Lenankamp
Mereka berjalan menuju sebuah hotel besar di tengah kota Lenankamp. Sebuah hotel terkenal dengan pelayanannya di kota itu. Sebagian gedungnya kini menjadi sebuah museum. Hari itu mereka menginap di sana. Ia mengajak Nina ke sebuah ruangan dengan jam besar di dalamnya.
"Kita mau ke mana?"
"Aku akan menunjukkanmu pada seseorang."
Jam tua besar itu kini menjadi sebuah monumen yang berdiri tegap di samping sebuah tangga menuju ruang bawah tanah. Sepanjang ruangan itu terdapat gorong-gorong yang terhubung dengan saluran air bawah tanah kota. Dulu tidak ada sekat. Kini sebuah dinding memisahkan gorong-gorong dan menjadi sebuah monumen.
"Kita di mana?"
"Markas Tentara Kemerdekaan Toran yang lama. Dulu kami berpindah-pindah karena markas kami dihancurkan oleh kerajaan. Ini markas terakhir kami sebelum kami putuskan pindah ke Kastil Toran di tengah danau sana. Di sini pula aku kehilangan dirinya."
"Apa orang yang Tuan maksud itu Odessa Silverberg?"
"Bagaimana kau tahu soal itu?"
"Pemandu wisata memberi kami buku panduan mengenai sejarah singkat negeri ini mulai dari era kerajaan hingga pembentukan republik. Ada sebuah nama yang dulu sering aku lihat di pedang Tuan. Odessa. Kupikir nama itu tidak ada artinya. Ternyata ia adalah pemimpin pertama dari tentara kemerdekaan Toran."
"Ia adalah orang yang benar-benar berharga. Dia meninggal di tempat ini. Saat itu aku bahkan tidak bisa melihat wajahnya atau menerima kematiannya. Mimpinya kini sudah terwujud. Tahun demi tahun pun berlalu. Tetap aku masih tidak bisa melupakannya."
"Itukah sebabnya Tuan selalu dingin pada setiap wanita yang mendekati Tuan?"
"Sampai sekarang aku masih belum bisa menemukan wanita yang bisa menggantikan Odessa. Viktor benar. Aku harus memulai hidup baru demi kebaikanku."
"Begitupun denganku. Dulu aku menganggap Tuan itu segalanya. Aku selalu bermimpi menjadi seorang putri yang dipersunting pangeran berkuda putih seperti Tuan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai sadar. Aku tidak boleh tenggelam dalam imajinasi sesaatku. Sehebat apapun aku berkhayal, tetap Tuan tidak akan menyukaiku. Aku juga tidak hidup untuk Tuan. Aku harus menyelesaikan sekolahku. Aku masih punya mimpi yang masih harus kuwujudkan. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku dan ingin bisa berbuat banyak seperti nyonya Teresa."
"Nina. Kau benar-benar berubah dari pertama kali kita bertemu."
"Jika seseorang tidak berubah, ia mungkin akan jauh lebih membosankan. Benar begitu 'kan, Tuan?"
Wajahnya tertunduk. Ia berdiri di depan jendela kamar penginapan. Rembulan malam itu tidak begitu indah. Langitnya berawan hingga menampakkan setengah keindahannya. Dari setiap jendela tempat ia berdiri, kenangan itu muncul. Masa-masa indah bersama orang yang ia cintai di masa mudanya. Jendela merupakan tempat baginya untuk meratap. Kenangan pahit belum sanggup ia lepaskan layaknya Nina. Ketukan pintu membuatnya menyeka air mata di pipi.
"Tuan Flik?"
"Nina. Masuklah."
Nina menunduk. Ia duduk di sofa hotel.
"Apa Tuan sedang sedih?"
"Ya. Bulan selalu mengingatkanku akan dirinya. Kupikir kau langsung kembali ke Kaku."
"Aku tidak tahu apapun tentang Toran selain dari buku panduan pemberian pemandu wisata. Aku juga masih punya waktu 3 hari lagi sebelum liburanku berakhir. Jika Tuan mengajakku kemari, pastilah Tuan ingin punya teman bicara."
"Ah, Nina. Bisakah kau menemaniku jalan-jalan malam ini?"
"Tentu. Aku ingin sekali melihat kota ini di malam hari."
Mereka berjalan menyusuri jalanan kota Lenankamp. Kota itu kini bermandikan cahaya lampu-lampu tua di sepanjang jalan. Jalanan dari batu-batuan masih tidak berubah dari terakhir kali ia datang ke kota itu.
"Tuan. Ayo kita ke sana!"
Nina menariknya menuju kawasan atraksi di sebuah restoran dekat hotel. Para pengunjung berdecak kagum melihat permainan musisi yang sedang tampil di sana. Nina tersenyum. Ada sekelompok penari berjalan beriringan lalu bergerak mengikuti irama lagu. Satu persatu orang-orang di sana berdansa bersama-sama.
"Tuan Flik. Ayo kita berdansa."
"Aku tidak tahu caranya berdansa!"
"Sini biar Nina yang hebat mengajari Tuan untuk berdansa."
Nina menariknya agar menari di tengah-tengah kerumunan. Malam itu di bawah naungan kerlap-kerlip lampu berwarna-warni membentang di atas kepala. Alunan musik yang memeriahkan malam. Nina tertawa. Berulang kali sang pangeran berkuda putihnya tersandung.
"Tuan, kaki kiri dulu baru kaki kanan. Kiri. Kanan."
Sang pangeran pun menari layaknya anak kecil melompat berjinjit dan jatuh.
"Lebih mudah mengayunkan pedang daripada menari."
"Ayolah. Tuan ikuti saja aku."
Kiri. Kanan. Langkah kaki Nina menuntun gerakan dansa. Kiri. Kanan. Kini sang pangeran tersenyum di depan pengagum rahasianya. Tubuhnya bergerak mengikuti langkah kaki Nina.
"Ini tidak begitu sulit."
"Tuan benar-benar payah sewaktu berdansa."
Hari semakin malam. Nina mentraktirnya makan malam di restoran. Berpayung atap langit malam nan indah.
"Tuan tidak suka makanannya?"
"Aku tidak biasa makan-makanan seperti ini. Ini semua makanan mahal."
Mulutnya penuh dengan suapan Nina. Lidahnya mengecap hidangan asing di mulutnya. Ia tersenyum dan bersorak seakan kembali ke masa mudanya.
"Nina. Ini enak!"
Ia tidak hentinya menghabiskan makanan layaknya seorang kelaparan. Nina ambil sapu tangan mengelap saus di pipi si pangeran kelaparannya.
"Masa sih sudah tua makannya belepotan."
Malam itu memang singkat. Ia tidak salah dengan mengajak Nina pergi. Nina bukanlah Nina si pelajar menyebalkan yang dulu selalu membuntutinya. Dia tumbuh menjadi wanita cantik yang terus membuatnya tersenyum sepanjang malam. Ia terlelap dalam tidurnya.
Keesokan harinya mereka kembali ke Kaku. Hari itu si beruang besar datang berkunjung.
"Sobat, siapa wanita cantik itu? Apa kau mengencani seorang gadis di Kaku?"
"Pikiranmu selalu saja soal kencan. Kapan kau serius untuk menikah?"
"Sekitar tiga bulan lagi. Aku sudah menemukan seorang gadis yang cocok dari Kanakan. Aku mampir ke tempatmu sepulang dari tempat tinggalnya."
"Pantas kemarin kau mengajakku minum."
"Ayolah. Siapa dia? Kenapa kau tidak mengenalkan ia padaku? Bukankah kita ini sobat lama?"
"Hei beruang jelek! Mulutmu masih saja bau arak," ucap Nina.
"Apa? Dia meledekku beruang? Bilang padanya aku ini bukan beruang! Bagaimana ia bisa tahu kebiasaanku minum?"
"Dia itu Nina," bisiknya.
"Nina yang terus mengejarmu itu?" Viktor menoleh ke belakang. "Aku bahkan nyaris tidak mengenalinya. Ia sangat cantik. Apa dia kemari untuk mengejarmu?"
"Tidak. Ia sedang berlibur di Toran. Aku baru saja mengajaknya pergi ke Lenankamp."
"Tuan. Kenapa Tuan dan beruang ini diam saja?"
"Sobat, kita bicara saja nanti. Semoga beruntung dengan kencanmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro