itu serius.
"Ya... langsung sosor lah!!"
"Emangnya gue angsa nyosor-nyosor?"
"Ya maksudnya lo harus gercep, chat dia kek. Ingetin makan, ingetin sholat, ingetin mandi, ingetin bobo."
Bullshit, Na.
"Emang harus gitu?"
"Yah pokoknya lo harus tunjukin lo itu ada buat dia, kasih dia perhatian. Terus dor-dor deh."
Dion diem. Dahinya berlipat-lipat seolah Gina sedang menerangkan cara memberantas kejahatan di seluruh muka bumi ini.
Gina berdecak, "Yon, plis deh ya. Katanya lo salah satu cogan Pelita Angkasa, deketin cewek aja parah amat begonya."
"Heh, bukannya gitu, dia 'kan beda sama cewek kebanyakan."
"Lo takut ditolak? Yeu, gue bilangin nih. Lo kan belangsak, dia pendiem agak misterius gitu. Klop. Cocok banget kayak di nopel-nopel."
"Novel Na," ralat Dion.
"Congor-congor gue ih!"
"Serah lu dah. Jadi langkah awal gimana nih?"
"Hmm, gimana kalo gue pura-pura marah sama lo. Terus lo sebangku aja sama dia. Kecuali saat ada Bu Ratna. Ye lo tau kan Guru BP itu, sumpah deh padahal 'kan kita udah damai.
"Gimana gimana berlian 'kan ide gue?" Gina menaik-naikkan alisnya jenaka.
"Brilian, bego," ralat Dion lagi.
"Whatever. Congor-congor gue!!" Dion tertawa dan Gina ikut nyengir.
Berlian apa brilian sama aja.
Yang pasti bagus banget idenya Gina. Sampai dia sendiri nggak sadar bahwa hal itu nyakitin dirinya sendiri.
Atau mungkin dia sadar, namun berusaha mengelak semuanya. Pura-pura bahagia dengan topeng sempurnanya.
Gue nggak mungkin naksir Dion.
Nggak mungkin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro