Part 44 - Hilang
Brayuda sudah berada di jet pribadi keluarga Darusman. Dia tahu dia harus cepat-cepat tiba disana. Kota tempat Dara kembali. Informasi yang dia dapat dari Martha dan Rafi penerbangan Dara akan tiba tiga puluh menit setelah dia tiba. Rafi membutuhkan Niko di Jakarta juga untuk menjaga Dara disana, jadi dia yang akan memastikan keberadaan Dara disini.
Beberapa jam kemudian.
Dia berjalan mondar-mandir di depan mini market tempat Dara bekerja. Sesungguhnya dia panik mengetahui Dara belum tiba. Ditempat kosnya, nihil. Juga tempat kerjanya. Ponselnya berbunyi.
"Raf..."
Tidak ada sahutan disana.
"Rafi!!"
"Kesini Yud, sudah percuma." Suara Rafi diseberang sana sarat dengan kesan putus asa.
"Raf, kenapa percuma? Dara naik pesawatnya kan? Dia naik kan?"
Hubungan disudahi. Panik dia menghubungi Martha.
"Pak Yud, kembali saja. Kita cari Dara dari Jakarta."
"Apa dia naik pesawatnya Tha?"
Martha menghembuskan nafasnya perlahan. "Tidak Pak. Dara tidak pernah naik pesawatnya, gadis itu bahkan tidak pergi ke airport." Martha diam sejenak. "Pak Rafi, lebih butuh kamu disini."
***
Yuda sudah berdiri didepan pintu kamar Rafi yang tertutup. Sudah lima belas menit dia mengetuk pintunya dan tidak ada jawaban apa-apa. Harusnya, sahabatnya itu kuat kan? Harusnya dia tidak memilih jalan pintas kan?
"Raf, buka Raf. Seriusan tingkah lo kekanakkan? You can't shut down yourself like this." Tubuhnya sudah berjalan mondar-mandir didepan pintu, resah. Ini sudah dua hari dan Rafi belum keluar sama sekali. Martha bilang dia bahkan belum makan.
"Kita masih bisa cari Dara Raf. Gue janji gue akan cari Dara buat lo. Niko dan Alex bahkan sudah gue minta untuk kerahkan orang mereka. Nathalia dan Hilman bahkan juga bantu Raf. Kita semua cari Dara buat lo."
Bahunya disentuh lembut perlahan. Aimi sudah ada dibelakang tubuhnya. Menangis dalam diam. Lalu gadis itu juga mendekat ke pintu.
"Bang, kita bahkan sudah ke kantor polisi lapor soal Dara Bang. Mereka akan bantu cari." Sulit sekali dia menelan salivanya kali ini. Sama seperti ketika dia tahu Brayuda akan bunuh diri.
"Jadi lo nggak boleh nyerah Bang. Nggak boleh."
Di dalam kamar.
Dia duduk di luar balkon kamar, mengenakan celana pendek dan kimono panjang hitam polosnya. Tubuhnya dia senderkan ke sandaran kursi. Dia terluka hebat dan sedang berusaha keras menyembuhkan diri. Sekalipun rasanya tidak mungkin. Karena jenis luka yang ini, dia baru mengalaminya sekarang. Matanya terpejam, sementara asap rokok keluar dari sela-sela bibirnya. Entah kenapa dia tidak merasa lapar, dia bahkan tidak bisa merasakan apapun lagi. Sekarang dia mengerti, betapa pilihan untuk mengakhiri hidup terkadang jauh terasa lebih mudah saat seperti ini. Tapi, dia yang sudah dididik baik oleh orangtuanya, dengan segala beban tanggung jawab yang dia harus pikul dari kecil, membuat dia makin menderita. Karena paham benar, dia tidak bisa mengambil jalan pintas itu.
Masih ada Aimi, Cynthia, Ibunya sendiri, juga Brayuda dan Reyna untuk dia lindungi. Belum lagi Martha, Nathalia dan ratusan orang yang bekerja dibawahnya. Paham benar Ayahnya sudah usia, dan usaha keluarganya sepenuhnya berada di genggaman tangannya. Jadi, apalah arti perasaannya sendiri jika dibandingkan dengan ratusan orang yang bisa saja kehilangan mata pencaharian utama untuk keluarga mereka.
Ayah. Dia paham benar ini ada kaitannya dengan ayahnya. Tapi bagaimana bisa? Dara masih bersamanya kemarin, mereka masih berjalan bergandengan tangan dan tertawa. Bagaimana bisa ayahnya terlibat dalam waktu sesingkat itu? Brengsek!!! Bagaimana bisa???
Lalu ponselnya berdenting. Pesan dari Dani.
Dani: Kamu harus makan Raf. Dara bukan wanita baik-baik. Dia minta sejumlah uang pada Ayahmu sebelum dia pergi. Klise kan? Lalu dia pergi.
Tenaganya seperti kembali. Satu tangannya mengangkat ponsel ke telinga.
Rafi terkekeh ketika ponsel itu diangkat diseberang sana. "Menurut lo, gue bakalan percaya? Kampungan. Gue akan cari Dara, gue nggak akan mati karena gue akan temukan dia. Pastikan aja lo nggak sentuh dia, karena kalau iya. Dani, lo itu bukan siapa-siapa. Cuma kacung Sanjaya."
"Titip pesan untuk Sanjaya. Selama saya masih disini, berdiri dan hidup. Saya, El Rafi Darusman, tidak akan berhenti mencari gadis saya. Sekalipun butuh waktu bertahun-tahun, atau ribuan kota. Saya akan mulai mencari."
Hubungan disudahi.
Diseberang sana, wajah Dani menunduk. Sebenarnya dia tidak suka melakukan pekerjaan jenis ini. Pekerjaan yang mengharuskan dia mematikan hatinya. Lebih baik bosnya itu memintanya untuk membunuh orang saja. Tapi dia bisa apa, dia hutang budi pada Sanjaya.
***
Pagi itu dia keluar kamar dengan pakaian rapih. Sudah ada Martha duduk di ruang tengah dengan tablet kesayangannya. Wanita itu langsung berdiri dengan ekspresi khawatir yang kentara.
"Pagi Pak. Sarapan sudah siap."
Dia hanya mengangguk kecil. "Minta Niko dan Alex melapor setiap sore. Minta Anggara siapkan orang di dojo jam 7 malam setiap hari. Pindah meeting pagi ini ke siang hari."
"Tapi Bapak Jaya..."
"Saya pimpinan disini. Bilang Sanjaya waktu meeting saya yang minta ganti. Jika dia tidak bisa, dia tidak perlu ikut. Paham?"
"Iya Pak. Paham." Sahut Martha sambil berjalan di belakang Rafi.
***
Di kantor siang itu.
"Apa kabarmu?"
Rafi diam saja, menatap dingin pada sosok dihadapannya. Sungguh hanya sisa-sisa kesantunan saja yang membuat dia menahan diri untuk tidak berteriak dan memaki.
Sanjaya tersenyum. "Suatu saat kamu akan mengerti, kenapa saya melakukan ini."
Rafi hanya berlalu, masuk ke dalam ruangan kerjanya. Setelah itu, dia bungkam. Diam. Pada siapapun tanpa terkecuali. Hanya berbicara ketika harus bekerja saja.
***
"Good Morning." Dia memeluk gadisnya yang sedang membuat kopi dari belakang. Lalu mencium pipinya sesaat. Wangi kopi buatan Dara ditambah keberadaan gadisnya itu seperti surga saja.
Dara membalik tubuhnya untuk melihat sosok laki-laki itu yang pagi ini hanya mengenakan kaus polos putih dan celana pendek sedikit diatas lutut berwarna gelap. Ekspresi herannya kentara sekali.
"Kenapa?"
"Aku nggak pernah lihat kamu pakai baju santai. Baru kali ini." Tangan ramping gadisnya sudah berada di atas bahu.
"Keren ya?" Dia tersenyum kecil. Tangannya sudah mendekatkan tubuh gadisnya itu pada tubuhnya sendiri.
Dara mendengus kesal. "Kamu itu nggak pernah nggak keren. Mungkin cuma pakai sarung kotak-kotak yang murah aja kamu juga keren."
Rafi tertawa. Tiba-tiba membayangkan dirinya sendiri mengenakan apa yang Dara baru sebutkan itu. "Ide bagus. Nanti aku beli terus pakai sarung aja sampai besok." Bibirnya dia dekatkan ke telinga Dara. "Nggak pakai apa-apa lagi didalamnya. Mau?"
Dalam sepersekian detik wajah Dara langsung memerah. Lagi-lagi itu membuat Rafi tertawa. Ketika bibir gadisnya itu sudah melengkung kebawah memasang ekspresi cemberut, dia membungkamnya.
"Aku nggak suka tidur di kamar terpisah. Aku mau tidur disebelah kamu." Mereka berbicara disela aktifitas mereka. "Kenapa kamar kamu kunci Sayang?"
"Nggak boleh." Senyum Dara mengembang geli. Mengingat protes Rafi semalam saat Dara meminta mereka tinggal di villa saja dengan dua kamar.
"Gimana biar boleh?" Rafi melanjutkan kuluman bibirnya sebelum berujar lagi. "Aku akan pakai apapun yang kamu minta aku pakai...atau nggak pakai. Kamu mau aku pakai sarung?"
Lagi-lagi wajah gadisnya itu memerah. Bibirnya sudah turun ke leher Dara. Kemudian dia mengangkat tubuh gadisnya ke meja counter dapur kecil itu.
"El Rafi stop." Dara terkikik geli.
"Aku stop kalau kamu nggak kunci kamar malam ini."
"Nggak akan." Dara masih sibuk meronta dan tertawa. Sama seperti laki-lakinya itu. Mereka tertawa.
***
Imran menatap laki-laki dihadapannya. Dia berusaha menutupi keterkejutannya sendiri mengenai apa-apa yang baru saja dia ketahui. Laki-laki ini, datang langsung dari Jakarta bersama dengan satu laki-laki dulu yang pernah menemuinya dan bertanya soal Dara. Ketika dulu, sedikitnya Imran curiga. Tapi berhadapan langsung dengan El Rafi seperti ini, sungguh dia mendapatkan kesan yang berbeda. Juga karena, Nathalia sudah menghubunginya.
Dia tahu dari Nathalia bahwa El Rafi adalah bukan laki-laki sembarangan. Sebenarnya tidak perlu Nathalia jelaskan Imran sudah tahu benar. Penampilan juga dari gaya bicara laki-laki ini berbeda, sopan, berkelas, tegas dan tidak bertele-tele. Sorot matanya juga memancarkan kesungguhan tentang perasaannya pada Dara. El Rafi bahkan meminta maaf padanya atas sikap dan praduganya dulu pada Imran. Sekalipun dirinya sendiri tidak bisa menyalahkan praduga Rafi sendiri. Ya, hubungannya dengan Dara memang sangat dekat. Terkadang orang bisa salah paham karena itu.
"Saya ingin sekali membantu." Imran menyeruput teh tawar hangat dihadapannya. Tenggorokannya terasa lebih kering, mungkin gugup dan khawatir memikirkan kondisi Dara saat ini.
"Saya akan sebutkan daerah-daerah yang mungkin dikunjungi oleh Dara dan akan hubungi kawan-kawan saya yang kenal dengan Dara agar pasang mata. Tapi, kamu perlu tahu sesuatu. Dara, sudah terbiasa hidup sendiri sedari dulu. Gadis itu sangat mandiri dari kecil. Bukan gadis cengeng yang ketika ditimpa kesulitan lalu akan datang pada saya untuk mengadu. Dia biasa mengatasi kesulitannya sendiri. Jadi ketika dia memutuskan untuk menghilang, maka akan sangat sulit menemukannya."
Kepala Rafi mengangguk setuju. Hatinya terasa nyeri sekali.
'Apa yang dilakukan Ayah padamu Ra? Apa? Dimana kamu sembunyi? Kenapa sembunyi dari aku? Atau apa Ayah menyembunyikan kamu?'
Imran bisa melihat jelas luka di mata Rafi. Sekalipun ekspresi laki-laki itu kaku.
"Terimakasih. Terimakasih untuk semuanya. Mohon maaf karena ini terjadi akibat perbuatan dari keluarga saya. Tapi sungguh, saya tidak ingin mencelakai Dara. Saya sungguh-sungguh mencintai dia." Rafi berdiri lalu mengulurkan tangannya.
Imran hanya tersenyum. "Dara akan baik-baik saja Raf. Jangan khawatir. Dia wanita paling kuat yang pernah saya kenal. Kamu harus mulai mengkhawatirkan dirimu sendiri. Jangan jatuh sebelum menemukan Dara." Tangannya menjabat tangan Rafi sesaat. Kemudian El Rafi berlalu pergi.
Dahi Imran mengernyit. Tiba-tiba teringat sesuatu ketika laki-laki itu sudah berlalu. Kisah Ayah dan Ibu Dara. 'Apa itu yang membuatmu pergi Ra? Karena langit itu diatas dan bumi itu dibawah? Apa mantra itu yang membuat kamu pergi?'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro