Nina
Nina. Seorang pelajar dari Greenhill yang tergila-gila pada dirinya di masa lalu. Ia memang tidak secantik Odessa. Ia juga sering membuat masalah sewaktu ada di North Window. Perkataan Viktor benar. Nina masih menunggunya. Apakah perasaannya masih tetap sama seperti dulu? Flik beristirahat sesaat selagi masih ada di rumah orang tuanya.
Besoknya ia pergi ke Kaku. Tempat tinggalnya yang sudah delapan tahun ia tinggalkan. Sebuah rumah dekat pelabuhan Kaku. Kini pelabuhan itu bukan pelabuhan kecil tempat perahu nelayan berlabuh. Kaku kini menjadi kota pelabuhan terbesar Toran setelah Teien. Kapal-kapal besar yang menuju kawasan Danau Toran dan sekitarnya banyak singgah di sana. Begitupun dengan kapal pesiar wisata untuk berkeliling kawasan-kawasan bersejarah di sekitar danau. Sudah lama ia tidak menghirup aroma pelabuhan. Kini rumahnya pun dipugar oleh pemerintah menjadi salah satu tempat bersejarah.
"Beruntung sekali kami bisa bertemu dengan Tuan Flik si Kilat Biru. Pahlawan dari dua negeri yang terkenal sedang ada di kota ini," ucap seorang pemandu wisata di depan rumahnya. Ia masih tidak biasa dengan keadaan Kaku yang sekarang. Pemandu wisata berjalan hanya sebatas halaman rumah dan monumen di sekitarnya. Ada seorang wanita berjalan antara kelompok wisatawan. Ia tersenyum sesaat di balik topi berpita biru lebar yang ia kenakan. Warna biru yang sama seperti ikat kepalanya. Ia berjalan mendekat di antara kerumunan wisatawan.
"Nina!"
Mereka berhenti. Seorang wanita cantik bergaun putih panjang berjalan anggun dan berbalik arah. Rambut pirang panjangnya tergerai lemas di balik topi. Ia tersenyum sembari membuka topinya.
"Tuan Flik, selamat siang," ucapnya dengan senyuman.
Nina yang dulu bukanlah sosok wanita cantik yang berdiri di hadapannya. Ia tumbuh menjadi seorang wanita anggun dengan tutur kata lembut dan sopan. Hari itu Flik mengajaknya berkeliling Kaku.
"Kapan kau datang ke sini?"
"Sejak tiga hari lalu. Aku ke sini untuk berlibur. Tidak kusangka aku bisa bertemu dengan Tuan Flik di sini."
"Bagaimana dengan sekolahmu?"
"Aku sudah lulus."
"Sekarang kau kerja di mana?"
"Aku bekerja di Sekretariat Republik."
"Kau sekarang menjadi orang yang penting."
"Justru Tuan Flik yang benar-benar orang penting. Seorang pahlawan dari dua negeri yang kini berjalan berduaan hanya denganku layaknya orang biasa."
Nina tersenyum sembari menundukkan wajah. Pita di topinya berayun dengan angin dari danau. Pita itu mengingatkan ia akan masa lalu. Sewaktu ikat kepalanya hilang dan dicuci oleh Nina.
"Nina. Sampai kapan kau akan ada di sini?"
"Sekitar satu minggu. Besok aku harus pergi. Pemandu wisata akan membawa kami ke Antei."
"Bisakah kau tidak pergi ke sana?"
"Kenapa?"
"Ada satu tempat yang ingin kutunjukkan padamu."
"Aku menginap di hotel besar dekat pelabuhan. Kita bertemu di pelabuhan sebelum jam 10 pagi."
Keesokan paginya sekitar jam 9 pagi. Nina duduk di tepi pelabuhan. Flik datang menepati janjinya.
"Nina. Kau?"
Ia tersenyum. Ia kenakan gaun biru panjang dengan sepatu putihnya. Rambut panjangnya ia rapikan dengan sebuah bandana di kepala.
"Di mana ikat kepala yang biasa Tuan pakai? Aku baru sadar kemarin Tuan tidak memakainya."
"Um. Aku sudah tua untuk memakainya."
Keduanya tersenyum canggung. Hari itu Flik berpenampilan biasa saja dengan kemeja lengan pendek dan sebuah rompi rajut dari wol. Poni panjangnya ia potong pendek. Keduanya berjalan layaknya sepasang kekasih yang tengah berkencan. Keduanya sama-sama memakai baju biru tanpa sebelumnya berjanji memakai warna senada. Nina berjalan menarik kopernya.
"Sini biar aku saja yang bawa."
"Tidak usah. Terima kasih. Kita mau ke mana?"
"Lenankamp."
"Di mana itu? Apa jauh dari sini?"
"Tidak begitu jauh bila kita ke sana naik kereta. Sekitar dua jam dari sini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro