Part 27 - Pesakitan gila
"Sudah ada kabar?"
"Belum. Juga nihil di Lampung. Dia nggak disana."
"Laki-laki itu..."
"Saya sudah bicara dengan Imran." Niko memotong Rafi. "Dia sendiri kaget dan sama tidak tahunya. Dia bahkan minta saya kabari jika saya sudah menemukan Dara."
"Ikuti laki-lakinya, cepat atau lambat, mereka pasti bertemu."
"Raf, Imran...sudah berkeluarga. Keluarganya ada di Lampung. Itu mangkanya dia pulang. Jadi, kayaknya mereka nggak akan bertemu lagi."
'Bagus Raf, ternyata Imran, si bajingan itu bukan pacar Dara, dan kamu dera dia hanya berdasarkan praduga kamu sendiri.' Lagi-lagi ada sesuatu yang menusuk dadanya.
Rafi menutup ponselnya. Satu tangannya mematikan rokok yang dia pegang. Dia tidak sadar bahwa Brayuda sudah ada disana, menatapnya heran.
"Raf, ini soal apa sih? Aimi telpon gue, dia ketakutan lihat lo begini." Yuda sudah duduk di salah satu bangku. Mereka sedang berada di balkon kamar hotel tempat tinggal Rafi.
"Bukan urusan lo." Rafi menyalakan sebatang rokok lagi.
"Oh, jadi lo bisa seenak hati campurin urusan semua orang, dan kita nggak boleh campurin urusan lo? Gitu?"
Rafi hanya menghembuskan asap rokok yang dia hisap dari mulutnya.
Yuda berdecak kesal. "Sejak kapan lo minum?" Matanya melirik gelas minuman yang sudah hampir habis, juga botol kosong disebelahnya.
Rafi hanya meringis tipis, diam saja. Apa yang dia ingin ceritakan juga? Apa? Bagaimana dia sudah berbuat jahat pada gadis yang dia cinta? Atau bagaimana dia mengusir gadis itu pergi? Atau sakit yang rasanya tidak tertahankan saat ini? Atau tentang malam-malam panjangnya yang menyiksa karena matanya tidak bisa sedikitpun dia pejamkan? Apa? Dia juga yakin benar sahabatnya tidak akan bisa membantu apapun, tidak ada seorang pun yang bisa membantu. Jadi buat apa dia bercerita.
"Raf, gue ini apa sih?" Yuda mulai bangkit dari duduknya dan mendekati Rafi. "Raf!!! Lo budek ya?" Satu tangannya sudah mendorong bahu Rafi yang diam saja.
Mata sahabatnya itu kosong dan penampilannya berantakan. Dia sendiri selalu berantakan dan urakan tapi tidak sahabatnya ini. Rafi bahkan biasanya masih terlihat segar sekalipun sudah tengah malam. Sobatnya ini tidak pernah kehilangan kontrol diri. Jadi Yuda benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dengan Rafi.
"Arya Dirga yang bikin lo begini hah? Atau siapa? Bilang sama gue."
Rafi menggeleng masih sambil menghisap rokoknya. "Pulang Yud, Reyna nungguin kan?"
"Orang gila." Yuda sudah berdiri dan berjalan mondar-mandir gelisah. "Lo nggak bisa diam terus Raf. Lo harus ngomong atau gue pukul lo."
Rafi terkekeh lalu berdiri. "Silahkan. Pukul gue Yud."
"Gue nggak main-main Raf."
"Apalagi gue. Silahkan, pukul."
Rafi tahu apa akibatnya. Brayuda petarung ulung, satu pukulannya bisa meremukkan tulang. Memang postur tubuh Yuda tidak sebesar Rafi, tapi sobatnya ini tahu di titik mana saja dia harus menyerang. Cara ini yang belum dia coba. Mungkin dengan pukulan itu sakit yang dia rasa sedikit berkurang. Mungkin saja kan?
Brayuda sudah berdiri dihadapannya, berkacak pinggang sambil menggelengkan kepala. "Raf, kalau ini gara-gara gue kemarin, gue minta maaf. Gue bener-bener minta maaf."
"Bang..." Aimi sudah memeluk Rafi dari belakang. "Aku yang mau nikah tapi kamu yang stress begini."
Rafi mematikan rokoknya, membalik tubuhnya lalu memeluk adik kesayangannya itu. "Aku nggak apa-apa Yi, aku baik-baik aja." Dia lalu mengecup puncak kepala Aimi lalu berlalu pergi.
***
Imran mencoba menghubungi Dara berkali-kali. Tapi sudah lama ponselnya mati. Kedatangan laki-laki asing beberapa hari yang lalu yang menanyakan Dara sungguh membuat dia heran. Apa Dara dalam bahaya? Jadi dia cemas sekali. Jika memang Dara pergi melanjutkan sekolah, harusnya hanya ada dua tempat yang mungkin dia datangi. Dia memang tidak buka mulut pada si laki-laki asing, karena dia tidak percaya padanya. Tapi dulu dia sempat bertanya pada gadis yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri itu, tentang siapa kawan-kawan kerjanya. Lalu gadis itu berkata, bahwa hanya ada satu yang dia percaya. Nathalia.
***
"Selamat datang di Mentari Mart!!" Dara tersenyum menyambut pelanggan. Tangannya masih sibuk melakukan scan produk dibelakang meja counter kasir untuk pelanggan lainnya.
"Ra, udah Ra tinggal aja. Lo kan sejam lagi ada kelas." Ida mencolek bahu Dara. "Udah tinggal aja beneran."
"Satu lagi-satu lagi. Abis itu gue kabur. Pamitin Mas Don ya."
"Iya, udah beres."
Lalu satu customer maju ke meja kasir meletakkan air mineral botol dan dua bungkus biskuit.
"Selamat siang, bawa kantong belanja?" Dara menatap wanita bertubuh semampai yang menggunakan kacamata hitam itu.
"Hai Ra." Nathalia tersenyum sambil melepas kacamatanya.
"Mba Nat? Ya Tuhan Mba Nat? Apa kabarnya Mba?"
"Saya bayar dulu ya."
Dara mengangguk cepat-cepat bersemangat. Lalu segera menyelesaikan proses pembayaran. Setelah itu dia mengambil ranselnya dan pamit pergi pada Ida yang disambut dengan senyuman kawan baiknya itu.
"Mba Nat lagi ngapain kesini? Jalan-jalan ya?" Mereka sudah duduk di bangku luar teras minimart itu.
"Aku sama seseorang yang juga kangen sama kamu."
Dara tertawa. "Mba Nat bisa aja. Mana ada yang kangen sama saya kecuali si Mas Ucok OB kantor sama Pak Budi supirnya si Bos."
"Serius, dia kangen sama kamu dan cari-cari kamu juga. Sekarang lagi parkir mobil sebentar lagi kesini."
"Kamu apa kabar Ra?" Nat memperhatikan senyum lebar Dara juga pakaiannya yang khas anak kuliahan. Polo shirt putih dan jins biru. Seragam minimart-nya sudah dia lepas tadi.
"Baik Mba. Alhamdulillah."
"Kamu kerja disini?"
"Paruh waktu Mba, sambil kuliah. Kampus saya deket sini."
"Kamu ambil S1 jurusan apa?"
"Management bisnis Mba. Biar tahu sedikit jadi bisa mulai usaha."
"Wah hebat."
"Duh, kalau hebat mah kayak Mba Nat gitu yang sudah sukses. Saya mah apalah-apalah."
Nathalia tertawa. "Kamu naik apa ke kampus?"
"Saya pinjem motor teman saya didalam. Dia kuliah juga sama kayak saya. Kita juga share kamar kosan. Dan disini biaya hidup murah Mba. Jadi alhamdulillah saya cukup."
"Udah nggak usah pinjem motornya hari ini. Kita anter ya."
"Kita?"
"Iya tuh yang kangen udah dateng." Nat menggendikkan kepalanya pada laki-laki dibelakang tubuh Dara.
"Daraaaa!!" Suara Hilman setengah berteriak sambil tertawa. Dia langsung menghampiri Dara dan mengacak rambutnya.
"Waaah Mas Hilmaaan. Apa kabarnya?" Dara juga terkekeh geli.
"Kita anter yuk."
"Bener nih? Asyiiiik. Rejeki nggak boleh ditolak."
Didalam mobil.
"Kita seneng deh Ra bisa ketemu kamu. Kita cariin kamu lho Ra." Nat berujar dari bagian depan mobil sementara Hilman menatap lurus kedepan.
"Waduh Mba. Jangan bikin saya GR dong. Saya emangnya siapa sampai dicariin orang sepenting Mba Nat dan Mas Hilman."
Hilman tertawa. "Saya kangen kopi kamu Ra. Kopinya ucok aneh rasanya."
"Masa sih, padahal terakhir kali itu saya udah ajarin lho Mas."
"Dara, kamu besok libur nggak?"
"Libur Mba, kenapa?"
"Kita datang jauh-jauh kesini mau sampaiin undangan Aimi ke kamu." Nat memberikan undangan dari Aimi pada Dara.
"Alhamdulillah, Mba Aimi akhirnya nikah juga." Dahi Dara mengernyit. "Tapi Mba, aku kayaknya nggak bisa deh kesana. Abis mepet Senin sudah masuk kuliah lagi. Aku salam aja sama Mba Aimi ya."
"Dara, nggak ada alasan, pokoknya kamu ikut." Hilman berujar sambil melirik dari kaca tengah mobil. Matanya tertutup kacamata hitam.
Dara mulai menggigit bibirnya dan Nat menyadari hal itu lalu dia tersenyum menenangkan.
"Dara, jangan khawatir. Kita beliin kamu tiket baliknya juga kok. Dan malam ini berangkat bareng sama kita. Flight terakhir."
"Hah? Emang bisa gitu tiketnya mendadak Mba?"
"Bisa, tenang aja. Beres deh." Nat tersenyum. "Minta nomor ponsel kamu dong. Kamu punya HP kan Ra?"
Dara tersenyum. "Punya Mba. Tapi ini nomor rahasia ya Mba. Jangan kasih tahu siapa-siapa. Cuma Mba Nat dan Pak Hilman aja. Janji?"
"Dududuh bener kan, yang orang penting itu kamu Ra."
"Serius Mba. Jangan kasih ke siapa-siapa lagi."
"Maksud kamu Rafi?" Nat melirik Dara.
"Waduh, saya mah apalah-apalah di mata Pak Bos. Ibarat kata kalau sepatu nih ya Mba, saya itu cuma batu kecil yang nyelip di sepatunya Pak Rafi doang. Dicongkel dikit lepas ilang deh." Dara tidak berani berujar tentang apa yang pernah dia lihat dulu. Tentang kedekatan Nat dan mantan bosnya itu.
Nat dan Hilman tertawa mendengar penuturan konyol Dara. "Daraa- Daraa...ini yang bikin kita kangen sama kamu Ra." Hilman berujar.
'dan yang bikin Rafi uring-uringan. Biar rasain kamu Raf besok.' Ujar Nat dalam hati gemas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro