Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 15 - Dinas

Di Surabaya.

Pintu kamarnya diketuk. Lalu Dara membuka pintu.

"Kenapa ponselmu nggak diangkat? Bawa laptop dan ikut saya." Rafi sudah berjalan ke mengikuti Rafi dibelakang terburu-buru.

"Saya tadi ke kamar mandi Pak. Maaf." Dara menjelaskan. Lalu tubuhnya berhenti didepan pintu kamar Rafi yang sudah setengah tertutup.

"Dara, masuk." Rafi sudah berujar dari dalam.

'Apa ini wajar? Kenapa mesti didalam kamar?'

"Dara." Rafi memanggilnya lagi tidak sabaran.

Perlahan Dara masuk ke kamar Rafi. Bosnya itu sudah duduk di salah satu sofa berhadapan dengan laptop di meja. 'Aman Ra. Aman. Emang kerja kok. Nggak apa-apa, santai aja.'

"Tolong telpon Hilman, saya butuh data dari meeting kemarin. Minutesnya sudah kamu kirim?" Rafi menatap Dara yang masih berdiri canggung, lalu dia mengerti apa arti sikap canggung gadis itu.

"Sepatu kamu kemana?" Rafi melihat kaki Dara yang tidak mengenakan apa-apa.

"Saya buru-buru tadi."

"Kenapa berdiri jauh-jauh begitu?" Rafi lalu mengerti alasan dari sikap Dara. Entah kenapa sudah ada pikiran usil dikepalanya. Rafi berdiri kemudian berjalan mendekati Dara perlahan.

Gadis itu mendekap laptopnya lalu menundukkan wajahnya. Ketika bosnya itu sudah berdiri dekat berhadapan dengannya, Dara mundur satu langkah perlahan.

"Dara, kamu bukan tipe saya." Tangan Rafi menepuk-nepuk kepala Dara. Lalu beranjak kembali ke sofa sambil menyembunyikan senyum usilnya.

"Ya, saya juga tahu saya bukan tipe Bapak. Cuma saya nggak pernah..." Dara tidak melanjutkan kalimatnya lalu langsung duduk di sofa seberang Rafi. Tangannya sudah memijat nomor Hilman.

"Sore Pak Hil."

"Loh kok jadi Pak si Ra? Mas aja manggilnya." Sahut Hilman diseberang sana.

"Nggak boleh sama Pak Rafi. Harus pakai bahasa formil." Dara berbisik yang sia-sia. Karena Rafi sudah mendelik ke arahnya. Tawa Hilman diseberang sana terdengar.

"Siniin telpon kamu." Rafi meminta ponsel Dara tidak sabar.

"Man, saya butuh data yang kemarin kita discuss. Meeting lima belas menit lagi. Kirim sekarang." Hubungan dia sudahi.

***

Di waktu yang lain.

"Pak, makan dulu. Mau saya pesankan apa?"

"Hmm?" Rafi tidak bergeming. Dia masih berkutat dengan laptopnya.

"Bapak? Haloo?"

"Apa aja."

"Okey, saya beliin semur jengkol." Dara sudah ingin berlalu keluar dari kamar hotel Rafi.

"Dara, jangan mulai."

"Loh, kan katanya apa aja." Gadis itu berhenti didekat pintu dan tersenyum jahil. "Jengkol kan enak Pak."

Rafi menatapnya. Dia suka dengan apa yang dia lihat saat ini. Wajah Dara lelah dan kuyu, tapi matanya bersinar-sinar. Kaki jenjangnya tidak mengenakan apapun karena sepatu haknya sudah dia tenteng disatu tangan. Lalu wajah Aimi terbayang dipelupuk matanya. 'Sister complex dasar.' Suara Hilman bergema ditelinganya.

"Besok kita berangkat pagi. Sana istirahat. Sudah malam."

"Oke. Jengkolnya dimakan ya. Nanti saya minta diantar ke kamar."

"Hotel saya nggak jual jengkol Dara." Rafi hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat gadis itu keluar kamar sambil terkekeh geli.

***

Di Yogyakarta.

"Apa setiap tahun Bapak bepergian begini?"

"Sepanjang tahun. Tapi memang akhir tahun selalu jadi yang paling sibuk." Rafi masih mengetikkan memo terakhir untuk tim management Yogya jadi dia bisa beralih ke kota yang lain besok siang.

"Mba Martha selalu ikut?"

"Pasti."

Dara mengangkat kedua tangannya lalu meregangkan tubuhnya sambil menguap. Sudah pukul sebelas malam, tidak terasa. Diam-diam Rafi melihat Dara yang sedang meregangkan tubuhnya. Atau pada rambutnya yang sudah mulai acak-acakkan. Gadis itu duduk dihadapannya santai. Entah sejak kapan kakinya sudah melipat naik ke atas sofa dan itu membuat roknya sedikit naik terangkat. 

"Tidur sana Ra." Rafi mengembalikan mata dan pikirannya pada laptop dihadapan.

'Ya ampun, udah malem begini, kenapa si bos masih ganteng begitu ya? Apa nggak ada jeleknya dia? Benar-benar mahluk yang aneh.' Dara mengusir pikirannya sendiri.

"Besok pagi boleh nggak saya pergi sebentar? Besok sudah nggak ada meeting dan pesawat kita baru jam 1 siang."

Rafi menghentikan aktifitasnya. "Mau kemana?"

"Mau ke Malioboro. Saya belum pernah ke Yogya. Saya pingin banget lihat Malioboro."

"Kita kerja disini Ra."

"Oke." Dara mengangguk mengerti.

Rafi lalu berhenti dan menatap Dara. "Kamu nyerah begitu aja?" Tubuh Rafi bersender ke sofa.

"Loh, kan tadi Bapak bilang nggak boleh."

"Biasanya kamu selalu bantah saya. Kenapa kamu nggak bantah kali ini?"

"Karena waktu kerja memang bukan punya saya. Itu punya Bapak. Jadi ya saya nggak bisa bantah. Kalau soal ransel, sepatu butut, itu semua punya saya. Bapak nggak boleh ikut campur."

Ini menarik. "Apalagi yang saya nggak boleh ikut campur?"

"Antar mengantar. Itu sudah diluar jam kantor, jadi itu hak saya. Makan siang atau waktu istirahat itu juga hak saya. Terus..."

"Kamu banyak ngaturnya, tau nggak? Kamu tahu banyak yang antri kerja jadi sekertaris saya?"

"Tahu."

"Terus kenapa masih berani ngatur-ngatur saya?"

"Saya nggak ngatur Pak. Saya hanya berusaha memisahkan apa yang jadi hak saya dan apa yang bukan. Sama kayak semua baju ini, atau perlengkapan kerja saya. Saya paham benar ini semua bukan hak saya. Waktu kerja juga begitu."

"Ini sudah diluar waktu kerja, kenapa kamu masih disini?"

"Karena kamar saya letaknya cuma disebelah, saya nggak ada rencana apapun dan saya nggak tega lihat Bapak kerja sendirian. Sendiri itu, nggak enak lho Pak."

Rafi diam lagi sebelum berujar lirih. "Saya biasa sendirian."

"Saya juga, biasa sendirian. Mangkanya saya selalu senang kalau ada yang temani." Dara menguap lagi lalu dia berdiri.

"Mau kemana?"

"Mau balik ke kamar, saya ngantuk Pak."

"Nggak boleh. Saya belum selesai." Tiba-tiba saja Rafi tidak ingin sendiri.

"Nah, kalau gitu sekarang saya mau gunakan hak saya. Ini sudah jam sebelas lewat, saya mau bobo dulu ya Pak. Sampai ketemu besok pagi." Dara berlalu dari hadapan Rafi sambil menenteng sepatu haknya di tangan.

Lalu Rafi berujar. "Dara, saya nggak mau sendiri."

Langkah Dara terhenti, kemudian dia membalik tubuhnya. Berjalan kembali menuju sofa lalu merebahkan tubuhnya miring disana. Kepalanya sudah diganjal bantal sofa.

"Saya percaya sama Bapak dan saya yakin saya bukan tipe Bapak. Jadi, saya temani." Dara menatap Rafi yang masih duduk dihadapannya. Mungkin dia hanya kesepian. Malam ini, aku temani.

Rafi kembali pada laptopnya, sekalipun pikirannya sudah tidak ada disana. Setelah sepuluh menit dia melirik Dara yang sudah tertidur pulas di sofa. Dia berdiri, mengambil selimut di kasur lalu menyelimuti Dara.

Saat ini dia sudah berjongkok menatap wajah gadis itu sambil bertanya-tanya.

'What the hell that I'm doing now? This is sick.'

***

Keesokkan pagi.

Dara bangun lebih dulu, kaget karena bosnya itu masih tidur di sofa dihadapannya. Dia mendekati tubuh besar itu yang sekarang sedang tidur miring. Lalu dia berjongkok, menatap wajah bosnya yang biasanya kaku sekali.

'Wajahnya lucu banget kalau lagi tidur begini. Semalam dia tidur jam berapa? Apa nggak pegel tidur disini? Ada-ada aja.' Kemudian dia berlalu keluar kamar.

Rafi membuka matanya perlahan, menyadari bahwa detak jantungnya lagi-lagi mulai tidak beraturan karena adegan barusan. 'I'm sick, I'm definitely sick.'

***

Nah lho nah lho. Apa yang terjadi sama Bapak El Rafi? Ini bakalan tambah seru ya. So, stay tuned.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro