Part 43 - Purnama
Dara sudah berada di lift bersama Martha. Perempuan itu menjemputnya pukul 7. Tubuh Dara sedikit lelah karena meeting seharian penuh agar dia bisa kembali besok bersama tim kantornya. Belum lagi emosinya yang terkuras habis pagi tadi. Rafi pergi setelah berhasil menenangkan diri sejenak karena dia tiba-tiba berhenti.
"Dara." Mata tegas Martha menatapnya.
"Kamu tahu semua ini artinya apa kan? Saya yakin kamu gadis pintar dan kuat. Jadi kamu harus siap."
Jantung Dara langsung mencelos kebawah. "Apa Pak Rafi siap?"
"Kamu hanya perlu jaga baik-baik dirimu sendiri Dara. Pak Rafi bisa jaga diri dia sendiri. Ini bukan urusan main-main. Rafi itu pewaris Darusman Group. Jadi kamu juga harus kuat. Keluarganya, kolega-koleganya. Kamu harus bisa membawa diri."
Tangan Dara sudah meremas pinggiran bajunya. Lift berdenting beberapa detik kemudian. Martha mengantar Dara ke dalam ruangan.
"Rafi masih concall di ruang kerja. Silahkan tunggu dulu." Martha berujar lagi lalu masuk ke salah satu ruangan. Ya, ruangan yang beberapa hari lalu Dara pernah sambangi.
Dara duduk dengan canggungnya. Di ruang tengah yang mewah dan sangat mengintimidasi. Pandangannya beredar ke sekeliling ruangan. Ruangan ini luas sekali. Sekalipun masih ada dalam hotel yang sama. Apa ini tempat tinggal Rafi selama ini? Sebelumnya Dara memang tidak memperhatikan dengan baik, tapi saat ini dia punya waktu.
"Hai Ra." Rafi sudah keluar dari ruang kerja. Seperti biasa, dengan setelan kerjanya. Dia menghampiri Dara yang sudah berdiri dari duduknya. Mencium puncak kepalanya sesaat lalu menggandeng tangannya.
"Mau kemana?"
"Makan. Kamu nggak laper?"
"Dimana?"
"Tuh disitu." Rafi menunjuk balkon yang di luar, yang memang letaknya sedikit tersembunyi dan luput dari pandangan mata Dara.
Dia membuka pintu balkon. Area berukuran sedang ini sudah ditata rapi. Tidak berlebihan. Rafi tahu benar segala sesuatu yang berlebihan membuat Dara tidak nyaman. Ada dua kursi dan sebuah meja berukuran sedang dengan bunga segar diatasnya.
"Ini bukan soto ayam. Tapi semoga kamu suka."
"Semur jengkol?"
Tawa ringan Rafi terdengar. "Bukan. Besok-besok lagi ya semur jengkolnya." Rafi sudah menggeser bangku mempersilahkan Dara duduk. Lalu dia juga duduk dihadapan Dara.
Tiba-tiba seorang laki-laki masuk membawakan makanan dan menghidangkannya di meja.
"Terimakasih."
"Buat?"
"Semuanya. Kamu nggak perlu beliin saya gaun setiap hari. Itu berlebihan. Atau makan begini setiap malam."
Rafi tersenyum. "Tapi kamu cantik pakai gaun-gaun itu."
"Saya nggak nyaman dengan segalanya yang berlebihan."
"Okey. Sekarang, makan. Kamu tadi siang makan sedikit banget kan? Tim aku bikin susah ya?" Rafi mulai makan.
"Oh nggak kok. Cuma Pak Andre mau semuanya segera selesai, jadi kita bisa pulang besok."
"Kamu pulang lusa aja. Kan besok Sabtu juga. Kamu pulang hari Minggu jadi Senin bisa kerja lagi. Atau disini terus? Aku lebih senang lagi."
Dara tersenyum. "Bapak bos. Aku juga punya kerjaan lho. Ya nggak sepenting kamu sih."
"Jangan mulai Ra. Oke. Pulang Minggu kalau begitu. Aku akan minta Martha untuk..."
"Aku bisa urus sendiri Bapak Rafi." Dara tersenyum.
Kemudian Dara sudah sibuk dengan pikirannya sendiri. Sebenarnya dia tidak terlalu bernafsu malam ini. Tapi dia tidak mau mengecewakan Rafi. Dua puluh menit kemudian, Martha menghampiri mereka dan membisikkan sesuatu ke Rafi. Ekspresi wajah Rafi berubah drastis. Dia bahkan terlihat sedikit pucat.
"Dara, kamu tunggu dulu disini. Jangan kemana-mana. Martha, jaga Dara." Rafi berdiri lalu beranjak masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa Mba?"
"Bapak Jaya datang."
Tubuh Dara kaku. Mungkin sama kaku dan kagetnya dengan Rafi tadi. Dara hanya pernah bertemu sekali dengan Sanjaya Darusman ketika dulu dia masih jadi sekertaris Rafi. Laki-laki paruh baya itu benar-benar terlahir sebagai pemimpin. Karismanya kuat sekali, mendominasi. Wajahnya kaku, hanya tersenyum sesekali.
"Apa ada masalah?"
"Iya." Ponsel Martha berbunyi. "Kamu disini, jangan kemana-mana. Ada Bapak diluar." Martha berlalu ke dalam menghilang.
Selama beberapa menit Dara hanya duduk gelisah. Lalu ada seorang laki-laki menghampirinya.
"Mba Dara ya?"
"Oh iya Mas. Ada apa?"
"Saya diminta Pak Rafi agar Mba Dara pindah ke ruangan di dalam."
Dara hanya mengangguk. Sedikitnya dia merasa sakit hati. Dia disembunyikan seperti ini. Tapi wajarkan? Dia tidak pantas memang, jadi Rafi pasti tidak ingin siapapun tahu. Yang bisa dia lakukan adalah menurut saja. Jangan sampai Rafi lebih repot lagi karena dia.
Laki-laki itu membawa Dara ke ruangan yang berbeda. Persis disebelah ruang kerja. Ruangan berukuran sedang ini seperti perpustakaan dengan sofa panjang dan meja bundar. Juga ada televisi besar menempel didindingnya.
"Mba Dara tunggu disini. Jangan nyalakan TV."
Ada teori yang namanya psikologi terbalik. Jelas laki-laki ini ingin Dara menyalakan TV dengan cara melarangnya. Dara tidak sadar dan terjebak pada kalimat itu. Rasa penasaran membuat dia malah menyalakan TV ketika laki-laki itu menutup pintu.
Tayangan CCTV dari kamar kerja Rafi. Sudah ada Sanjaya dan Rafi berdiri disana. Seperti sedang bertengkar. Dara sedikit membesarkan volumenya agar pembicaraan mereka terdengar. Dadanya berdegup kencang.
***
Di dalam ruang kerja.
"Sejak kapan kamu makan malam? Ayah lihat ada orang dapur diatas."
"Aku sedang ada tamu."
"Nathalia?"
"Kenapa selalu Nathalia?"
"Karena Belinda kamu usir pergi."
"Ada apa Yah? Kenapa bertele-tele begini."
"Apa maksud kontrak kerjasama kamu dengan Mentari Jaya?"
"Ayah tahu pasar sedang sepi untuk lini bisnis mall kita. Nggak semua daerah bisa bertahan. Saya lihat ada kesempatan dengan gandeng perusahaan kecil itu. Mereka punya predikat bagus, penetrasi pasarnya baik. Bahkan di daerah itu pasar mereka sudah lebih dari Indo-Alfa."
"Kamu selalu pintar bicara. Kasih tahu Ayah yang sebenarnya."
"Bisnis. Itu yang sebenarnya."
Tanpa Rafi duga Sanjaya menggebrak meja. "Sampai kapan kamu mau main kucing-kucingan dengan saya?"
"Apa maksudnya?" Nada Rafi juga tinggi.
"Kamu paham benar maksud saya. Kamu benar-benar mengecewakan." Ayahnya makin murka. "Kamu mau jadikan dia gundik kamu? Yang kamu simpan saja? Begitu niatmu?"
Kali ini Rafi yang menggebrak meja. "Jangan sembarangan bicara!!"
"Lihat, sekarang bahkan kamu berani lawan saya. Kamu tahu apa akibat tindakan kamu. Silahkan, jika kamu mau mempermalukan diri kamu sendiri. Tapi, jangan bawa nama keluarga Darusman. Tinggalkan dia, sebelum ini berlarut-larut."
***
Dara mematikan TV itu sambil mengusap air matanya. Gundik? Dara memang tidak punya apa-apa kecuali harga dirinya. Tapi menjadi gundik atas dasar cinta? Apa itu sepadan? Jelas tidak. Biarkan semua orang tidak menghargainya, tapi dia tahu dirinya berharga lebih dari itu. Dara tersenyum lirih, dia tahu apa yang harus dia lakukan.
***
Rafi sudah kembali ke balkon luar dan menemukan Dara disana. Menunggunya. Gadis itu berdiri di pinggir balkon sambil menatap langit malam. Apa yang dia pikirkan? Kenapa dia tidak menghabiskan makanannya?
Tangannya sudah merengkuh Dara dari belakang. Dia butuh kekuatan setelah apa yang dia bicarakan dengan ayahnya tadi.
"Sudah selesai? Ada masalah kantor?" Dara menahan diri untuk tidak menggigit bibirnya.
"Sudah. Semua baik-baik saja." Rafi mencium puncak kepalanya. "Lihat apa?"
"Bulannya bagus. Purnama sempurna."
Rafi tersenyum makin mempererat pelukannya.
"Lihat nih, kalau tanganku begini, seolah-olah aku bisa sentuh bulannya. Padahal bulan itu tinggi banget, jauh." Dara mengangkat tangannya seolah menutup gambaran bulan itu dari tempatnya berdiri.
"Kamu nggak lagi mikirin macem-macem kan? Bulan itu bukan analogi, iya kan?" Tiba-tiba Rafi merasakan ada yang aneh dari sikap Dara.
Nafasnya dia hembuskan perlahan. "Terimakasih."
"Untuk apa?"
"Semuanya."
"Aku beneran nggak suka kamu bilang begitu. Firasatku tiba-tiba jelek."
Dara terkekeh berusaha keras menutupi apa yang sedang terjadi didadanya. Gemuruh hebat karena menahan duka.
"Aku serius Dara."
"Kamu curigaan dan katanya, suka background check."
"Kamu tahu darimana?"
"Ada lah, emang kamu doang yang punya informan."
Rafi tertawa. "Cuma ada satu orang yang nggak bisa aku background check, hasilnya nihil. Dia alien dari negri asing kayaknya. Padahal aku udah sewa detektif paling pintar."
Kali ini Dara yang tertawa. "Aku emang bakat jadi ninja. Bisa menghilang tiba-tiba. Set-set." Ya, teruslah berpura-pura Ra. Aktingmu bagus sekali.
"Aku sudah pesan tiket dan booking tempat buat besok. Martha yang urus. Jadi kamu bilang sama Pak Andre mereka bisa kembali duluan."
"Kemana?"
"Liburan."
"Aku harus kerja Raf."
"Nggak jauh, masih di Jakarta. Minggu kita kembali kesini." Rafi mengeratkan pelukkannya sambil mencium ujung kepala Dara.
Dia paham ayahnya akan tahu tentang rencananya ini. Dan itu memang maksudnya, kepergiannya kali ini adalah statement keras untuk ayahnya. Bahwa dia sudah memilih dan tidak akan mundur lagi. Setelah itu dia akan hubungi Brayuda, menyusun rencana.
"Jangan menghilang dari aku." Rafi membalik tubuh Dara hingga mereka berhadapan. Matanya menatap ke manik mata Dara. Dia cinta, sangat cinta.
Dara merasa tidak berdaya. Hatinya remuk redam melihat Rafi begini. Dia tidak ingin memaksa Rafi untuk memilih, atau meninggalkan langit dan turun ke bumi. Itu akan sangat menyakiti Rafi, itu bisa membunuhnya, seperti Ibunya dulu. Dan Dara lebih baik mati daripada melihat Rafi menderita. Jadi dia tidak bisa menjawab atau berjanji. Dia hanya tersenyum lirih sambil mengangguk, memberi tanda bahwa dia tahu sebesar apa perasaan Rafi padanya.
"Segalanya buat kamu, Daranindra." Bibir Rafi sudah tiba disana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro