Part 30 - Melarikan diri
Berbulan-bulan kemudian.
Dara terbangun dari tidurnya. Dia gelisah sekali. Entah kenapa mimpi-mimpi itu selalu datang, mengganggunya berminggu-minggu ini. Teman dekatnya Ida masih tidur lelap di kasur sebelah, jadi dia merebahkan tubuhnya lagi.
Lalu bayangan itu berputar. Berulang-ulang. Tentang bagaimana laki-laki itu tertawa, atau kesal, atau ciumannya dengan Nathalia, atau hinaan dan caciannya. Lalu insiden di kamar mandi, dan yang terakhir...itu. Ciuman itu. Satu tangan Dara akan selalu menyentuh bibirnya sendiri, sementara tangan yang lain meremas perutnya. Matanya akan terpejam, menahan tangis.
Dia takut, dia sakit hati, dia malu, dia merasa bersalah pada Nathalia. Lalu...dia merasa terhina, seperti dulu saat mantan majikannya memaksanya untuk melakukan hal yang hina. Tapi, jauh di dasar hatinya, dia...rindu.
***
"Ra, jalan yuk." Daniel sudah berjalan bersisian dengannya.
"Sorry nggak bisa, saya kerja."
"Kerja mulu Ra. Nggak asyik nih."
Dara tidak menghiraukan laki-laki yang empat tahun lebih muda darinya itu. Sampai akhirnya Daniel berhenti melangkah.
Kawan-kawan Daniel langsung meledeknya. "Udah si Niel, dia itu udah tua kali. Emang beda seleranya sama kita. Lagian kenapa sih penasaran banget sama Dara?"
Daniel menggendikkan bahunya sambil masih memperhatikan Dara yang berjalan menjauh. "Dia, menarik. Itu aja."
Lalu hari-hari berikutnya, Daniel masih dengan gigih mengejar Dara. Mengikutinya kemanapun dia pergi. Sampai gadis itu risih sendiri.
"Nih, sepuluh halaman. 150-160. Dihafalin, biar nggak salah nanti jawabnya." Dara menyerahkan buku itu pada Ida kawannya.
"Waaahhh, terimakasih kakak Dara. Asyik banget punya teman pinter." Setengahnya Ida meledek Dara sambil menerima buku pemberiannya. Teman satu kamarnya itu memang usianya lebih tua. Sekalipun sebenarnya Ida tidak pernah merasa seperti itu, tapi terkadang dia suka meledek Dara.
"Sembarangan aja, Kakak. Gue adik lo Da. Jangan lupa." Dara terkekeh ringan sambil melihat Ida pergi melalui pintu.
Musim liburan sebentar lagi tiba, yang artinya, kerja-kerja-kerja. Kayaknya dia cocok jadi mentri Pak Presiden, karena dia punya slogan hidup yang sama. Dara harus memastikan dia mendapatkan pekerjaan yang layak di liburan kali ini. Karena dia belum mendapatkan pengumuman nilai semesternya. Jadi belum ada jaminan semester depan dia mendapatkan keringanan beasiswa lagi. Ya, beasiswa yang didapatnya benar-benar dengan susah payah dia harus pertahankan. Semua harus minimal A tanpa pengulangan di semester pendek. Jadi, seperti biasa dia harus punya rencana cadangan. Hidup tidak pasti kan?
"Ra, selesai jam berapa hari ini?" Dara masih membereskan rak kue kering yang tadi berantakan. Sudah ada Daniel disebelahnya.
"Malam, sampai tutup Niel." Sungguh Dara mulai lelah menolak Daniel. 'Kenapa seolah dia malah tambah semangat kalau gue tolak?'
"Besok?" Daniel malah membantu Dara merapihkan rak itu.
"Daniel, ya Tuhan. Gue lagi kerja ini."
Daniel masih membuntutinya. "Ra, lo nggak capek apa nolak gue?"
"Niel, lo nggak capek apa gue tolak? Masih banyak cewek yang mau sama lo Niel. Lagian kita nggak seumuran, gue udah tua." Sekalipun dia tidak suka tapi dia harus menggunakan jurus ini.
"Ra, gini deh. Satu kaliiii aja, satu kaliiii aja kita jalan. Please. After that you can runaway from me." If you can. Lanjut Daniel dalam hati.
"No."
"Ya udah gue bakalan gangguin lo terus-terusan."
"Lusa jam 2 sore disini."
Senyum Daniel langsung lebar.
"Dengan satu syarat. Setelah itu, lo nggak boleh ganggu gue lagi. Sana urusin fans-fans lo aja. Oke?"
"Sip." I just need one time with you Ra.
***
"Ra, hati-hati. Daniel itu nakal." Ida memperingati.
"Iya. Tenang aja. Dia Cuma penasaran, nggak akan serius sama gue yang udah tua begini." Dara tersenyum pada Ida sambil mengambil ranselnya.
Beberapa menit kemudian dia sudah berada di dalam mobil Daniel. Dara mengakui, sebenarnya Daniel adalah sosok yang enak diajak berbicara. Sekalipun pembicaraannya memang bukan tentang hal-hal dewasa. Tapi Daniel pintar melucu. Dia sukses membuat Dara banyak tertawa.
Wajah Dara benar-benar tidak membosankan ditatap dari samping begini. Kalau dari depan, warna matanya membuat Daniel selalu menahan nafasnya sendiri. Ya ampun Dara, kemana aja kamu selama ini.
Mereka sudah berada di salah satu mall berjalan beriringan. SIkap Daniel masih sopan dan dia berbicara banyak. Itu bagus, karena Dara sendiri tidak mengerti apa yang harus dibicarakan dengan cowok seusia dia.
"Ra, nonton ya. Gue beli tiket dulu. Lo tunggu sini." Daniel sudah berlari masuk ke dalam bioskop tanpa memperdulikan protes Dara.
Entah kenapa Dara merasa sedikit aneh, seperti ada yang mengikutinya sedari tadi. Tapi dia tidak melihat siapapun yang mencurigakan. Oh, mungkin ini hanya dugaannya saja karena terlalu berhati-hati dengan Daniel sendiri. Tiba-tiba tangannya digandeng. Dia mendongak dan Daniel meringis konyol.
Dara hanya menghela nafasnya. "Nggak usah pegang-pegang adik kecil." Dara menampik tangan Daniel sambil tertawa kecil.
"Empat tahun lagi, umur gue bakalan sama kayak lo."
"Empat tahun lagi, umur gue tetap akan lebih tua dari lo."
"Males deh, dibahas terus." Daniel bersikukuh mengambil tangan Dara lagi dan menariknya masuk ke bioskop.
Didalam bioskop. Daniel selalu mencoba menggenggam tangan Dara. Sementara Dara bersikukuh tidak mau digenggam. Puncaknya tangan Daniel berusaha merangkul tubuh Dara mendekat. Dara geleng-geleng kepala kesal lalu dia berdiri. Sudah cukup.
"Ra, mau kemana? Filmnya belum selesai." Daniel berbisik lalu mengejar Dara.
Dara segera pergi tidak menghiraukan Daniel di belakangnya. Mereka sudah keluar dari bioskop lalu tangan Daniel menarik lengan Dara.
"Dara, kenapa sih jual mahal banget?"
'Apa?? Ketahuan juga belangnya nih anak.' Ujar Dara dalam hati. "Saya mau pulang, terimakasih Daniel." Langkah Dara panjang dan mantap meninggalkan Daniel dibelakang sana.
"Gue anter, okey, gue anter. Maafin gue." Daniel sudah mensejajari langkah Dara.
"Terimakasih tidak perlu."
"Dara ayolah. Iya gue salah."
Langkah Dara berhenti. "Satu kali jalan dan lupakan saya. Itu perjanjiannya."
"Ini cuma setengah karena lo nggak mau gue antar pulang."
Dara menghela nafas berat dan akhirnya menuruti Daniel.
Di area parkir. Daniel membuka pintu belakang mobilnya. Tubuh Daniel sudah berada di belakang Dara. Ini tidak beres. Dara berusaha mendorong tubuh Daniel menjauh darinya tapi percuma. Tubuhnya sendiri sudah masuk ke kursi belakang mobil karena di dorong Daniel keras dan pintunya sudah tertutup. Dara membuka kunci pintu dan berusaha keluar sementara Daniel masih berputar ke sisi mobil sebelahnya. Nihil, tidak bisa. Dara langsung berusaha keluar dari bagian depan mobil sementara Daniel sudah masuk di belakang dan menarik kaki dan tubuhnya.
"Kenapa lo bikin semua jadi susah sih Ra?"
"Dasar gila!! Daniel, lepasin nggak?
"Ya, nggak lah."
Dara terus memberontak. Tangan Daniel berusaha menangkap tubuh Dara yang masih bergerak-gerak. Ini makin seru. Daniel sudah menyusun semua rencana ini. Makan, jalan, nonton film, parkir di tempat yang lebih sepi, kaca mobil gelap dan fitur child lock di pintu mobilnya, sehingga Dara tidak bisa lari. Hebat kan? Tapi gadis ini pintar juga karena sekarang setengah tubuhnya sudah berada di bagian tengah mobil, berusaha keluar dari depan.
Ketika pergumulan itu makin seru, pintu mobil dibuka. Daniel ditarik paksa keluar dari pintu belakang oleh entah siapa. Dara langsung menghambur keluar juga. Melihat ada salah satu security mall yang mungkin sedang berjaga sedang mencengkram baju Daniel kuat. Sementara yang satunya sudah menahan tangan Daniel dibelakang.
"Nggak apa-apa Mba?"
"Nggak apa-apa. Laki-laki ini kurang ajar Pak."
"Begundal ini memang mesti dikasih pelajaran Mba. Ayo ke kantor dulu Mba. Buat laporan."
Daniel sudah menyumpah serapah kedua security itu. Menyebutkan nama kedua orangtuanya yang katanya bisa membeli mall itu kalau dia mau. Dara membetulkan letak kausnya, juga rambutnya yang berantakan. Dia kesal dan marah sekali. Takut? Sedikit. Tapi dia yakin harusnya dia tadi bisa meloloskan diri. 'Jadi benar kata Ida. Daniel benar-benar tidak punya aturan.'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro