Part 29 - Bukan Cinderella
Dia berusaha berjalan setenang mungkin, menembus keramaian tamu. Dia berhenti beberapa kali karena harus berbasa-basi dengan kolega-koleganya. Matanya sudah menyapu ke seluruh ruangan, berusaha mencari. Kenapa tadi dia tidak bertanya pada Lana tentang warna baju Dara. 'Stupid.'
"Jacob is not coming today Raf?" Adrien bertanya padanya. "Raf? What are you looking for?" Mata Rafi memang masih berkeliling ruangan, tidak menatap Adrien.
"Sorry Adrien, excuse me for a while." Dia tersenyum lalu berlalu sopan.
Entah kenapa dia mulai merasa gugup, apa yang akan dia lakukan jika dia benar-benar bertemu Dara? Apa? Minta maaf? Atau apa? Kakinya sudah melangkah untuk mengambil minuman di salah satu meja. Lalu tangannya bersentuhan dengan tangan gadis lain yang juga ingin mengambil gelas yang sama.
"Maaf." Gadis itu berkata. Tangan gadis itu beralih ke gelas yang lain.
Suara itu membuat Rafi membeku. Dia menoleh perlahan, mulutnya bungkam. Untuk pertama kalinya dia kehilangan kata-kata.
"Hai Pak." Dara tersenyum. Hari itu dia dipaksa Nathalia untuk berdandan dengan berbagai ancaman dan bujukan. Akhirnya dia menyerah pada keinginan salah satu mantan bosnya itu dan juga karena Hilman sama memaksanya. Jadi dia kalah suara.
Semua yang dia pakai adalah pemberian Nathalia dan Hilman, dia hanya menurut saja. Toh ini hanya sebentar saja kan? Anggap saja seperti pergi ke pesta Cinderella yang akan berakhir cepat dan dia juga akan memastikan bahwa tidak ada sepatu kaca yang tertinggal dibelakang sana. Karena dia bukan Cinderella, hanya tikusnya saja.
Gadis itu berdiri dengan dandanan sempurna dihadapannya. Tersenyum kecil seolah tidak ada apa-apa. Seolah tadi dia hanya pergi ke toilet saja. Bukan menghilang berbulan-bulan hingga membuat Rafi gila. Dia Dara kan? Dara yang sama?
Rafi hanya diam terpaku. Jika semua orang berkata dia adalah negosiator ulung dan tidak pernah gugup di kesempatan apapun, mereka salah, salah besar. Karena kenyataannya dia hanya diam saja saat ini, menatap gadis dihadapannya ini.
Warna mata Dara berkali lipat lebih mempesona karena make up sederhana yang dia kenakan. Rambutnya ditata sederhana, tidak berlebihan. Dan gaun yang Dara kenakan, ya Tuhan, bahunya terlihat begitu ramping. Lalu ingatan pada apa yang terjadi di kamar mandi dulu berputar lagi. 'Sh*t'
"Apa kabar Pak?" Dara berujar lagi.
Rafi berdehem canggung. "Baik. Kamu?"
"Saya baik. Selamat untuk Mba Aimi Pak." Dara berdiri menggenggam gelas ditangannya.
'What should I do? What do I want? What??' Rafi frustasi sendiri.
"Oh ya, terimakasih." Rafi diam lagi. "Kamu kesini dengan?"
"Rafi, congratulation. Saya cari-cari kamu di VIP room, kamu malah berkeliaran disini." Wishnu Pratama sang menteri pariwisata menyapanya.
Rafi tahu tamu yang satu ini harus dia layani. Lalu wajahnya berbalik menghadap salah satu temannya itu. Mereka berbincang sejenak. Mata Rafi melirik beberapa kali dan gadis itu sudah tidak disana. Secara halus Rafi mengarahkan Wishnu ke ruang VIP untuk bertemu ayahnya. Jadi dia bisa kembali mencari gadis itu.
Setelah selesai berbasa-basi dengan tamu-tamu di area VIP, Rafi menyelinap keluar lagi. Dia sudah meminta Martha untuk memanggilnya jika memang Ayah membutuhkannya. Tapi dia harus mencari Dara, harus.
'Kemana dia? Kenapa jumlah tamu sebanyak ini?' Rafi menggerutu kesal karena yang dia cari belum dia temukan.
"Raf, nyari siapa?" Yuda berpapasan dengan Rafi ketika dia ingin menghampiri Reyna.
"Bukan siapa-siapa." Rafi sudah meninggalkan Yuda.
Sementara dari kejauhan Nathalia dan Hilman berdiri di pinggir ruangan, melihat kegelisahan teman mereka itu.
"Confirm?" Hilman bertanya pada Nat.
"Confirm. Tapi kenapa reaksinya begitu ya? I don't get it Man." Nat menghela nafasnya. "Dia kejam begitu sama cewek yang dia suka? Why?"
"This is the first time buat dia Nat. Dan ingat, teman kita itu Darusman. Dengan semua tata aturan kaku since he was born. Rafi terlalu biasa tidak menggunakan hatinya, semua hanya bisnis, taktik, strategi, negosiasi. He do what he need to do, not what he wants to do. Itulah El Rafi."
Hilman menghela nafasnya lalu berujar lagi. "Kita beruntung hidup kita nggak gitu-gitu banget Nat. Mungkin...dia bingung sekarang. Harus bagaimana? Harus bersikap seperti apa? Kalaupun dia tahu apa yang dia mau, apa boleh dia begitu? Bagaimana pendapat orang? Keluarganya? Dia terlalu banyak menimbang, terlalu banyak berpikir dan selalu mengira bahwa beban itu seluruhnya ada di pundaknya. Life is tough for him because he's the crown prince right?"
Nat menoleh pada Hilman sedikit terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. "Damn, you're good." Nat mengangkat gelasnya untuk Hilman. "Nggak nyangka lo ternyata kerja sambilan jadi psikolog nya Rafi."
Hilman hanya tertawa kecil. "Jadi? What's next?"
"I don't know. Maybe now, we let our dear friends to decide by himself and hope for the best for sure." Nat berujar sambil menghela nafasnya. Dia berdoa semoga kali ini Rafi bisa mengambil keputusan yang tepat dan tidak mengacau lagi. Atau, Dara bisa pergi lagi.
Hilman mengangguk mengerti. Sudah selesai tugas mereka untuk saat ini. "Daranya mana?"
"Gue cari dulu, habis itu gue antar dia ke airport. Silahkan lanjutkan dengan Nadya. See you tomorrow Man."
***
"Ra, aku tunggu diparkiran ya. Biar nggak telat ke airport, macet. Udah salaman kan sama Aimi?"
"Sudah mba. Okey, 15 menit ya, aku ke toilet dulu, ganti baju. Nggak mungkin aku pake gaun kayak Cinderella gini ke airport." Dara terkekeh sambil masih berjalan kearah luar ruangan.
"Udah ganti di mobil aja. Aku tunggu ya."
"Okey." Hubungan ponsel disudahi. Lalu pundaknya disentuh seseorang, Dara berbalik terlalu cepat hingga dia hampir jatuh. Dan tangan itu menahannya.
"Maaf, saya bikin kamu kaget."
"Oh, nggak apa-apa." Wajah Dara menatap laki-laki itu dan benar-benar tidak mengira lagi-lagi dia bertemu mantan bosnya. "Saya nggak apa-apa Pak." Tangan Dara melepaskan genggaman tangan Rafi sopan.
"Terimakasih, pestanya bagus sekali. Saya pamit dulu." Dara melangkah pergi. Kali ini Rafi terus mengikutinya.
"Dara, berhenti dulu. Saya ingin bicara."
"Tentang?"
"Berhenti dulu." Tangan Rafi sudah menahan lengan Dara.
"Maaf, saya bukan pegawai Bapak lagi." Tangan Dara berusaha melepaskan genggaman tangan Rafi sambil tidak berhenti melangkah. Ingatan tentang bagaimana Rafi menghinanya dulu, atau adegan Rafi dan Nat yang dia lihat waktu itu kembali berputar. Dara sangat menghormati Nathalia, dan paham benar besar kemungkinan keduanya berhubungan. Jadi dia tidak mengerti apa yang mantan bosnya lakukan saat ini. Bagaimana jika Nathalia melihat dan dia salah paham? Belum apa-apa Dara sudah merasa bersalah. Belum lagi dia sadar benar siapa dirinya dan siapa Rafi, mantan bosnya itu. Semuanya tidak akan mungkin. Terlalu jauh. Langit itu di atas, bumi itu dibawah, Dara merapal mantra.
Rafi masih berjalan di sisi Dara. Langkahnya berhenti karena Dara sudah masuk ke dalam toilet perempuan. Lalu dia memutuskan untuk menunggunya diluar. Setelah beberapa saat Dara keluar dan sudah mengganti pakaiannya dengan jins, kaus dan sepatu kets nya. Make upnya belum dia sempat hapus.
Kali ini, Rafi membiarkan kerja hatinya yang memimpin. Tangannya sudah menarik lengan Dara dan tidak memperdulikan protes gadis itu. Dia mencari ruangan staff terdekat yang kosong, atau dia yang akan membuat ruangan itu kosong. Benar saja, setelah meminta dua orang staff pergi dari ruangan dia menutup pintu dan berdiri menghadap Dara.
Dara berusaha menelan salivanya gugup. Keberadaan Rafi benar-benar mengintimidasinya, membuat seluruh alarm berbunyi. Alarm tanda bahaya. Bahaya apa? Semua jenis bahaya. Hatinya, perasaannya, hubungan baiknya dengan Nathalia, semua dipertaruhkan.
"Saya nggak paham Bapak kenapa? Semua peralatan kantor sudah saya kembalikan. Data-data juga sudah saya simpan seperti yang dianjurkan Mba Martha. Jadi harusnya semua baik-baik saja."
"Siapa bilang?"
Dara mengernyitnya dahinya. "Apa ada masalah setelah itu?"
Rafi mendengus antara kesal dan putus asa. "Banyak, kamu meninggalkan banyak masalah. Sampai-sampai saya harus merombak toilet VIP saya, atau mendekor ulang area sekertaris yang kamu tempati. Kamu benar-benar sudah mengacau." Dia melangkah maju, mendekati Dara perlahan.
Saat ini dia tahu apa yang dia mau...dan dia akan melakukannya. Jadi dua tangannya sudah memenjarakan Dara. Gadis itu terpojok antara dinding yang dingin dan tubuh Rafi sendiri.
"Bapak, mau apa?" Dara berbisik lirih karena takut. Tangannya menggenggam tali tasnya erat didepan dada.
"Sekarang...saya mau kamu." Rafi mencium bibir Dara tanpa aba-aba. Satu tangannya sudah meraih tubuh gadis itu, berusaha menidakan jarak tubuh mereka. Lalu tangan yang lain berusaha menyentuhnya, memaksa.
Selama beberapa detik Dara sungguh terkejut. Tidak ada dalam khayalannya yang paling absurd sekalipun tentang apa yang terjadi saat ini. Dadanya bertalu-talu bising sekali. Dia panik dan tidak mengerti kenapa mantan bosnya mencium bibirnya dan memaksanya seperti ini. Lalu kejadian hina dulu dengan majikannya yang lain kembali berputar ulang.
'Apa yang Rafi ingin lakukan? Apa dia ingin memperkosanya seperti majikannya dulu? Tapi Rafi bersama Nathalia kan? Lalu rasa bersalah itu datang. Pada Nathalia, orang yang dia hargai. Tapi kenapa dia merasa bersalah, dia tidak menikmati ini kan? Oh kamu menjijikkan Dara.'
Sekuat tenaga Dara mendorong tubuh Rafi yang besar. Wajahnya sudah basah karena air mata. Tubuh Rafi hanya terdorong sedikit, namun dia tidak melepaskan Dara. Dia kembali mencium bibir gadis itu.
"Lepas Pak. Ngg.." Dara mendorongnya lagi.
Ketika Rafi melepaskannya, dia menutup mulutnya dengan satu tangan sambil menatap Rafi tidak percaya.
Kesadaran Rafi datang tiba-tiba. Menghempasnya kembali. "Dara...maafin saya."
"Plak!!!" Tangan Dara melayang begitu saja. "Apa karena Bapak kaya, jadi Bapak bisa melakukan apa saja terhadap saya? Apa semua orang kaya begitu?" Dia berteriak marah. Dadanya naik turun tapi dia berusaha mengontrol tangisnya. "Buat Bapak mungkin saya nggak ada harganya, tapi paling tidak, hargai perasaan Mba Nathalia dan stop main-main dengan saya."Lalu gadis itu berlari pergi.
Di luar ruangan, Dara hampir saja menabrak seorang laki-laki yang sedang berdiri. Tapi itu tidak menghentikannya untuk berlari pergi.
***
Kakinya terus berlari. Dara merasa direndahkan, dilecehkan, dipermainkan tapi dadanya bertalu-talu. Dia juga malu. Malu atas apa yang barusan terjadi, juga malu karena sekalipun dia tidak mau sedikitnya dia juga menikmati hal itu. Yang jelas dia tidak mampu bertemu dengan Nathalia. Apa yang akan dia katakan nanti jika orang yang dia hormati itu bertanya padanya tentang apa yang barusan saja terjadi. Jadi dia terus berlari, tidak memperdulikan jantungnya yang masih berdebar kencang, atau tangisnya yang belum reda.
Ponselnya berdering. Itu pasti Nathalia, dia berhenti sejenak untuk mengangkat ponselnya. Dia tidak mau Nat cemas dan menunggunya namun dia gagal menyembunyikan tangisnya.
"Dara, kamu dimana?"
"Mba Nat, maafin saya. Maafin saya Mba." Dara berkata lirih, suaranya masih bergetar.
"Ya ampun Dara, kamu kenapa?" Nada Nat sudah panik.
"Maafin saya Mba. Terimakasih untuk semuanya. Tolong, jangan cari dan hubungi saya lagi."
"Dara...tunggu Ra."
Dara sudah memutuskan hubungan telponnya. Tangannya menghapus jejak air mata dan menguatkan dirinya. Dia selalu sendiri, selama ini seperti itu dan dia baik-baik saja. Jadi, dia tidak akan pernah kembali ke kota ini lagi.
***
"Brengsek, lo apain Dara Raf?" Nat tidak menutupi emosinya. "Lo apain dia?"
Rafi masih berada di ruangan yang sama. Duduk, meremas kepalanya sambil satu tangan lainnya menempelkan ponsel ditelinga. Kenapa dia selalu bodoh begitu? Kenapa dia selalu lepas kendali didepan gadis itu dan selalu menyakitinya lalu membuatnya pergi?
"Dimana dia Nat? Lo yang bawa dia kesini kan? Iya kan? Jadi lo selama ini tahu dia dimana dan lo diam aja?" Rafi pun mulai emosi.
"Demi Tuhan yang Maha Kuasa, gue nggak bakalan kasih tahu dia dimana. Karena lo cuma bisa sakitin dia Raf. Cuma itu yang lo bisa."
Hubungan disudahi. Lalu tangannya memijit nomor Niko.
"Cek jadwal bepergian Nathalia beberapa hari ke belakang."
Niko menghela nafasnya. "Kamu tahu sendiri Nat sangat tahu metode saya. Kalau dia memang tidak ingin ditemukan, sudah pasti dia menutupi jejaknya."
"Cari!!"
Tubuh besar Rafi berjalan mondar-mandir gusar masih didalam ruangan yang sama. Tanpa sadar dia sedang diawasi oleh sepasang mata dari luar ruangan. Sahabatnya Brayuda berdiri disana. Diam, karena sungguh dia kehabisan kata atas apa yang baru saja dia lihat dan dengar. Apa Rafi jatuh cinta?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro