Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 41 - Bersama Satria

Keesokkan siangnya tim Mentari Jaya tempat Dara bekerja sudah tiba. Meeting diadakan sore harinya. Namun kali ini Rafi tidak ikut. Masih ada dua kali meeting lagi di Jakarta yang akan dilaksanakan dalam waktu satu hari kedepan saja. Setelah itu mereka bisa kembali.

Ponselnya berdering.

"Sudah selesai meetingnya?" Suara Rafi diseberang sana.

"Barusan aja. Kok kamu nggak ada?"

"Kenapa nyariin saya? Kangen?"

"Iss nggak lah. Kamu kali."

"Iya, saya kangen. Nanti malam dinner lagi ya. Jam 7. See you." Hubungan disudahi.

Dara tersipu. Telinganya memerah. Lalu dia segera membereskan dokumen diatas meja juga laptopnya.

"Kamu kenapa Ra? Demam?" Subagyo menghampirinya.

"Oh nggak Pak. Saya nggak apa-apa."

"Dara, habis ini kita kumpul sebentar ya. Di kamar Pak Subagyo aja. Ada yang harus dibahas sebelum meeting besok." Ujar Andre. "Kamu masih sakit ya? Semalam kata Satria kamu nggak enak badan?"

"Saya sudah nggak apa-apa Pak." Dara tersenyum.

***

Martha sudah duduk dihadapan Sanjaya di kantornya.

"Jadi, ceritakan tentang Rafi."

Wajah Martha datar sekali. "Saya tidak punya ceritanya. Silahkan Bapak tanya sendiri pada Pak Rafi."

Sanjaya tersenyum. "Saya memang sudah tua. Tapi saya tidak bisa dibodohi. Saya tanya dengan kamu atau dengan Niko akan sama saja. Nathalia juga tidak mau bicara. Apa yang kalian lindungi dari saya? Ini kasus Arya Dirga lagi? Atau apa?"

Martha diam saja. "Maaf Pak."

"Kesetiaan kamu luar biasa. Itu yang saya suka." Sanjaya menatap Martha lalu menghembuskan nafasnya. "Ya sudah. Terimakasih. Tolong panggil Dani masuk."

Martha mengangguk. Lalu beranjak dari ruangan Sanjaya. Dia tahu dia tidak boleh bicara. Ini ranah pribadi bosnya. Ketika Dani orang kepercayaan Sanjaya masuk, Martha sudah mengangkat ponselnya.

"Pak, Bapak Jaya tanya saya hari ini soal Bapak." Martha menghubungi Rafi.

Rafi diam diseberang sana. Menyalahkan reaksinya sendiri yang berlebihan karena Dara. Sehingga membangkitkan kecurigaan ayahnya sementara dia belum punya rencana yang matang. Dia bodoh sekali.

Sanjaya paham benar ada yang aneh dengan Rafi anak sulungnya. Si pewaris takhta. Anaknya itu selalu begitu, tidak ingin merepotkan orangtuanya. Sama seperti kasus Arya Dirga dan Aimi dulu. Rafi akan berusaha menyelesaikan semua dengan caranya sendiri. Tapi ada sesuatu yang mengusiknya kali ini. Firasatnya bilang, ini tentang anak itu sendiri. Bukan tentang pekerjaan, atau Aimi, atau Cynthia atau bahkan Brayuda.

Sudah berbulan-bulan sebenarnya dia curiga. Apalagi sejak Rafi kembali melakukan hobi lamanya, boxing. Belum lagi pada emosinya yang tiba-tiba labil. Rafi seperti kehilangan kontrol dirinya sendiri berbulan yang lalu. Kemudian hari ini. Ekspresi wajah anaknya itu berbeda. Seperti sedang, jatuh cinta. Apa iya? Karena tadi Sanjaya sempat dengar dia berbincang di ponsel dengan entah siapa diseberang sana. Nadanya berbeda. Apa dengan Nathalia? Harusnya itu kabar baik kan? Tapi kenapa dia berahasia.

"Bapak panggil saya?" Dani sudah berdiri dihadapannya.

"Dan, tolong cek Rafi. Jangan pakai Niko. Dia sama setianya dengan Martha. Pakai yang lain."

"Baik."

***

Pertemuan dengan tim internal dan bosnya selesai pukul 5.30. Dara baru saja masuk ke dalam kamar lalu menemukan gaun sederhana yang cantik berwarna biru sepanjang lutut sudah ada di kasurnya, lengkap dengan kartu dan setangkai bunga.

- Dinner with me and is not a question. El Rafi -

Senyum Dara terbit. Lalu sedetik kemudian matanya sedih lagi. Sampai kapan mereka mau membohongi diri sendiri? Tentang hubungan mereka ini. Kenapa Rafi keras kepala sekali. Dia menggelengkan kepalanya untuk mengusir semua bayang-bayang buruk yang bisa terjadi, lalu beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap.

Pukul 7 pintunya di ketuk. Dara tersenyum tahu siapa yang ada dibalik pintu. Dia membuka pintu itu dan mendapati Satria berdiri disana.

"Loh Mas Sat?"

"Malam Ra."

"Malam." Dara tersenyum tipis. "Ada apa?"

"Saya khawatir karena kemarin kamu bilang kamu sakit, dan hari ini Ayah bilang wajah kamu merah karena demam." Satria memperhatikan penampilan Dara dan segera memujinya dalam hati.

"Oh saya sudah nggak apa-apa. Minum tolak angin, tidur terus enak-kan." Dara menggigiti bibirnya lagi sambil menjaga posisi mereka agar tetap di pintu. 'Rafi bisa ngamuk nanti.'

"Kamu lagi tunggu orang?"

"Oh ini nggak. Saya cuma mau makan dibawah."

"Makan sama saya yuk."

Ponsel Dara yang ada di dalam kamar berbunyi.

"Sebentar ya. Mas Satria tunggu di lobby aja bisa? Saya angkat telpon, ambil tas dan turun."

"Oke. Saya tunggu."

Dara menutup pintu dan segera mengangkat ponselnya.

"Ra."

"Kamu dimana? Nggak jadi kesini?"

"Maaf, kayaknya harus batal malam ini."

"Oh." Dara memendam kecewanya dalam hati. "Terimakasih gaunnya."

"Kamu cantik."

"Tahu dari mana?"

Rafi tertawa. "Kamu selalu lupa, ini hotelku Ra."

"Apa ada CCTV di kamarku? Kebangetan amat sih." Dara protes.

"CCTV di depan kamar kamu Ra. Kamu pikir aku orang nggak bener apa pasang CCTV di kamar hotel."

"Ada Satria."

"Aku tahu Ra. Bukan berarti kamu bisa jalan sama Satria. Kenapa dia malah duduk lobby sih? Bukannya langsung pulang."

"Aku laper, jadi malam ini aku jalan sama Satria ya. Kemarin nggak enak juga udah batalin tiba-tiba."

"Dara, kamu tinggal bilang mau makan apa, aku kirim ke kamar kamu. Nggak usah pake jalan sama Satria."

"Ya udah, kamu kesini dong. Temenin aku makan, baru aku batalin Satria."

Rafi diam disana. Setengahnya dia gembira karena Dara juga ingin berjumpa dengannya. Tapi sebagian lagi kesal sendiri, karena tidak bisa meluluskan permohonan sederhana itu.

"Halo?"

"Maaf, malam ini aku ada urusan. I'll make it up to you later."

"Oh oke. Aku cuma makan aja sama Satria. Serius. Bye." Hubungan disudahi.

Kata-kata Rafi hilang. Dia marah pada dirinya sendiri malam ini. Membiarkan Dara pergi dengan laki-laki itu benar-benar membuatnya menderita. Dia tahu Ayahnya sudah mulai membuntuti, dan dia belum siap untuk bicara. Belum. Jadi dia tidak boleh gegabah lagi.

"Niko. Tolong ikuti Dara."

***

"Waduh ini nggak kemahalan ya Mas, restorannya." Mereka sudah tiba di salah satu restoran di pusat kota Jakarta dan sudah duduk berhadapan.

"Biar kamu makan makanan sehat dan bergizi jadi nggak sakit lagi." Satria tersenyum lalu melanjutkan. "Jadi kalian pulang lusa ya?"

"Iya. Semoga aja lancar urusannya."

"Sebenarnya saya agak heran sih, kenapa Darusman Group tertarik sama usaha Ayah. Saya coba cek juga dan sempat ngobrol sama El Rafi Darusmannya sendiri."

Dara memperhatikan.

"Tapi visi dan misi jangka panjangnya jelas. Saya cek perjanjiannya juga nggak rugi sebelah. Jadi ya harusnya semua baik."

"Kamu kenal Pak Rafi?"

Satria tersenyum. "Nggak Ra. Lingkup pergaulannya dia sudah terlalu tinggi diatas. Keluarga konglomerat begitu. Kalau nggak salah dia masuk ke list Crazy Rich Asian."

"List apa?"

"Daftar orang-orang terkaya di Asia."

Sungguh Dara rasanya ingin tenggelam saja.

"Tapi ya begitu resikonya."

"Apa?"

"Typical orang kaya Ra. Sendirian. Dia masih bujangan kan sampai sekarang. Padahal setahun lalu pernah dijodohin sama Belinda Hadijaya."

"Kok kamu tahu?"

"Kebetulan Bela teman saya satu kampus dulu waktu ambil S2."

"Perjodohannya batal?"

"Nggak ada respon dari Darusmannya. Dulu Bela sempat cerita juga sama saya. Buat dia lebih baik batal aja perjodohan itu. Karena dia merasa nggak akan sanggup bersuamikan seorang Darusman."

"Kenapa? Bukannya Bella nya juga orang punya?"

"Keluarga Darusman itu bukan cuma punya Ra. Kan tadi saya bilang mereka masuk daftar itu. Mereka kaya dan berkuasa. Apalagi mereka dekat sekali dengan Iwan Prayogo. Jadi aman semuanya. Mana ada yang berani sama keluarga Prayogo. Bella bilang, beberapa hari sebelum dia makan malam sudah ada orang yang ngikutin dia. Keluarga Darusman memang hati-hati sekali, jadi semua biasanya di background check. Kata Bella begitu. Ya, resiko jadi orang berada. Jadi sulit percaya, gampang curiga. Itu alasannya juga Bella mundur teratur dan nggak kejar Rafi."

Dara berdehem canggung. "Prayogo, Brayuda maksudnya?"

"Iya, Brayuda Prayogo si anak semata wayang keluarga Prayogo. Pernah masuk penjara karena bunuh orang. Kalau mau aman, jangan pernah cari gara-gara sama dia di kota ini. Kamu kenal dia?"

"Nggak. Tapi dulu Pak Rafi kan mantan bos saya. Jadi saya tahu Pak Yuda dari sana."

"Dia sahabat Rafi dari kecil Ra. Sudah kayak kakak adik aja." Satria tersenyum kecil melihat ekspresi wajah Dara. "Ra udah ah, jangan tegang gitu. Saya sudah pastikan kok, kalau perjanjian bisnis Ayah baik-baik saja. Jangan khawatir Ra."

Satria berpikir Dara mengkhawatirkan ayahnya. Padahal sungguh Dara ingin tenggelam ke dasar bumi saja. Dia tidak pantas, tidak akan pernah pantas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro