Part 14 - Di Udara
"Apa itu?" Rafi mengernyitkan wajahnya melihat ransel besar Dara. Mereka baru saja tiba di bandara. Sebelumnya Dara memang meletakkan ranselnya di bagasi mobil, jadi Rafi tidak tahu.
"Ransel Pak."
"Ini business trip Dara, bukan mau ke mall."
Dara tersenyum. "Ransel ini bukan jenis yang bisa dipakai ke mall juga sih Pak sebenarnya. Tapi ini anti air."
Rafi menggelengkan kepalanya. "Ikut saya."
Setelah urusan dokumen terbang selesai, mereka tiba di travel shop dalam bandara yang menjual koper segala jenis ukuran.
"Cari apa Pak?" Pelayan toko wanita langsung menghampiri dengan sigap.
"Samsonite yang light. Cabin size, hitam." Rafi berujar cepat.
Sang wanita membawa dua pilihan lalu Rafi menunjuk salah satunya cepat dan segera pergi ke kasir untuk membayar. Dara hanya melihat saja tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mereka sudah berada di pesawat jet pribadi keluarga Darusman. Dara benar-benar selalu harus mencubit dirinya sendiri untuk mengingatkan bahwa dia masih di bumi. Bagaimana tidak, lihat dimana dia sekarang. Pesawat jet pribadi. Dara bahkan tidak pernah bermimpi bisa naik pesawat kelas ekonomi. Dia hanya melihat hal-hal seperti ini dalam TV saja, ketika dia sedang bekerja paruh waktu. Salah satu artis ibukota yang cetar membahana itu yang sering naik pesawat macam begini.
Atau lihat bosnya itu. Seingat Dara, bosnya itu selalu terlihat sempurna. Tubuhnya tinggi atletis, kulit kecoklatan, rahang kuat dengan wajah aristokratnya. Setelan jasnya selalu licin, rapih tidak perduli jam berapapun itu. Juga rambutnya yang selalu on fleek. Atau wangi tubuhnya yang tidak berlebihan namun benar-benar maskulin, seolah menyempurnakan penampilan laki-laki itu. Semuanya sempurna dan itu berlebihan untuk seseorang seperti Dara.
Sebelumnya Dara percaya bahwa laki-laki dalam majalah atau iklan di TV atau papan iklan di jalan hanya ada disana saja. Tidak berwujud nyata. Apalagi dia bisa bekerja pada salah satunya. Sungguh itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Tapi saat ini, apa-apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, di jarak sedekat ini benar-benar sering membuat nafasnya sesak. Sesak karena rasanya tidak nyata, sesak karena realita yang dia alami sendiri tentang betapa kejamnya hidup terkadang.
Bagaimana tidak, satu kali lunch meeting bisnis bosnya adalah setara dengan biaya hidupnya dua minggu. Dara kerap kali berdecak kesal melihat angka-angka itu didepan matanya. Apalagi melihat tagihan kartu kredit bosnya. Jangan ditanya apalagi dibayangkan. Jadi biasanya setelah selesai membayar semua tagihan bosnya Dara hanya bisa mengurut dada dan banyak-banyak beristigfar. Semoga bosnya itu tidak lupa bersedekah setiap bulan.
"Duduk Ra. Sampai kapan kamu mau berdiri?"
Dara tersadar dari lamunannya, kemudian mengangguk dan mengambil posisi duduk disebelah Rafi.
Tubuh gadis itu gelisah, Rafi tahu. Karena tangan Dara mulai meremas pinggiran roknya. Kebiasaan gadis itu ketika sedang resah. Pesawat memang sudah mulai bergerak dan sedang bersiap lepas landas.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Saya..." Dara menelan salivanya gugup. "Saya belum pernah naik pesawat terbang."
"Tarik nafas Dara, ini hanya sebentar saja. Setelah di udara, semua akan terasa sama."
"Kalau pesawatnya jatuh?"
"Ya kebawah." Rafi tersenyum berusaha menenangkan Dara.
Dara tertawa kecil. "Tumben Bapak ngelucu. Itu lebih ajaib dari naik pesawat."
Lalu kali ini Rafi yang tertawa. "Kan kamu yang ngajarin."
Lalu pesawat mulai bergerak lebih cepat. Ketika take off, tanpa sadar Dara menggenggam tangan Rafi yang duduk disebelahnya, kuat sekali. Sambil memejamkan mata.
Reaksi Rafi adalah kaget dan bersumpah serapah dalam pikirannya. 'Wait, what is this? What is this?' Matanya menatap tangan Dara yang masih menggenggamnya. Bukan karena kuatnya genggaman Dara. Dahi Rafi mengernyit. Tapi kenapa dadanya berdetak-detak lebih keras daripada biasanya. 'No. definitely not. Ini hanya karena gue ketularan gugupnya dia aja. Yes, that's the reason. That's the only reason.'
Setelah pesawat mengudara. Perlahan Dara melepaskan genggaman tangannya. "Maaf Pak. Saya nggak sengaja."
Lalu mata itu menatapnya. 'Ya Tuhan Dara. Mata kamu...'
Rafi memalingkan wajahnya. "Nggak masalah. Tolong info jadwal saya."
"Oh iya Pak. "Dara mengambil tablet yang dia selipkan di samping kursi pesawat.
"Juga, sebelum kita turun, ganti ransel kamu dengan koper yang saya bel tadi."
"Nggak perlu Pak. Saya baik-baik aja..."
"Itu perintah, bukan pertanyaan. Saya nggak suka kamu bantah terus Ra."
'Bapak baru saja beli koper yang harganya setengah bulan gaji saya. Bagaimana saya bisa pakai koper model begitu.' Dara menahan kata-katanya.
Lalu dia menunduk berusaha melepaskan sabuk pengaman di pangkuannya. Satu-satunya pramugara yang ada menghampiri Dara untuk membantu. Lalu Rafi melarangnya mendekat. Dia sendiri yang membantu Dara melepaskan sabuk itu.
"Terimakasih." Dara berujar lirih. Dia takut bosnya tahu kalau entah kenapa dia gugup sekali. Ini efek dari lepas landas tadi.
"Mau kemana?"
"Mau ganti koper." Dara sudah berdiri. Koper dan ranselnya sudah diturunkan. Dia mulai memindahkan pakaiannya yang hanya berjumlah 6 helai saja.
Rafi memperhatikannya sambil duduk. "Kamu dibelikan Nat berapa baju?"
"Cukup."
"Cukup itu berapa?"
"Saya nggak menghitung, karena banyak."
"Cukup dan banyak itu bukan angka Ra. Jumlahnya berapa?"
"Delapan pasang."
"Cuma segitu memangnya cukup? Dan kamu nggak bawa baju tidur? Terus mana tas kosmetik kamu?" 'Raaaf, bukan urusan lo.' Dia memperingati dirinya sendiri.
"Mba Nat belikan saya cukup baju. Lebih dari cukup." 'Lebih dari yang saya punya bahkan.' Dara menambahkan dalam hati.
"Baju tidur, saya hanya bawa kaus saja dan saya jarang pakai kosmetik."
"Terus kamu tidur nggak pakai celana?" Refleks mulut Rafi berkata seperti itu, lalu dia langsung menyesalinya. 'Gila dasar lo Raf. Apa-apaan sih nanya begitu?'
Dara diam sejenak, berusaha mencerna pertanyaan bosnya barusan.
"Kalau ada acara formil gimana? Kamu nggak bawa dress apapun. Desi nggak ada disana lho." Rafi segera mengalihkan pembicaraan.
"Saya kesana untuk kerja Pak. Jadi ya saya hanya bawa pakaian kerja."
"Kamu disana untuk temani saya. Bisa jadi makan malam dengan klien penting, bisa jadi ada acara pembukaan atau peresmian, bisa jadi saya pingin pergi jalan-jalan."
"Makan malam dan acara pembukaan atau peresmian saya bisa pakai pakaian kerja saya. Bapak silahkan jalan-jalan sendiri. Karena saya tidak bawa baju yang pas."
"Saya sudah bilang kan kalau saya nggak suka dibantah."
"Saya juga nggak suka bantah Bapak dan tidak bermaksud begitu. Saya hanya menjelaskan."
"Itu namanya membantah." Rafi menatap Dara yang sedang duduk dihadapannya. 'Jangan lihat matanya Raf, jangan.'
"Maafin saya."
Mata Rafi beralih ke bibir Dara yang merah natural saja dan tampak sedikit basah karena lip gloss yang dikenakannya. 'Ya Tuhan, lo mikirin apa sih Raf?'
"Jadwal saya Ra, sekarang." Mata Rafi kembali menatap laptop yang sudah ada di pangkuannya.
Dara mengangguk lalu kembali duduk disebelah Rafi.
***
Pesawat sudah bersiap landing. Lalu Dara mulai gelisah lagi.
"Maaf Pak, saya..." Wajah Dara yang sedikit pucat disamping menatap Rafi cemas. "...takut." Dia melanjutkan kalimatnya.
Rafi tahu gadis ini tidak berbohong. Dia memang takut. Jadi Rafi mengangguk mengerti, kali ini lebih siap menerima tangan Dara yang sudah menggenggamnya perlahan.
"Ini nggak akan jatuh kan?"
"Sementara ini, menurut penelitian, alat transportasi teraman adalah pesawat dengan tingkat kecelakaan yang paling rendah." Rafi berujar ditelinga Dara.
Dara tersenyum sedikit lega.
"Tapi, kalau jatuh, penumpangnya jarang ada yang selamat."
Lalu senyum Dara hilang. Rafi tertawa kecil melihat perubahan mimik wajah Dara itu.
"Nggak akan ada apa-apa Ra. Nggak usah takut."
Genggaman tangan Dara menguat, dia memejamkan matanya sambil menahan nafas. Diam-diam Rafi melihat tangan besarnya itu yang sedang digenggam oleh Dara kuat. Tangan Dara terasa dingin dan diam-diam Rafi menyukai apa yang dia lihat. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang menggenggam tangannya bukan karena ingin berbisnis dengannya. Tangan itu, seperti mencari perlindungan dari ketakutan didepan mata.
Nah lo. Jangan keterusan ya Bapak Rafi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro