Part 26 - Sadis
Nathalia mengetuk pintu. Matanya memandang meja Dara yang kosong dengan tatapan sedih sementara tangannya membawa amplop coklat besar.
"Masuk." Rafi masih menatap layar laptopnya.
Wanita itu langsung menghampiri Rafi dan meletakkan amplop coklat itu di meja. Lalu dia duduk di kursi seberang meja Rafi, menyadari wajah Rafi yang kusut sekali seminggu ini.
"Kayaknya saya mesti ganti Niko?"
"Kenapa?"
"Lama banget kali ini. Masa cari tahu soal Dara aja bisa lebih dari satu minggu."
Nat tersenyum miris. "Harusnya kamu tanya dulu kenapa lama?"
"Emangnya kenapa?"
"Karena memang nggak ada informasi apapun soal Dara."
Tangan Rafi berhenti mengetik. Kepalanya sudah berpaling dan menatap Nathalia yang sedang memandangnya kesal.
"Maksudnya?"
"You heard me Raf. I wish you didn't do what you did to her."
"Seriusan lo mau bahas itu lagi? Mau salahin gue lagi?" Rafi mulai mengganti tata bahasanya.
Nat sudah duduk tegak. "Niko sudah coba cari tahu dari tetangga kosnya tentang asal usul Dara. Karena orang panti juga nggak tahu. Tapi tetangganya juga sama nggak tahunya. Dia juga sudah datangi alamat di KTP Dara, nihil. Rumah kosong yang sudah nggak ditempatin bertahun-tahun. Sudah rusak. Tetangga disana juga nggak tahu tentang Dara. Mau cari ke sekolahnya, dia sekolah dimana aja juga kita nggak tahu. Sosmed? Nggak ada, bersih. Boro-boro punya sosmed, ponsel aja nggak punya sebelumnya."
"Gue nggak ngerti kenapa lo salalu marah sama gue soal Dara."
Nat tidak menghiraukan kebodohan teman sekaligus bosnya ini. "Gue sempet ngobrol sama salah satu tetangga kosnya dan dia cerita banyak. Sekalipun nggak tahu detailnya, jadi cuma berdasarkan cerita dari Dara aja ke dia." Nat melirik Rafi gemas karena laki-laki diam saja sekarang.
Nada Nat mulai naik. "Kamu tahu nggak dia pernah jadi pembantu rumah tangga, hampir diperkosa majikannya terus lari dan kapok? Atau gimana dia kerja di warnet, mangkanya jadi jago komputer terus difitnah mencuri sama temannya sampai harus nginap di kantor polisi. Atau jadi OB entah dimana yang gajinya aja nggak cukup bayar kosan. Tahu nggak???"
Wajah Rafi dingin saja. Tanpa ekspresi. Emosi Nat makin menjadi-jadi.
"Gue datang sendiri kesana, lo tahu gue harus bawa berapa orang? Lima. Karena banyaknya preman yang kurang ajar banget disana. Lo tahu gue harus jalan lima belas menit dari jalan raya masuk ke gang sempit yang hanya muat satu motor aja. Dan baunya? Ya Tuhan. WC kantin karyawan kita aja lebih wangi dari itu.
Seakan tidak puas menyiksa Rafi Nat berujar lagi. "Lo tahu siapa tetangganya Dara? Tukang bakso, tukang bubur, cewek dagangan. Lo tahu nggak kalau kamarnya Dara itu nggak lebih besar dari kamar mandi kantor kita disini?"
"Cukup Nat!" Rafi sudah tegak berdiri.
"Dan dia bahkan nggak punya lemari. Dia simpan semua pakaiannya di kardus bekas panci yang dia minta dari tetangga kosnya. Tahu nggak???" Nat sudah setengah berteriak pada Rafi juga sambil berdiri.
"Selama kita kenal dan gue kerja disini, lo nggak pernah sekeras itu sama sekertaris lo. Bahkan saat Martha bikin salah fatal dulu itu, bikin kontrak Grand Mulia hampir jatuh ke tangan pesaing kita. Bahkan saat Mila berulang kali gagal dapetin tiket untuk lo dan meeting akhirnya harus dipindah kesini. Tapi lo nggak pernah pecat mereka. Nggak pernah Raf!!!"
"Jadi salah Dara apa? Nggak bisa bahasa Inggris dan bikin Jacob yang temperamental itu marah. Jacob memang selalu begitu. Atau numpahin kopi di kantor Hilman yang bahkan Hilmannya aja nggak marah?"
"Gue bilang cukup!!!!" Rafi menggebrak meja.
Hilman masuk dan terkejut melihat kedua kawannya itu sedang berdiri berhadapan dengan wajah merah. Nathalia tidak pernah kehilangan kontrol dirinya. Tapi saat ini wanita itu sudah hampir menangis. Sementara Rafi, wajahnya dingin sekali dan murka.
"Hey hey sudah, gue nggak ngerti ini ada apa. Tapi tenang dulu." Hilman mencoba menengahi.
"I know what you want Raf. But do you know what you want? Do you? And why you did what you did to her? Why? I don't get it." Sudah ada satu air mata meluncur dipipi Nat.
"Lo memang dingin Raf, kaku dan selalu penuh curiga... tapi gue nggak sangka kalau lo juga sadis." Nathalia beranjak keluar. "Lain kali, latihanlah pakai hati. Biar nggak keras dan mati suri. Kalau mau pecat gue, bilang aja. Gue dengan senang hati mengundurkan diri."
Nat membiarkan pintu itu terbuka lebar. Air matanya sudah mulai menetes perlahan. Dia tidak mengindahkan Hilman yang mengejarnya dibelakang.
***
"HHhhhhaaaaahhhh..." Rafi sudah mendorong seluruh barang yang ada di meja ke lantai setelah Nat dan Hilman berlalu dari ruangannya.
Lalu dia duduk sambil mengusap wajahnya. Dia sungguh tersiksa. Kemudian dia mengambil amplop coklat itu di lantai dan membukanya. Hanya ada foto-foto disitu, dengan keterangan tempat kos Dara dan rumah pada alamat di KTPnya. Pemandangan dari kedua foto itu, mengenaskan.
Lalu kata-kata Aimi berputar lagi. "Dia itu hidup dibawah garis kemiskinan Bang." Lalu kata-kata Ibu Sri "Dara dari kecil sudah nggak punya orangtua...kerja serabutan, apa aja...jangan kesana dengan pakaian itu Pak. Banyak preman."
Lalu kata-kata Dara sendiri. "Ini traktiran gaji pertama saya Pak...Sendirian itu nggak enak lho Pak...Saya yakin saya bukan tipe Bapak...Ini semua berlebihan, Bapak, Mba Nat, Bali...Apa Bapak bisa bilang apa salah saya? Jadi saya bisa perbaiki...Saya paham benar mana yang hak saya dan mana yang bukan...Maaf...Terimakasih Pak, maaf sekali lagi."
Juga kata Nathalia. "I know what you want Raf, but do you know what you want? Do you?"
Tanpa sadar dia memegang dadanya sendiri. Kenapa rasanya sakit begini.
***
Ini bagian yang judulnya, you just don't know what you've got till its gone.
Well you only need the light when it's burning low
Only miss the sun when it starts to snow
Only know you love her when you let her go
Only know you've been high when you're feeling low
Only hate the road when you're missing home
Only know you love her when you let her go
And you let her go
Staring at the ceiling in the dark
Same old empty feeling in your heart
Love comes slow and it goes so fast
Well you see her when you fall asleep
But never to touch and never to keep
'Cause you loved her too much and you dive too deep
Passenger - Let Her Go
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro