Hierarki Demensia | 2
"Happy birthday! Happy birthday! Happy birthday to you, Fana!"
"Hah...heh..." ucapku terbata dalam keadaan yang setengah sadar. Membuatku tak mampu berkata banyak dan hanya berdeham dengan hangat.
Heran dan bingung aku dibuatnya. Bukankah seharusnya aku sedang menunggu kejutan dari Rizal? Namun, mengapa sekarang aku kembali di kamar? Apakah semuanya hanya mimpi? Apakah relativitas kembali dipermainkan oleh Tuhan.
Teramat berat kepalaku, ia bak ditimpali jutaan meteor yang menghunus atmosfer dengan teramat riang. Seakan kepalaku hanyalah wahana bermain. Di lain sisi, pandanganku pitam dan gelap, seperti ada sentuhan makhluk halus yang dengan sengaja menindih badan ini dengan sekena hati.
"Ah, gila! Ke mana aja lu dari tadi Fana. Gue hubungi gak di angkat-angkat. Pasti baru pulang nge-date bareng do'i nih. Sampai teman saja ditelantarin, kasihan banget jadi gue sama diri gue sendiri." Makhluk di seberang telepon ini tidak memberikan aku untuk setidaknya berpikir. Apakah ia tidak tahu apa yang sedang kurasa. Apakah hidup ini harus selalu mengerti orang lain, tanpa pernah berusaha untuk saling mengerti satu sama lain?
"Hah...apa!" balasku kesal sembari mengancing gigiku rapat-rapat hingga tak meninggalkan celah antarnya
"Ah si Fana tiba-tiba demensia. Sudah pikun yah? Happy birthday buat yang ke-24 tahun. Semoga apa yang selalu kamu cita-citakan tercapai, menjadi anak yang lebih baik buat orang tua dan para keluarga. Lancar pekerjaan baik dunia maupun akhirat. Serta menjadi cekgu yang lebih baik lagi."
"Oh, iya semoga cepat nikah dengan yang terbaik ya Fan." Perkataan tersebut mengakhiri seluruh pembicaraan satu arah kita. Seakan aku adalah pendegar radio yang selalu berusaha mencerna tanpa harus salig memahami.
Naluri menyuruh untuk melihat wujud makhluk yang sekenanya mengangguku dalam peradaban. Namun, ada suatu kemalasan yang bertahta akannya. Menyentil dan terus mengingatkan aku untuk sesegera mungkin terlelap. Karena akan ada sesuatu yang hanya dapat kunanti jika kusegerakan untuk segera terlelap.
Pukul 01:00
Lagi, temaram gawai berhasil menjinakkan kebengisan akan ego yang menghantui. Menyuruh untuk setidaknya perduli akan apa yang terus mengusiknya. Meyakinkan bahwa banyak hal penting yang akan terlewatkan jika aku tidak melihat pada sang gawai.
Egoku kalah, tewas dan tertembak oleh miliaran peluru penasaran yang tanpa hentinya menghujam nalar. Hingga ia menelanjangi seluruh ego dan membiarkany mengalir, mengikuti sang empunya hasrat.
Aku pun memberanikan diri untuk melihat gawai dan memeriksa siapa saja yang terus mengirim notifikasi kepadaku. Selain itu, ada sesuatu yang menggelitik nalar dengan teramat geli, hingga aku terpingkal dibuatnya. Ada seseorang pria yang menyadari hari ini adalah hari ulang tahunku.
"You're lucky bastard Fana. Hopping so much from someone who really you don't care about." Aku meneriaki diriku, memerintahnya untuk tidak naif dan sedikit membumi menerima kenyataan yang sebenarnya. Berharap bukanlah aku, seseorang yang benar-benar baik untukku akan datang dengan sendirinya. Aku lantas menyadarkan diriku dengan menampar pipi dengan kedua tanganku. Memercikkan dentuman keras dan menimbulkan bekas merah yang akan kubawa hingga esok pagi.
"Don't hurt me Fana." Timpal pipiku yang merah merona bak kepiting rebus. Nyeri yang dirasa tak mampu untuk menahan gejolak hasrat akan para pengganggu tersebut.
Teramat gontai aku berjalan ke arah saklar yang berada di samping pintu kamar. Mengetiknya dengan sejumlah tenaga yang perlahan kembali seiring dengan akal yang tertahan ego. Lampu menyala, memberikan seluruh kemampuan dan daya akan sumber energi yang dahulu disebut maha karya. Sinar yang begitu silau membuat aku menutup mata demi melindunginya dari miliaran spektrum warna yang hendak menerjang masuk.
"Selamat ulang tahun yah sohibkuh, semoga diusia yang menginjak ¼ abad ini kamu segera menemukan jodoh yang selalu kau dambakan. Wkwkwk."
"Happy birthday, WYATB."
"HBD yah Fan. Ditunggu traktirannya di sekolah."
Puluhan pesan bernada yang sama masuk berbondong-bondong, saling merebut atensi untuk siapa yang akan terlebih dahulu kubaca. Siapa pun yang akan dibaca dahulu tetap tak akan bernilai penting bagiku. Semuanya hanya sebatas ucapan belaka tanpa ada tindakan. Seperti itulah kehidupan, mencari empati hanya demi sesuap traktiran, manusia.
Di lain sisi, hati kecilku mengucapkan syukur yang teramat besar. Setidaknya masih ada beberapa orang yang berusaha untuk berempati. Meskipun harus kuaki hanya beberapa yang murni dan tulus.
Aku lantas membaca satu demi satu pesan, serta membalasnya sejumlah dengan pesan yang masuk. Meskipun aku tidak teramat menginginkan percakapan di malam buta ini, setidaknya ada sesuatu yang membuatku terjaga dan lepas.
Keasikan membuatku lupa akan waktu, lupa akan tujuan awalku yang sekedar ingin tahu sosok di balik telepon. Hingga asyik akan interaksi antar pesan yang membutuhkan kehangatan komunikasi oleh jemariku.
Kekecewaan adalah warna yang layak untuk tiap bahagia. Ketika kita bahagia maka kesedihan juga akan menimpali dengan sesegera mungkin. Dalam dehaman panjangku aku bersedih dan kecewa akan suatu hal. Akan sosok yang seharusnya menghubungi dan mengucapkan kalimat indah. Seharusnya ia ingat akan hari ini, terlebih lagi aku sudah memberinya kode tentang ini. Namun...
"Come on Fana. Don't be a foolish baby lover."
Setelah tidak ada orang lagi yang membalas pesanku, aku memberanikan diri untuk melihat siapa yang menelponku dan mendapati nama Bang Jali. Kesengsem bukan kepalang aku dibuatnya, semesta memang punya cara unik untuk membuat para candu cinta ini lupa akan waktu.
"Thanks Zal."
Aku harus sesegera mungkin kembali tertelap. Ada sesuatu hal yang lebih besar menunggu. Aku harus bangkit dan beranjak lebih awal dari pada biasanya. Aku lelah, cukup lelah untuk terlambat dan menyesal dalam setiap keterlambatan dan penyesalan yang selalu menghampiri.
Aku tidak mau terlamat bekerja. Lagi, pula aku harus sudah berangkat dan pergi dari rumah setelah adzan subuh berkumandang. Aku lelah dengan sesuatu yang akan merusak hari bahagia. Oleh, sebab itu aku memohon kepada gawai untuk berhenti berisik.
Aku tidak mau mematikan gawai ini, sebab jika dimatikan maka alarm tak dapat membangunkan. Namun, jika aku tetap menyalakannya maka notifikasi akan terus mengganggu dan membuyarkan apa yang sudah kurencakan sedari beberapa hari sebelumnya.
Ting...ting...sebuah pesan masuk ke dalam gawai yang sudah kumatikan layarnya.
Maafkan Mirai ya karena telat update. Naskah ini di up date tanpa adanya revisi sama sekali. Sekiranya ada kritik dan saran. Mohon dibantu.
Terima kasih banyak Mirai sampaikan kepada para pembaca setia yang masih membaca Fana hinnga bagian ini. Doakan ke depannya akan lebih sering up date.
Akhirnya kita berjumpa dalam penghujung perkenalan yang teramat Fana ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro