Part 11 - Gaji Pertama
"Assalamualaikuuum." Dara berseru gembira sambil menepuk punggung Mba Nani dan Tina yang sedang duduk selonjoran diteras kontrakan.
"Duh duh, kenape lo Ra? Kayak abis kesambet cengar-cengir gitu?"
"Pak Kuat..." Dara memanggil Pak Kuat yang baru saja ingin memasukkan gerobak dagangannya. "Sehat Pak?"
"Gue mah Kuat Ra, bukan sehat."
Dara tertawa.
"Elu kali yang nggak sehat nyengir mulu gitu. Abis menang togel lo ya?" Tebak Nani asal.
"Yee, enak aja. Pak, mie ayam masih ada?"
"Masih, kenapa emang? Mau borong?"
"Mau ya Pak, buat Mba Nani dan Tina nih."
"Serius Ra?" Nani menatap Dara curiga. "Abis dapet rejeki apa lo?"
"Kerjaan, jadi kuli tinta."
"Apaan tuh kuli tinta? Kuli bangunan gue tau."
"Yah nulis-nulis, terus bikin kopi kalau pagi, lumayan mah sedikit-dikit buat bayar kosan sama traktir mie ayam. Mau nggak?" Dara sengaja tidak berbicara gamblang tentang pekerjaannya. Karena alasan keamanan dari kejamnya gosip Nani dan keselamatannya dari palakan Bang Parto preman gang sebelah. Tetangga kosannya pun tidak ada yang curiga, karena Dara berangkat dan pulang kerja masih memakai pakaian sehari-harinya. Yang mereka tahu, Dara kerja di panti asuhan entah dimana.
"Ya mau lah. Makanan gratis kok. Wat, gue sambelnya yang banyak ye." Teriak Nani.
Lalu Meri menampakkan wajahnya dari jendela. "Dara, kita temenan kan?"
"Iya iya temen. Udah pada pesen sana. Duit gue abis deh, yang penting pada seneng deh semua." Dia menggigit bibirnya. Ini kebiasaanya ketika dia berbohong. Karena sesungguhnya sisa gajinya masih ada.
"Duit kosan gue, tambahin dong. Pinjem deh pinjem." Meri sudah duduk dibelakang Dara sambil memijit punggungnya.
"Heh, emangnya lu pikir gue emak lo apa? Enak aja. Gue yang nguli elo yang bayar kos."
"Emang lo Mer. Jangan lupa lo masih punya utang sama gue. Kutang 2 biji." Sahut Nani.
"Ih Mba Nani ih, utang tuh nggak boleh diinget terus Mba. Dosa."
Tina dan Dara tertawa melihat ekspresi Meri. Sementara Nani langsung bersungut kesal.
"Udah lo semua jangan pada berantem. Nih makan mie ayam masih anget. Gue setel dangdut ya." Kuat sudah meletakkan empat porsi mie ayam di teras kontrakkan.
***
"Ra? Ini apa?" Rafi melihat bungkusan sandwich di mejanya. Dia tidak ingat dia meminta sandwhich pagi ini. Dia tidak biasa makan pagi sesungguhnya, hanya kopi saja.
Dara yang baru saja masuk ingin membacakan jadwal rutin Rafi tersenyum. "Itu traktiran dari saya Pak. Saya nggak tahu Bapak sukanya apa. Kalau temen kosan saya sudah saya beliin mie ayam. Kemarin saya tanya Mba Nat Bapak suka makanan apa. Tapi namanya aneh semua, saya nggak paham. Terus Mba Nat malah ketawain saya. Terus dia bilang sandwich aja, aman dan simple."
"Emang kamu udah gajian?"
"Udah. Gaji pertama dan sisanya banyak banget."
"Oke, tapi sayangnya saya nggak sarapan. Kasih yang lain aja." Sahut Rafi tidak perduli.
Senyum Dara hampir menghilang, dia sedikit kecewa. Padahal 1 buah sandwich itu bisa ditukar 3 mangkuk mie pangsit Pak Kuat. Tapi ya sudahlah, mungkin itu memang bukan selera bosnya.
"Iya Pak. Maaf. Bapak pagi ini harus ketemu dengan Pak Hilman untuk concall dengan Pak Jacob jam 9.30. Jam 11 ada janji dengan Bapak Sanjaya...." Dara meneruskan jadwal Rafi sambil berusaha menutupi kekecewaannya.
Mata Rafi melirik Dara sejenak. Dia sedikit terkejut dengan reaksi Dara. Biasanya gadis itu akan berubah jadi menyebalkan dengan tingkah konyolnya. Tapi kenapa dia diam saja.
***
Sudah jam makan siang. Rafi keluar dari ruangannya karena Dara tidak menjawab telpon di meja. Mungkin gadis itu sudah pergi makan siang. Lalu dia melangkah menuju lobby bawah untuk membeli kopi dingin. Dia akan meminta Dara membeli makanan nanti.
Langkahnya terhenti. Ada Dara dan Hilman duduk salah satu bangku lounge kantornya. Mereka sedang mengobrol, tertawa. Dihadapan Hilman ada sebungkus makanan cepat saji yang sedang dia nikmati. Sejak kapan Hilman makan fast food?
"Hai Raf." Hilman menoleh ketika Rafi menghampiri dia dan Dara. Tawa Dara juga berhenti.
"Sejak kapan suka fast food?"
"Oh ini? Ini traktirannya Dara. Dia baik mau traktir saya." Hilman memang selalu bersaya-kamu ketika diluar ruangan dan masih di area kantor. Sekalipun dia dan Rafi berteman, dia tahu batasannya.
Sementara Dara makan bekalnya sendiri.
"Kamu cuma beli buat Hilman?" Rafi menatap Dara. Dia masih berdiri.
"Bapak makan fast food?"
"Saya tanya dan kamu tanya balik."
"Saya nggak paham Pak kalau Bapak suka fast food. Bapak mau saya belikan?"
"Nggak perlu. Saya nggak makan makanan seperti itu." Lalu Rafi berlalu.
***
Beberapa minggu kemudian.
"Nat, kamu nggak kasih Dara kartu kredit?"
"Kasih kok. Kenapa emang?"
"Ini approval reimbursenya dia lagi saya cek. Kok dia bayarnya cash semua?" Rafi melihat tanda di tagihan dari restoran-restoran tempat Rafi makan atau sarapan dengan tanda cash pada layar monitor.
"Jangan-jangan dia nggak bisa aktifinnya lagi Raf."
"Sebentar saya cek. Thanks ya." Hubungan disudahi. Rafi meminta Dara masuk melalui telpon mejanya.
"Ya Pak?"
"Kamu dikasih kartu kredit kantor kan sama Nat? Kok nggak dipakai?"
"Oh, uang saya ada kok Pak. Saya takut sama yang berbau kredit Pak. Menurut pengalaman saya sama Mba Nani tukang kasih kredit di deket kosan saya, bunganya itu bisa berkali lipat daripada pokok hutangnya Pak."
"Dara, gaji kamu itu berapa? Reimburse kamu lebih dari setengah gaji kamu Ra dan ini expense makan saya." Ya memang terkadang Rafi meminta Dara untuk membelikannya kopi, atau makan siang jika dia tidak sempat makan diluar.
"Gaji saya lebih dari cukup Pak. Karena Bu Nat nggak mau saya tawar lagi waktu itu."
Rafi tersenyum miris mendengar penuturan Dara. Matanya menatap Data dalam lalu dia menyadari sesuatu. "Ra, sini Ra berdirinya lebih dekat."
Dara maju beberapa langkah canggung. "Ada apa Pak?"
Rafi berdiri dari duduknya sambil mencondongkan tubuhnya sedikit. "Mata kamu warnanya coklat ya?"
'Duile ini Bos random banget. Barusan ngomongin reimburse, eh tiba-tiba ngomongin mata gue. Mana wanginya enak banget lagi. Ya ampun, tobat gusti Allah tobat.'
"Masa sih Pak coklat? Saya nggak tahu juga sih Pak."
Rafi berdehem sejenak lalu kembali ke posisi duduknya. Wangi bedak bayi Dara yang barusan dia baui sungguh sedikit mengganggu.
"Jadi di approve ya Pak reimburse saya."
"Nggak, mulai besok pakai kartu kredit kantor. Baru saya approve."
"Baik Pak. Permisi Pak."
"Baik apa?"
"Nggak apa-apa kalau nggak di approve Pak, tapi maaf saya tetap nggak mau pakai kartu kredit kantor."
"Dara!! Kamu bisa nggak sih nurut apa kata saya?"
"Iya Pak, tergantung untuk hal baik atau bukan. Berhutang itu tidak baik Pak."
"Kamu bisa langsung lunasi begitu reimburse kantor masuk. Jadi nggak berhutang kan?"
Dara diam saja. "Maaf Pak."
Rafi paham benar bahwa Dara kembali bersikap keras. Kenapa dia selalu mendapatkan sekertaris yang keras kepala?
"Pakai kartu saya. Jadi bukan kamu yang berhutang, tapi saya."
"Tapi Pak..." Rafi sudah melotot galak tanda dia tidak mau dibantah. Jadi Dara hanya bisa mengambil kartu itu dan melangkah keluar ruangan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro