Part 18 - Kawan Lama
"Kamu kemana aja Ra? Kok tiba-tiba hilang?" Suara Imran diseberang sana.
Dara tertawa. Saat ini sudah jam istirahat, dia sedang bersiap untuk makan siang di lounge. "Maaf Ran. Tiba-tiba dinas." Dara memutar bangkunya karena dia ingin mengambil kotak bekal di dalam ransel yang berada di lemari belakangnya. "Tapi sekarang aku udah di Jakarta, kapan ketemu yuk. Aku beneran kangen kamu Ran."
"Waah kereen, kerjaan kamu pakai dinas segala?" Imran meledek Dara.
"Duh ceritanya panjang Ran. Mangkanya kita harus ketemu secepatnya. Kangen beneran ini."
"Aku bisanya hari kerja Ra. Sabtu-minggu aku ada kerjaan. Apa aku jemput kamu habis kantor?"
Kotak bekal sudah dalam genggaman, dia memutar lagi kursinya dan terkejut karena sudah ada Rafi berdiri disana.
"Imran, udah dulu ya. Nanti aku telpon lagi." Dara berbisik sambil tersenyum. "Iya Pak?"
"Siapa?"
"Maksudnya?"
"Siapa yang telpon kamu barusan?"
"Oh, teman saya. Ada apa Pak?"
Dahi Rafi mengernyit, dia tidak suka dengan apa yang barusan dia dengar. Jelas-jelas Dara bilang kangen dengan siapapun orang yang dia telpon tadi dan Imran itu nama laki-laki kan?
"Saya makan dengan Nat dan baru balik jam 2. Tolong mundurkan jadwal saya yang jam 1.30 ke jam 3."
"Iya Pak."
Rafi berlalu. Gusar dengan reaksi dirinya sendiri.
***
Di hari yang lain.
"Maaf Pak. Apa bisa saya ijin pulang jam 4 sore? Saya ada keperluan hari ini." Dara sudah ada di ruangannya.
"Mau kemana?" Mata Rafi mengawasi Dara yang wajahnya sumringah gembira.
"Ada keperluan Pak."
"Pribadi?"
"Iya."
"Nggak bisa, masih ada kerjaan." Rafi menyahut. Dia teringat pembicaraan Dara ditelpon beberapa hari yang lalu dengan Imran atau siapalah namanya itu.
Dara hanya mengangguk sedikit kecewa dan berlalu dari ruangan.
Malamnya.
"Ra, kok belum pulang?" Rafi melirik jam ditangannya, sudah pukul 7 malam.
"Iya Pak, sebentar lagi jemputan datang."
"Oh Gojek?" Rafi sudah ingin berlalu namun langkahnya terhenti mendengar jawaban Dara.
"Bukan Pak, ada teman saya yang jemput."
"Siapa?"
"Bapak nggak akan kenal Pak. Dia teman kecil saya lagi datang ke Jakarta."
Rafi diam saja sambil berlalu pergi, lalu ingatan itu kembali lagi.
'Imran. Apa itu namanya? Apa dia yang akan jemput Dara? Kangen, rindu? Itu hanya untuk orang istimewa kan? Apa dia pacar Dara? Jadi Dara punya pacar?'
***
Di luar kantor, Rafi meminta Pak Budi untuk menghentikan mobilnya tidak jauh dari lobby. Pak Budi sedikit heran, tidak biasanya Rafi langsung mengawasi orang seperti ini. Biasanya bos besarnya itu akan selalu meminta orang untuk mengikuti siapa saja yang dia mau. Termasuk Yuda sahabatnya dan Aimi adiknya.
Mata Rafi melihat Dara dijemput oleh laki-laki entah siapa itu menggunakan motor. Senyum Dara lebar sekali. Rambutnya digerai dan dia masih mengenakan setelan kantornya. Laki-laki itu menggeleng sambil tersenyum dan berbicara menggoda Dara. Lalu tubuh Dara berputar dan tawanya berderai.
Lalu gadis itu naik keatas motor setelah sebelumnya sedikit mengangkat roknya. Tangan gadis itu digenggam oleh si laki-laki. Rafi memalingkan wajahnya. Dia tidak perduli. Iya kan?
***
Rutinitas jemput menjemput itu terus berlanjut beberapa kali dalam seminggu. Rafi memperhatikan karena sungguh wajah Dara tidak bisa dibohongi. Gadis itu lebih sumringah atau bahkan terkadang bersenandung ringan. Entah kenapa ini membuat Rafi kesal. Sangat-sangat kesal.
Jadi terkadang Rafi dengan sengaja menambahkan pekerjaan Dara agar gadis itu pulang lebih lama dari kantor. Sementara dia sendiri duduk di dalam mobil masih di area kantor diam memperhatikan, menunggu. Apa Dara akan dijemput lagi? Dan sialnya laki-laki itu terus datang, dan datang, dan datang. Sekalipun terkadang dia bahkan harus menunggu Dara hingga jam 9 malam. Laki-laki itu diam tak bergeming duduk menunggu.
Pernah pada saat hujan, Rafi melihat mereka berteduh di warung makan tidak jauh dari kantor. Tidak makan, hanya berdiri di teras warung itu memperhatikan hujan. Sambil tertawa, sambil bercerita. Lalu tangan laki-laki kurang ajar itu merangkul Dara setelah sebelumnya memberikan jaketnya. Mendekatkan Dara pada tubuhnya sendiri. Dan Dara tersenyum gembira, tertawa kecil padahal diatas langit petir menyambar. Rafi benar-benar berharap petir menyambar laki-laki itu.
Rafi gusar, dan harusnya tidak bukan? Buat apa dia perduli? Kenapa? Tangannya memukul setir mobil.
***
"Loh Pak Budi? Udah mau pulang?" Nathalia berpapasan dengan Pak Budi, supir Rafi di lobby bawah sore itu.
"Iya Mba. Alhamdulillah bisa pulang sore."
"Tumben Rafi mau nyetir hari kerja begini?"
"Iya sudah hampir dua minggu ini Mba. Pak Rafi punya kebiasaan aneh sekarang."
"Apa?"
"Pertama Pak Rafi nyetir sendiri dan minta saya pulang. Tapi itu biasa, terkadang Pak Rafi suka begitu. Tapi, Pak Rafi suka diam di mobil, menunggu, memperhatikan dari jauh."
"Memperhatikan siapa?"
Pak Budi diam sejenak, sedang memutuskan apakah dia akan bercerita atau tidak. Tapi ini Mba Nathalia kan? Harusnya boleh. Lalu dia menatap Nathalia yang masih menunggu penasaran sebelum berujar. "Mba Dara. Pak Rafi menunggu dan memperhatikan Mba Dara pulang."
Nathalia berjalan mendekat. "Ikut saya dulu boleh Pak?" Langkah Nathalia sudah menuju ruangannya sendiri di atas. Dia harus tahu.
***
Rafi tiba di kantor dengan mood yang terjun bebas. Karena kebutuhan dasar tidurnya berkurang, juga karena dia gusar dengan kabar Brayuda. Jadi ketika meja didepan ruangannya masih kosong, dia langsung mengangkat ponselnya.
Pak Bos: Dimana kamu?
Dara terengah karena masih berada di tangga sambil membaca whatsapp dari bosnya. Dia melirik jam di ponselnya, masih jam 7.30. Harusnya dia tidak terlambat kan? Dia memutuskan untuk langsung saja ke ruangan Rafi nanti. Lalu ponselnya berbunyi.
Suara Dara terengah diujung sana. Rafi sudah tegak berdiri dari kursinya. Sudah banyak pikiran buruk yang tiba-tiba saja ada dikepalanya.
"Dara!! Kamu lagi ngapain hah? Kenapa kamu terlambat?"
"Hah? Sebentar Pak saya segera kesana, saya nggak konsen ini lagi tanggung." Hubungan dia sudahi.
"What????"
Rafi gusar sekali. Bayangan tentang apa yang sedang terjadi antara Dara dan Imran atau entah siapa itu mulai berputar dikepalanya.
'Lagi tanggung? Kenapa suaranya begitu? Apa yang dia sedang lakukan dengan laki-laki itu? Pagi-pagi begini? Dan berani-beraninya dia mengangkat telpon. Brengsek!!'
Dia menghubungi Dara lagi tapi benar-benar kecewa karena gadis itu tidak mengangkat telponnya. Rafi membanting telponnya kasar ke meja. Tidak berapa lama pintunya diketuk. Dara masuk ke ruangan masih berpeluh.
"Ya Pak?"
"Habis ngapain kamu??" Rafi gagal total mengkontrol emosinya. Biasanya ini bisa dengan mudah dia lakukan.
Dara mundur satu langkah, benar-benar kaget dan tidak mengira bosnya marah. Tangannya mulai mencengkram pinggiran rok gugup, wajahnya juga pucat.
"Saya..." Dara menelan salivanya. Dia bingung atas alasan marahnya Rafi. "Saya baru sampai Pak, maaf. Biasanya jam segini Bapak belum datang."
"Kenapa kamu keringetan begitu?" Suara Rafi dingin sekali.
"Saya naik tangga Pak. Kan...Bapak...waktu itu...suruh saya naik tangga...tiga lantai tiap pagi." Dara menjawab terbata-bata.
Dada Rafi yang sebelumnya berdebar kencang karena marah, langsung mereda. 'Ya Tuhan. What the hell I'm doing now? Kenapa gue berlebihan begini? Sh*t!!'
Rafi memijit kepalanya yang tiba-tiba sakit. Ada apa dengannya?
"Keluar."
"Iya Pak. Maaf." Dara hanya mengangguk lalu keluar ruangan.
Rafi memalingkan wajahnya lalu melihat sandwhich yang dia simpan saat Dara mentraktir gaji pertama. Lalu tangannya membuang sandwhich itu ke tong sampah kasar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro