Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 36 - Tidak ingin berlari lagi

"Ikut saya kalau begitu." Rafi sudah berdiri lalu berjalan didepan Dara.

Dara mengikuti laki-laki itu, dengan semua keberanian yang dia punya. Ya, dia sudah tidak mau berlari lagi. Sudah cukup, dia ingin hadapi saja Rafi setelah itu dia bisa kembali pada kehidupannya lagi.

"Kamu punya ponsel kan?"

"Punya, kenapa?"

"Pegang erat-erat. Kalau kamu tidak percaya dengan saya, atau kamu berfikir saya ingin berbuat jahat lagi. Telpon Satria. Kamu punya nomornya kan?" Rafi terus berjalan ke lift khusus untuk sampai ke kediamannya di lantai paling atas hotel ini.

"Bapak kenal Satria darimana?"

"Saya tahu semuanya Dara, semuanya. Kecuali soal kamu."

Dara bergidik ngeri. Dia baru sadar bahwa mungkin berbicara dengan Rafi adalah langkah yang salah. Tapi apa mungkin sekarang dia bisa melarikan diri? Apa dia bisa melarikan diri? Atau....apa dia mau melarikan diri?

"Ini, kita mau kemana?" Mereka sudah berada di dalam lift dengan hanya satu tombol saja.

"Kediaman saya."

"Saya..." Reflek Dara melangkah menjauh dari Rafi.

"Dara, mau di area manapun di hotel ini. Semuanya milik saya. Jadi sama saja. Lagian diatas banyak penjaga dan ada Martha, kamu lebih aman."

Dara menelan salivanya gugup. Ini pertama kalinya mantan bosnya itu mengajaknya ke tempat tinggalnya, yang ternyata di hotel. 'Dasar manusia aneh. Mana ada orang normal tinggal di hotel?'

***

Malam sebelumnya. Di kamar hotel Dara setelah Satria pulang.

Dara nelangsa sekali. Setelah pertemuan dengan Brayuda. Ada urusan apa sahabat mantan bosnya itu menemuinya tadi? Untuk apa? Apa Rafi mengutusnya? Tapi buat apa? Menyiksa Dara? Menyeret Dara agar dia bisa menderanya lagi? Harusnya Rafi tidak sejahat itu kan?

Bukan hanya tentang itu saja. Dara juga takut dengan reaksinya sendiri, atau bagaimana dia sadar sejak berbulan yang lalu bahwa dia sudah jatuh cinta, pada mantan bosnya itu. Ya, sekalipun rasanya sulit mengakui hal ini tapi dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Rafi sudah ada di hatinya. Bagaimanapun laki-laki itu menyakitinya dulu, atau pada kenyataan bahwa Rafi sudah memiliki Nathalia, Dara tetap tidak bisa membohongi apa yang dia rasa. Mungkin otaknya bisa bilang tidak dan menentang ini semua. Tapi hatinya sudah mengkhianatinya. Sementara dia juga tahu, bahwa mencintai dewa-dewa itu salah. Karena itu Dara ingin pergi saja. Berusaha melupakan semuanya. Kemudian dia kecewa, karena hari ini dia kembali berputar ke jalan yang sama. Ya Tuhan, kenapa bisa begini?

Wajah Dara sudah dia telungkupkan di bantal. Lalu dia menggenggam ponselnya. Teringat bahwa tadi Satria menyimpan nomornya sendiri di ponsel Dara dan mengaturnya pada angka nomor 1. Hanya pijit nomor 1 maka Dara akan terhubung dengan Satria. Begitu kata laki-laki itu tadi. Pria baik anak dari bosnya saat ini.

Sementara di kediaman Rafi setelah Yuda pulang.

Rafi sudah berada di tempat tidur. Gusar. Apa-apa yang sobatnya katakan masih berputar dikepala. Dara ketakutan. Gadis itu takut padanya. Ya Tuhan. Apa itu artinya Dara tidak suka padanya, membencinya? Jika begitu, apa yang dia harus lakukan? Siapa juga laki-laki tadi? Dia sudah memberikan gambar laki-laki itu pada Niko. Dan dia berharap, Niko bisa memberi tahunya sebelum pagi tiba.

Dia paham benar dia tidak mau dan tidak boleh menyakiti gadis itu lagi. Tapi bagaimana caranya untuk memulai kembali? Bagaimana cara untuk mendapatkan Dara atau membuat gadis itu membalas perasaannya?

Rafi mengerang kesal mengetahui waktunya hampir habis. Karena besok, dia harus bertemu dengan gadis itu.

***

Mereka sudah tiba diatas. Penjaga didepan pintu ingin memeriksa Dara tapi Rafi menggeleng. Mereka masuk dan menemukan Martha sedang duduk di ruang tengah.

"Pak?" Martha menatap Rafi bingung.

"Saya ada urusan dengan Dara."

Martha mengangguk ingin meninggalkan ruangan.

"Tha, jangan pergi, disini saja. Saya gunakan ruang kerja."

Mereka lalu masuk ke salah satu pintu di ruangan besar itu. Ruang kerja mewah Rafi. Mata Dara sampai pusing melihat semua kemewahan ini. Rasanya sesak. Dia tidak nyaman, ini bukan dunianya.

Rafi masih berdiri, menatap Dara. "Pintu saya nggak kunci. Kalau saya melakukan apa-apa yang saya tidak rencanakan. Kamu bisa pergi. Saya janji, saya nggak akan kejar kamu."

"Jadi mau bicara apa?" Dara menarik nafasnya perlahan. Dia bahkan tidak ingin duduk jadi mereka berbicara sambil berdiri.

"Saya, mau kamu maafkan saya. Saya keterlaluan. Sikap saya keterlaluan dengan kamu. Harusnya, saya bisa bersikap lebih baik dari itu."

"Saya serius ketika saya bilang saya sudah maafkan Bapak. Tapi...Bapak, paksa saya waktu di hotel itu." Dara menelan salivanya. Matanya terpejam sejenak. "Saya, pernah dipaksa, dulu. Dan itu, rasanya..." Dara tidak melanjutkan. Dia hanya menggelengkan kepala mengusir kenangan buruk itu.

Rafi menatap Dara sedih. Melihat gadis itu berbicara terus terang begini, membuat hatinya sakit.

"Sebenarnya, apa salah saya? Saya tidak mengerti." Ini pertanyaan lama yang menggantungi pikirannya.

Kali ini Rafi diam sesaat. "Kamu nggak salah apapun. Saya yang salah."

Dara lalu berujar lagi. Dia harus tahu tentang firasatnya belakangan ini. "Bapak tahu Satria darimana?"

"Saya tahu semuanya. Kecuali soal kamu."

"Apa Bapak kenal Ida? Teman saya?"

"Iya."

"Sejak kapan?"

"Dua bulan lalu."

Ingatan Dara melayang pada kejadian Daniel dulu. Jadi Rafi sudah tahu dia dimana sejak saat itu. "Bapak tahu saya ada dimana dari siapa?"

"Hilman."

Dara menarik nafas lagi. "Apa beasiswa itu, dari Bapak?"

"Iya."

"Biaya kos?"

"Iya."

"Bonus kerja saya?" Suara Dara bergetar. Dia merasa ini sudah keterlaluan. Dia merasa hidupnya diatur dan diambil oleh laki-laki dihadapannya ini. Apa hak dia? Dia tidak berhak.

"Iya. Sebagian karena andil saya, tapi keputusan tetap di tangan Bos kamu."

"Kerja sama Bapak dengan Pak Andre, bos saya. Apa itu karena saya?"

"Sebagian ya. Sebagian bisnis."

Tangan Dara sudah berada didadanya. Menutupi sakit hatinya. Sementara laki-laki itu berdiri dihadapanya dengan tatapan terluka. 'Kenapa dia terluka? Saya yang terluka Pak, saya. Bukan Bapak. Oh, ini benar-benar sia-sia.'

"Bapak sebentar lagi menikah, seharusnya Bapak tidak melakukan itu semua." Ya, akhirnya dia mengatakannya. Dia harus menyadarkan laki-laki ini bahwa dia sudah punya Nathalia. Hatinya nyeri sekali. Inilah hukuman karena berani jatuh cinta dengan dewa-dewa.

Dahi Rafi mengernyit tidak mengerti.

"Sepertinya, sudah cukup bicaranya. Saya sudah maafkan Bapak, saya sudah tahu apa yang saya mau tahu. Jadi tolong, jangan temui saya lagi dan berhenti campuri hidup saya." Suara Dara masih bergetar. Tangannya menghapus air matanya.

"Dara, tunggu dulu." Tangan Rafi sudah menarik lengan Dara. "Kamu lupa satu pertanyaan lagi. Mereka sudah berada dekat sekali dengan pintu.

"Sudah cukup saya bertanya." Tubuh Dara menghadap Rafi, tapi Matanya hanya memandang lurus. Tidak ingin menatap laki-laki itu.

"Tanya kenapa. Tanya ke saya kenapa saya lakukan itu semua. Tanya saya Dara!!" Mata Rafi mencari mata gadis itu. Dia harus bicara. Kegilaan ini harus dihentikan. Sekalipun untuk pertama kalinya, ini diluar rencana dan dia tidak tahu kemana ini akan membawanya.

Dara menggeleng, dia bukan wanita bodoh yang tidak mengerti alasan dari semua yang Rafi lakukan padanya. Sekalipun dia masih tidak percaya, tapi buat apa dikonfirmasi. Karena apapun penjelasannya, akan berujung hal yang sama. Sia-sia.

"Pertanyaan itu, akan membuat semuanya berantakan. Terimakasih Pak." Dara berbalik badan dan membuka pintu. Pintu itu kembali tertutup. Karena tangan Rafi dari belakang tubuhnya menahannya.

"Saya..." Rafi menelan salivanya sambil memejamkan mata. "Jatuh cinta sama kamu Ra. Itu alasannya." Hembusan nafas Rafi keluar perlahan. Dia sudah mengatakannya. Saat ini dadanya bertalu-talu. Campuran rasa bersalah, sedih, terluka, gugup mengaduk-aduk perutnya.

Tangan Dara menggenggam handle pintu makin erat. Kepalanya menggeleng, tangisnya pecah. Ini tidak nyata, ini tidak begini, ini salah, Rafi sudah gila.

"Itu, tidak merubah apapun. Sama sekali, tidak merubah apapun. Maaf."

"Tolong, jangan pergi. Saya nggak suka sendiri." Nafas Rafi sudah berhembus dibelakang kepala Dara. Dekat sekali.

Sungguh rasanya seperti diiris tipis, perlahan. Dengan pisau yang kurang tajam. Jadi perihnya, luar biasa. Dara masih menangis. Menangisi hidupnya, nasibnya, nasib cinta pertamanya.

"Saya cinta sama kamu Dara, saya cinta sama kamu. Maafin saya." Lalu Rafi merengkuh Dara perlahan. Perlahan sekali. Mendekap gadis itu dari belakang. Mencium puncak kepalanya, rambutnya. Menahan bahunya yang masih berguncang.

Beberapa saat, waktu seperti berhenti. Tubuh Dara masih dipelukan Rafi, diam, tidak bergerak. Hanya bahunya saja yang berguncang, tanda tangisnya belum reda. Yang paling menyakiti hatinya adalah, mengetahui bahwa dia ingin sekali terus begini. Tapi dia tidak bisa.

Dara tahu ini sudah saatnya bangun dari mimpi. Mimpi indah yang tidak akan pernah jadi kenyataan. Jadi dia melakukan apa yang harus dia lakukan.

"Maaf Pak. Saya tidak bisa." Dara melepaskan diri. "Tolong lanjutkan kerjasama Bapak dengan bos saya tanpa saya. Tolong, jangan temui saya lagi." Dara menutup satu mulutnya dengan tangan. "Semoga Bapak berbahagia dengan Mba Nathalia."

"Dara... saya nggak..."

Dara sudah berlari. Lagi-lagi dia berlari, pergi.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro