Part 34 - Monster
Pintu apartemennya diketuk malam-malam. Ayahnya sudah ada di kamar, sementara dia sendiri sedang mencuci piring bekas makan malam bersama tadi. Jadi ibunya yang membukakan pintu.
"Loh Dara? Masuk-masuk. Ada apa kamu gemetaran begini?" Winda langsung merangkul bahu Dara. Wajah gadis itu pucat sekali.
"Maaf Ibu saya ganggu malam-malam. Maaf." Mata gadis itu kosong. Seperti sedang memikirkan sesuatu. "Saya nggak punya saudara dan nggak tahu harus kemana." Dara benar. Pergi ke panti juga bukan pilihan.
"Ya ampun Dara. Sat, tolong buatkan teh Sat." Winda bisa melihat dengan jelas ketakutan Dara. Bahu gadis itu juga gemetar.
"Iya." Satria menyahut dari dapur tergesa membereskan apa yang sedang dia kerjakan.
Dara sudah duduk di sofa ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang tamu. Teh sudah ada di meja dan Ibunya sudah merangkul gadis itu yang wajahnya masih pucat. Dara bahkan lebih kelihatan ketakutan daripada di pesawat tadi, begitu pikir Satria.
"Dara, kamu kenapa?" Winda bertanya lagi.
"Saya..." Dara bingung bagaimana menjelaskannya. "Saya bertemu dengan orang..." Dara menelan salivanya. "..jahat."
"Orang jahat gimana? Kamu di hotel kan?" Satria bertanya cemas. "Dia mau jahatin kamu?"
"Dulu, dia pernah jahatin saya." Mata Dara masih menerawang jauh. Pusaran ingatan tentang apa yang terjadi dulu kembali lagi. Menghantamnya telak. Bagaimana dia dihina, direndahkan, dipermalukan karena kejadian di kamar mandi, lalu dilecehkan karena ciuman itu. Tapi apa itu pelecehan jika Dara sendiri sampai saat ini masih membayangkannya dan menginginkannya lagi. Kesadarannya akan hal itu membuat dia bergidik sendiri. Dara sudah gila, benar-benar gila dan sedang kalut saat ini.
"Kok bisa ada di hotel?" Winda berujar panik.
"Mungkin salah satu tamu Bun." Sahut Satria.
Lalu Dara seperti tersadar dari lamunannya sendiri. "Maaf saya nggak mau merepotkan. Baiknya saya kembali lagi ke hotel. Maaf saya sudah bikin susah Ibu dan Mas Satria."
"Ya ampun Dara, kok gitu ngomongnya. Sudah kamu jangan balik dulu ke hotel itu. Saya juga jadi takut. Kamu anak gadis, cantik begini lagi. Kamu disini dulu sama kita."
"Jangan Bu. Saya nggak mau merepotkan. Besok saja saya pindah hotel. Meetingnya cuma dua hari kan?"
Winda melihat Satria cemas. Tapi dia juga tahu kamar apartemen anaknya hanya ada dua. Dara mau tidur dimana?
"Kamu disini dulu Ra, malam ini. Okey?"
"Jangan Mas." Tiba-tiba dia menyesali keputusannya saat dia kalut tadi. Sungguh keberadaan sahabat mantan bosnya itu atau mungkin bosnya sendiri di area yang sama tapi tak kasat mata membuat dia sangat cemas hingga dia bereaksi berlebihan begini.
Dara sudah berdiri. Bersikukuh ingin kembali. Sangat tidak sopan rasanya mengetahui bahwa dia sudah merepotkan begini pada keluarga bosnya. "Saya balik aja ke hotel."
"Nanti kalau kamu ketemu lagi orang itu gimana Ra?"
"Dia hanya makan malam saja. Sepertinya nggak menginap disitu Bu. Dan tadi saya tidak langsung tatap muka, hanya melihat dari jauh." Dara berbohong. "Maaf sekali lagi, saya hanya, panik tadi." Dia mulai menggigiti bibirnya cemas.
"Okey, saya antar kalau begitu."
Winda langsung mengangguk setuju, "Antar sampai kamarnya ya Sat. Pastikan Dara kunci pintunya. Bunda nggak tenang jadinya."
Satria mengangguk setuju lalu mengambil kunci kendaraan di kamarnya.
***
"Jadi ini alasan sebenarnya kamu enggan ke Jakarta?" Mereka sudah di dalam mobil Satria menuju hotel.
Dara hanya menunduk.
"Apa separah itu Ra?" Satria melirik Dara disebelahnya.
Dara masih diam. Satu tangannya sudah menggenggam pinggiran baju, khas Dara ketika dia sedang cemas. Ini tidak luput dari penglihatan Satria disebelahnya. Lalu mata gadis itu menoleh keluar. "Mungkin, saya hanya nggak cocok dengan kota ini Mas."
Satria lalu diam. Kesan yang didapatnya saat di pesawat tadi Dara adalah seorang perempuan yang kuat, tegar dan juga sedikit keras kepala. Jadi tebakannya, apa yang dulu terjadi benar-benar melukai Dara.
***
Ketika Yuda masuk di kediamannya Rafi langsung merangsek maju mencengkram leher Yuda dan mendorongnya ke tembok.
"You make a wrong move. Kenapa ganggu Dara?" Rafi benar-benar murka.
"You didn't make a move Raf. Mau sampai kapan lo jadi pengagum rahasia? Kayak orang pengecut dan bodoh aja."
"I have my plan dan lo rusak itu. Tahu??" Rafi belum melepaskan Yuda. Nafasnya masih memburu, dia berusaha meredam emosinya.
"Rencana lo selalu kelamaan Raf. Sementara semakin lama lo semakin tersiksa dan akhirnya bikin semua orang disekeliling lo jadi kena akibatnya."
"Dan apa yang lo lakuin tadi bisa bikin Dara pergi dari gue. Paham?? Dia bisa menghilang lagi." Bayangan tentang itu semua membuat satu tangan Rafi yang tidak mencengkram leher Yuda langsung mendarat ke dinding kosong disebelah telinga sahabatnya itu.
"Lihat, lo mulai sakitin diri lo sendiri lagi." Yuda mendorong Rafi perlahan. "Mau pukul gue? Silahkan. Gue nggak akan bales."
Rafi melepaskan cengkramannya pada Yuda. Lalu mereka berdiri berhadapan. Yuda menghela nafasnya berat.
"Gue beneran kaget. Ternyata waktu lo jatuh cinta pertama kalinya, lo berubah jadi menyeramkan. Apalagi dengar cerita dari Nathalia. Raf, gue salah. Gue nggak ada buat lo saat itu. Saat lo butuh gue. Tapi sekarang gue disini. Gue nggak akan biarin lo berubah jadi seseorang yang nggak gue kenal lagi."
Rafi diam saja. Matanya masih marah, juga terluka mengingat apa yang dirinya sendiri buat pada Dara.
"Lo selama ini selalu diam. Nggak pernah bicara. Bahkan ke Aimi, atau Cynthia. Kita semua bingung dan nggak sangka ternyata semua perilaku lo itu karena lo jatuh cinta. Kenapa sih Raf harus begini? Kenapa? Apa yang lo takutkan? Cerita sama gue Raf. Itu kan gunanya teman."
Rafi mendengus kesal. "Cerita? Kayak lo cerita tentang rencana bunuh diri konyol lo itu ke gue?" Dia menyindir Yuda.
"Paling nggak gue hadapi masalahnya Raf. Paling nggak gue nggak malu ngaku kalau gue jatuh cinta sama Reyna. Atau gue ngaku dosa gue dulu ke Reyna. Gue nggak lari dan sembunyi kayak lo. Gue lakuin apa yang gue mau, gue jatuh, sejatuh-jatuhnya dan selamanya gue nggak akan nyesal karena gue sudah coba. Dan gue, nggak pernah menyakiti Reyna. Lebih baik gue mati daripada gue sakitin dia."
"Ini lo malah menutupi perasaan lo sendiri dengan apa? Siksa Dara kemarin-kemarin? Paksa dia di ruangan staff hotel? Hina dina dia karena dia datang dari keluarga miskin? Dia bahkan bukan siapa-siapa? Jadi ego lo terluka. Iya kan? Terluka karena gengsi lo yang setinggi gunung itu yang seolah bilang, lo nggak boleh jatuh cinta apalagi sama orang rendahan kayak Dara. Apa kata orang nanti? Apa kata Ayah Sanjaya? Apa kata Mami? Apa kata Aimi? Iya kan?"
Bhuaakkk!! Pukulan sudah mendarat di pipi kanan Yuda.
Yuda terkekeh sambil meludahkan sedikit darah. "Terus Raf, pukul gue lagi. Karena lo tahu apa yang gue bilang benar. Gue tahu gue benar."
"Lo nggak tahu apa-apa!!"
"Salah!! Gue tahu lo. Area sekertaris lo ganti. Nah, gue baru inget, kamar mandi kantor lo juga. Apa itu juga salah satu tempat lo pernah melecehkan Dara? Sampai dia ketaku..."
Bhuaakkk!! Satu pukulan lagi. "Stop. Tolong stop." Rafi jatuh berlutut kebawah memegang dadanya.
Yuda menarik nafas panjang. Sahabatnya ini memang harus disadarkan. Untuk memastikan dia tidak berbuat gila lagi pada gadis yang dia cinta pertama kali.
"Raf, maafin gue." Yuda juga sudah berlutut menepuk pundak Rafi perlahan.
"Gue, monster Yud. Lo benar." Rafi terkekeh miris tidak percaya dia bisa setuju dengan Brayuda si gila itu. "Buat dia, gue monster." Lalu kedua tangannya menutupi wajahnya perlahan.
"Sudah Raf. Fokus saja dengan memperbaiki semuanya. Dan..." Yuda diam sejenak sebelum melanjutkan. "...lo harus siap kalau Dara ternyata nggak membalas perasaan lo. Jangan sakitin dia Raf. Jangan paksa dia untuk cinta sama lo. Nantinya lo akan menyesal, percaya sama gue."
"Pak, maaf." Pintu ruang kerjanya diketuk. "Gadis itu sudah di hotel."
Rafi bangkit berdiri mendekati layar televisi besar di ruang kerjanya. "Sambungkan dengan CCTV."
Lalu disanalah dia. Gadis itu berjalan beriringan dengan seorang laki-laki. Mata Rafi mengawasi keduanya. Siapa dia? Rafi tidak tahu. Tapi sepertinya laki-laki ini orang terpelajar dan berada. Wajahnya ramah, tubuhnya tinggi. Laki-laki itu bahkan mengantarkan Dara sampai ke kamar hotelnya. Lalu masuk dan mengecek kamar Dara. Apa yang Dara ceritakan pada laki-laki itu? Mungkin Dara bercerita, tadi dia hampir bertemu dengan monster.
Yuda mengamati perubahan ekspresi Rafi. Kasus jatuh cinta Rafi ternyata lebih merepotkan daripada yang dia kira. Dan lihat Rafi sekarang, matanya sudah berapi-api. Cemburu melihat siapapun laki-laki itu. Khas sekali. Sama seperti dirinya sendiri. Tapi ini Rafi. Manusia yang dulu selalu tenang, penuh rencana matang dan penuh perhitungan, jarang sekali lepas kendali apalagi menunjukkan dengan gamblang emosinya seperti ini. Yuda tahu, dia harus segera memadamkan api itu. Sebelum itu membakar Dara lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro