Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 16 - Pantai

Bali.

"Mau kemana Pak?" Ini sudah hari ketiga mereka di Bali. Semua meeting dan urusan kerja sudah selesai. Saat ini mereka sudah berada di mobil yang dikendarai oleh Rafi sendiri.

"Beliin kamu baju." Rafi membuka dasinya. "Ra susah Ra buka dasi sambil nyetir ternyata, bukain dong."

Dara yang duduk disampingnya melonggarkan sedikit sabuk pengamannya dan membantu Rafi membuka dasi. "Saya nggak minta dibeliin baju Pak."

Mata Rafi berusaha untuk fokus berkendara saja. Dia menyesal sudah meminta bantuan Dara, karena saat ini tubuh Dara dekat sekali dengannya.

"Anggap aja ini hadiah, karena kamu udah temenin saya waktu di Yogya. Memberi hadiah itu hak saya, dan menolak rezeki itu dosa." Rafi tersenyum puas, tahu bahwa Dara tidak punya alasan untuk membantahnya kali ini.

'Ya ampun Pak, nggak usah senyum Pak. Silau, kegantengan. Ampun deh ni orang.' Ujar Dara dalam hati.

"Menolak hadiah pun juga hak saya, sekalipun itu nggak sopan." Dara sudah kembali duduk lagi.

"Saya nggak suka orang nggak sopan."

Dara mencebik sebal. "Bilang aja nggak mau ditolak."

"Nggak pernah ada yang coba tolak saya, atau bahkan berani tolak saya dan berhasil tolak saya. Kalaupun bisa, itu karena saya biarkan mereka lolos. Bukan karena saya setuju. Paham?" Rafi mengatakan hal itu datar saja.

Mereka tiba disalah satu butik di Bali. Rafi sudah keluar dari mobil diikuti Dara.

"Pak, beneran deh, saya nggak kepingin belanja dan dibelanjain. Lagian besok kita sudah balik ke Jakarta kan? Baju saya masih ada kok." Dara berusaha berdalih.

"Masuk." Rafi membuka pintu butik. "Saya nggak mau makan malam dan kamu pakai baju kerja begitu."

Didalam Dara hanya duduk saja. Ini salah satu aksinya karena benar-benar berusaha agar bosnya itu tidak memboroskan uang untuk sesuatu yang tidak perlu.

"Kenapa diam aja? Saya nggak suka orang nggak sopan, kan tadi saya sudah bilang."

"Pak, beneran deh. Ini nggak perlu. Besok kita sudah pulang. Ini namanya pemborosan. Bapak kan kemarin baru presentasi cost saving."

Rafi memijit ponselnya. "Nat, Dara pingin ngomong." Rafi menyerahkan ponselnya ke Dara.

Wajah Dara menggeleng tidak percaya. "Hi Mba. Maaf ngerepotin. Apa Mba bisa bilang ke Pak Rafi kalau nggak perlu beliin saya baju, tolong dong Mba. Please."

Nat tertawa lalu mulai berujar disana. Rafi hanya berdiri menikmati ekspresi Dara yang sedang mendengarkan Nat. Kadang wajahnya tersenyum tapi bisa langsung berubah datar, lalu pasrah. Dara memberikan telponnya kembali ke Rafi.

"Bapak jahat banget, pake ngadu ke Mba Nat. Saya kan jadi nggak enak."

"Dara, Nat itu bawahan saya. Tapi kamu malah lebih nurut sama dia. Kamu waras? Lagian ini butik Cynthia adik saya. Jadi itungannya uang saya pergi ke adik saya. Bukan pemborosan. Cepetan pilih."

Setelah episode panjang belanja di butik dengan segala pemaksaan dari Rafi, akhirnya selesailah mereka. Dara keluar dari butik mengenakan dress santai berkancing depan berwarna biru dongker dengan bunga-bunga kecil dan berpotongan leher V. Sepatu heelsnya juga sudah diganti dengan sepatu kets putih santai.

"Kita mau kemana sih Pak?" Mereka sudah berada di mobil lagi.

"Lihat sunset, makan. Kamu belum pernah ke Bali kan? Bali lebih cantik dari Yogya."

Dara diam saja.

"Ra?"

"Saya nggak nyaman." Dara menyuarakan apa yang ada di kepalanya.

"Kenapa?"

"Ini berlebihan."

"Apa?"

"Ini semua." Matanya lurus menatap jalanan didepan sebelum melanjutkan. "Bapak, Mba Nat, Mas Hilman, kantor, Bali, gaun saya sekarang. Ini bukan saya."

"Jadi kamu itu bagaimana?"

"Saya bukan yang seperti ini pokoknya." Dara bingung bagaimana bisa menjelaskan hidupnya yang jauh dari semua yang biasa bosnya nikmati.

"Jadi yang seperti apa?"

Dara diam saja, menatap jalan didepannya kosong. Sesungguhnya dia ingin berkata. 'Saya yatim piatu, sendirian. Uang? Biasanya itu hanya cukup untuk beberapa hari saja dan buat saya itu tidak masalah. Jadi, pekerjaan saya saat ini, orang-orang di kantor, harga baju ini, atau semua yang Bapak miliki, itu benar-benar terasa asing dan aneh. Tapi saya paham, Bapak tidak akan mengerti berapa kalipun saya jelaskan nanti.'

"Ra..."

Rafi menghela nafasnya. Dia sungguh tidak mengerti, kenapa Dara malah berwajah sedih seperti ini. Lalu dia membiarkan Dara larut dalam lamunannya sendiri.

***

Mereka sudah tiba. Rafi turun disusul dengan Dara. Hari sudah mulai senja dan pantai itu tidak terlalu ramai. Wajah murung Dara sudah berganti dengan senyum lebar melihat apa yang ada dihadapannya.

Pantai. Sudah berapa lama dia tidak melihat indahnya pantai? Entah, terlalu lama. Refleks Dara adalah membuka sepatunya dan menggenggamnya ditangan lalu menjatuhkannya di pasir sebelum air menyentuh kakinya bibir pantai. Dia sudah berlari dan tidak memperdulikan Rafi dibelakangnya.

Kakinya menyentuh air yang sedikit terasa hangat. Matanya menatap ajaib ombak yang menjilati pergelangan kakinya perlahan. Dia berjalan perlahan, tanpa ragu membiarkan kakinya basah oleh air. Dia suka apa yang dia lihat saat ini, dia tergila-gila. Luas langit yang seolah menyatu dengan garis pantai. Warna langit itu sendiri, atau warna lautnya. Entah, dia tidak bisa memilih mana yang paling dia suka.

Rafi menatap gadis itu dari dibelakang. Dia bersyukur wajah muram gadis itu sudah hilang dan sedikit terkejut dengan reaksi Dara saat ini. Apakah ini pertama kalinya Dara melihat pantai? Harusnya tidak kan?

"Dara. Makan dulu yuk." Rafi memanggil Dara dari pinggir pantai.

Dara membalik tubuhnya. Senyumnya masih ada disana. Kemudian dia berjalan ke arah Rafi.

"Ini belum waktu makan malam Pak. Ck..." Dara melihat Rafi kesal sambil memperhatikan bosnya itu yang masih dengan pakaian kerja.

"Kenapa muka kamu begitu?"

"Bapak paksa saya ganti pakaian, Bapak sendiri masih pakai setelan kerja. Terus ke pantai pakai sepatu begitu." Dara menggelengkan kepalanya kesal menatap Rafi dengan kemeja putihnya yang sudah digulung setengah lengan, tanpa dasi dan jas tapi tetap saja masih terlihat formil untuknya.

"Inget Dara, saya bos kamu. Suka-suka saya dong." Rafi berjalan mendahului Dara masih di pinggir pantai.

Lalu Dara nekat mendorong tubuh Rafi hingga sepatunya tercelup ke air. "Nah gitu baru impas."

"Dara, kamu berani-beraninya..."

Dara sudah berlari sambil tertawa usil.

"Dara, sini dulu." Rafi mengejar Dara yang berlari ke arah air lalu dia berhenti.

"Berani kejar saya kesini emangnya? Nanti sepatu Bapak basah, sayang. Mahal kan pastinya?" Wajah Dara meledek Rafi. Dia berdiri membelakangi laut sementara kaki telanjangnya sudah setengahnya tercelup air.

Rafi bertolak pinggang kesal. Lalu dia melepas sepatu dan kaus kakinya, melemparkannya begitu saja. "Awas kamu ya."

Dara membelalak tidak percaya sambil tertawa makin keras. "Pak, Pak, sayang sepatu Bapak Pak."

"Saya punya banyak dirumah." Kemudian Rafi mengejar Dara yang sudah berlari lagi menjauh. Pinggir gaunnya sudah hampir terkena air.

"Baju kamu basah Dara."

Dara hanya tertawa melihat Rafi yang mengejarnya. Untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar bahagia.

Rafi tidak tahu apa yang sedang dia lakukan, atau kenapa. Hal-hal tidak penting seperti ini biasanya tidak pernah terbersit dikepalanya. Ya, terakhir dia melakukan hal yang bodoh, membuang waktu dan tidak penting adalah dulu saat dia masih SMA, bersama Brayuda. Tapi tawa Dara seperti mengundangnya, mengajaknya untuk juga ikut tertawa bersamanya. Mengejar gadis itu yang kerap kali mengganggu pikirannya, agar dia bisa bungkam tawa dan wajah usilnya itu dengan sebuah ciuman. 'Wait what? Asli sinting lo ya Raf... Raaaff. Common Raf.'

Tubuh Rafi berhenti. Tangannya sudah berada di lengan Dara. Gadis itu masih tertawa dan meledeknya. Lalu tawa Dara berangsur reda. Melihat ekspresi Rafi yang berubah menjadi serius. Mereka sudah berdiri berhadapan.

'Jangan terbawa suasana Ra. Inget dia bos lo. Dewa-dewa diatas langit. Ingeeet, lo itu tikusnya Cinderella. Lo bahkan bukan Cinderella nya.'

Lalu Dara memiringkan kepalanya sambil tersenyum konyol. "Jangan selalu serius Pak. Bapak lebih keren kalau ketawa."

Mata Rafi terpaku pada sosok dihadapannya. Terpesona, tapi disaat yang bersamaan berusaha menolak apa yang sedang dia rasa. Dahinya mengernyit, merasakan detak jantungnya yang sekarang lebih cepat. Padahal dia tidak habis berolahraga. Lalu keinginan itu muncul, untuk memeluk gadis dihadapannya, untuk mencium...'stop!!'

"Kita balik ke hotel." Suara Rafi berubah datar. Tangannya melepaskan lengan Dara lalu tubuhnya berbalik ke arah bibir pantai.

"Nggak jadi makan?" Dara mengikutinya tanpa berdalih.

"Nggak jadi. Makan di hotel aja."

"Oke."

Dara menggelengkan kepalanya. Mengusir bayangan wajah Rafi yang barusan saja tertawa. Langit itu diatas, bumi itu dibawah. Itu mantra yang manjur ketika Dara hampir lupa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro