Part 22 - Praduga
Malam itu dia membersihkan ruangan Rafi dan menemukan gelas kopi yang utuh. Ya ini sudah beberapa hari dan bosnya itu tidak menyentuh kopi yang dia buat. Apa tidak enak? Dara menyeruput kopi itu perlahan. Tidak masalah dengan rasanya harusnya. Lalu kenapa?
Lalu ingatannya melayang pada apa yang dia lihat kemarin pagi antara Nat dan Rafi. Kepalanya menggeleng, mengusir pergi bayangan itu jauh-jauh. Itu bukan urusannya. Berusaha menyangkal bahwa semalam dia memikirkaan hal itu dan merasa sakit hati entah kenapa.
Hilman masuk tiba-tiba mencari Rafi.
"Ra, Rafi kemana?"
"Oh sudah pulang Mas sepuluh menit tadi."
"Tumben dia udah pulang."
"Katanya mau nengok Pak Yuda di rumah sakit. Ada apa?"
"Oh iya saya lupa Brayuda masih di rumah sakit. Yah telat ya. Saya mau minta tanda tangan." Hilman meletakkan dokumen itu di meja kerja Rafi. "Kamu belum pulang?"
"Sebentar lagi Mas."
"Mau saya antar?"
"Nggak perlu, saya bisa sendiri."
"Itu kopi kenapa?"
"Oh, kayaknya saya salah buat, Jadi nggak enak dan nggak diminum."
"Saya mau minta tolong boleh?"
"Apa?"
"Bikinin saya kopi yang sama kayak itu tiap pagi mulai besok. Bisa?"
"Oh bisa. Ini gampang kok. Besok saya buatkan sekalian buat Pak Rafi."
Hilman tersenyum. "Muka kamu agak pucat lho Ra. Kamu bener nggak apa-apa?" Hilman sungguh khawatir.
Sesungguhnya kemarin Dara demam karena dua hari sebelumnya kehujanan. Tapi dia menolak untuk sakit dan memaksakan dirinya pergi ke kantor. "Saya baik-baik aja." Dara hanya tersenyum lalu beranjak keluar ruangan.
Tangan Hilman menangkap lengan Dara. "Maaf saya hanya ingin pastikan."
Dara berhenti melangkah lalu satu telapak tangan Hilman sudah berada dikeningnya. "Kamu demam Ra."
Lalu pintu itu terbuka. Rafi masuk untuk mengambil barangnya yang tertinggal dan pemandangan pertamanya adalah Hilman yang berdiri berhadapan dengan Dara dan tangan Hilman yang berada di kening gadis itu.
'Jadi Dara ingin membalas apa yang dia buat kemarin? Dengan Hilman? Luar biasa Ra.' Rafi sudah tidak bisa mengkontrol praduganya sendiri.
Dara mundur teratur dan berlalu dari ruangan.
"Hi Raf. Cost projection Mandalika ada di meja. Sebentar ya." Hilman juga berlalu meninggalkan pintu ruangannya yang terbuka.
"Ra, badan kamu panas lho. Saya antar ya." Hilman sudah ada di meja kerja Dara. Sementara Rafi mengekori di belakangnya.
Dara tidak menghiraukan Hilman, dia segera membereskan mejanya bersiap pulang. "Nggak usah Mas. Terimakasih." Dara memaksakan senyumnya.
"Kata BMKG malam ini hujan."
"Saya bawa payung." Dara hanya sempat mengenakan sepatu ketsnya. Jaket dia jinjing di tangan.
"Dara serius. Saya udah punya pacar kok. Nggak ada niat apa-apa sama kamu. Saya khawatir kamu demam begitu." Hilman berusaha menjelaskan agar Dara tidak salah paham atas maksud baiknya.
"Iya Mas, terimakasih."
Rafi masih memperhatikan Dara yang terus bergerak mempersiapkan diri untuk pulang. Lalu emosi yang sudah dari tadi bergolak itu perlahan naik keatas tenggorokan, membuatnya membuka mulutnya lagi.
"Jual mahal banget. Hilman mau antar kamu baik-baik kamu malahan curiga begitu." Rafi yang bersender dipintu menatapnya tajam. "Dia juga lebih mapan daripada pacar kamu dari desa itu kan? Lagian nggak perlu khawatir Hilman suka kamu, Nadya bahkan lebih cantik dari Nathalia."
Tubuh Dara berhenti. Matanya menatap Rafi marah, tapi mulutnya bungkam.
"Raf, kok lo ngomong gitu sih? Dara...Ra!" Hilman menengok kea rah Rafi marah.
Dara sudah pergi.
"Sumpah lo nggak lucu Raf. Is not you. What happened to you sampai bisa hina orang begitu?" Hilman menatap Rafi tidak percaya lalu pergi meninggalkannya.
Dia tidak menyesal, dia ingin Dara sama menderitanya dengan dirinya sendiri saat ini. Tentang semua yang dia rasa pada gadis itu, tentang dia yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan perasaannya sendiri, tentang dia yang merasa Dara mempermainkannya dengan cara berhubungan dengan laki-laki lain. Padahal itu juga bukan salah Dara. Mana Dara tahu apa yang Rafi rasa kan? Tapi Rafi sudah tidak perduli. Perasaannya itu berkembang jauh lebih pesat dari yang dia duga dan dia tersiksa. Ini menyiksa.
***
Pagi ini Dara merasa mual sekali. Semalam memang benar hujan dan dia kehujanan lagi. Dia sedang berada di dapur kecil kantor merebus air untuk membuat kopi. Dia juga menyeduh teh untuk dirinya sendiri.
'Nggak boleh sakit Ra. Nggak boleh, sehat-sehat-sehat.' Dara menyemangati dirinya sendiri.
Dia membawa dua cangkir kopi dan satu cangkir teh dengan nampan. Menuju ruangan Rafi. Tehnya dan kopi Hilman dia letakkan di meja kerjanya. Lalu dia membawa kopi Rafi ke dalam ruangan. Sedikit terkejut karena sudah ada bosnya itu disana.
"Kopi kamu nggak enak." Itu kalimat pertama Rafi ketika Dara meletakkan cangkir itu di meja.
Lalu Dara beranjak keluar ruangan.
"Kamu dengar kan apa kata saya? Kopi kamu nggak enak. Bawa keluar."
Dara berbalik lalu mengambil kopi itu lagi. Dia keluar dari ruangan sakit hati. Jangan khawatir, ini bukan pertama kalinya. Jadi, dia akan berpura-pura tidak ada apa-apa. Seperti biasanya.
'Jangan nangis Ra. Biasa aja, semua biasa aja.'
Tangannya sudah meletakkan cangkir kopi Hilman dinampan dan berjalan menuju ruangan Hilman. Kepalanya sedikit pusing, dia mual lagi. Tapi tubuhnya terus berjalan. Tangannya mengetuk pintu dan Hilman mengijinkannya masuk.
"Pagi Ra. Kamu sudah enakkan?" Hilman sudah berdiri tersenyum menyambut Dara yang pagi itu menurutnya makin pucat. Dia berjalan kearah Dara.
"Saya nggak apa-apa Mas. Terimakasih sudah tanya."
"Terimakasih ya udah dibikinin kopi."
Dara berusaha menjaga keseimbangannya. Lalu entah kenapa kepalanya pusing sekali. Tubuhnya limbung dan menabrak Hilman yang sedang berdiri. Cangkir-cangkir itu jatuh dan pecah. Lebih parahnya kemeja Hilman kotor terkena tumpahan kopi.
"Astagfirullah. Maaf Mas Hilman, saya nggak sengaja. Maaf."
Hilman tertawa melihat Dara panik begitu. "Ini nggak apa-apa kok Ra."
Dara sudah mengambil tissue di meja dan berusaha membersihkan kemeja Hilman yang masih tertawa. Nathalia mengetuk pintu yang memang setengah terbuka lalu masuk kedalam. Dibelakangnya ada Rafi.
"Pagii!! Duh duh pagi-pagi udah mesra begitu." Nat meledek Dara dan Hilman.
"Saya ceroboh Mba tumpahin kopi jadi berantakan."
"Saya kesenengan dibikin kopi, jadi grogi dan senggol Dara." Hilman membelanya sambil tersenyum. "Sudah nggak apa-apa Ra. Saya bawa baju ganti kok." Ujar Hilman sambil menepuk ujung kepala Dara.
Wajah Rafi tegang melihat itu semua. Tapi mulutnya bungkam.
"Maaf, sebentar saya ambil sapu."
"Udah Ra, saya minta OB kantor aja yang bersihin. Better kamu istirahat di ruang dokter dibawah."
"Emang kamu bosnya dia?" Sahut Rafi pendek sambil menatap Hilman. Lalu dia menatap Dara. "Kamu juga, bisa kerja bener nggak sih? Nganterin kopi aja bisa tumpah."
Nat menoleh dan menatap Rafi tidak percaya.
Dara hanya menunduk diam. "Maaf sekali lagi Mas...Pak Hilman. Permisi."
***
Nat menggeram kesal pada Rafi setelah Dara keluar dari ruangan. "You have to control your temper Raf. It is really not funny being mean with her like that." Nat sadar benar Rafi akan bereaksi dengan pemandangan Hilman dan Dara tadi. Tapi dia tidak menduga jika Rafi akan berkata pedas begitu.
Hilman hanya memberi tatapan sukurin-lo-dimarahin Nat.
"Loh kenapa? Dara bikin salah kok." Rafi duduk di salah satu bangku.
"Oh ya? Dia bikin salah ke Hilman bahkan Hilman aja nggak masalah. Kenapa jadi lo yang marah?"
"Sebagai atasan wajar kan gue tegur dia."
Nat sudah ingin membantah namun Rafi sudah memotongnya.
"Seriusan, gue nggak ada waktu. Bisa kita mulai atau nanti gue balik lagi kesini." Rafi melihat jam ditangannya.
"You have to really fix your manner." Nat memberi kalimat pamungkas sambil menatap Rafi tajam.
***
Dara duduk diam di kursi depan. Dia berusaha menghalau rasa mualnya. Mereka bertiga sedang berada dimobil menuju tempat makan siang untuk janji temu berikutnya. Pak Budi menoleh sesekali pada Dara, merasa khawatir karena wajah gadis itu pucat sekali.
"Mba nggak apa-apa?" Bisik Pak Budi.
Dara menggeleng sambil tersenyum. Lima belas menit kemudian mereka tiba. Rafi sudah berjalan didepannya menuju meja yang sudah Dara pesan dua hari sebelumnya.
"Maaf Pak, saya ke kamar mandi dulu." Tangan Dara menutupi mulutnya yang mual sekali.
"Kamu kenapa?"
"Mual sedikit. Permisi." Dara segera berlari menuju kamar mandi.
'Mual? Dia mual? Dan ini dari kemarin. Apa dia hamil? Apa Dara segampang itu?' Tiba-tiba mood Rafi anjlok lagi.
Rafi berdiri untuk menjabat tangan koleganya yang baru saja tiba. Setelah sedikit berbasa-basi, mereka memulai diskusi mereka.
***
Bapak El Rafi, apa kamu tahu kamu benar-benar menyebalkan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro