Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

“Tapi, Der. Aku punya alasan.” Deryl terlihat frustasi. Sesekali menyibak anak rambutnya yang jatuh menutupi dahi dengan gelisah.

Dera enggan menatap si lawan bicara. Tangannya bersedekap, menghadap arah lain.

“Dera, tolong sekali ini dengerin penjelasanku,” pinta Deryl dengan nada memohon.

“Andai kamu jelasin enam tahun lalu, dan nggak ngilang kayak siluman, mungkin aja aku nggak begini. Setelah sekian lama, baru sekarang kamu mau jelasin? Too late, Deryl.”

Dera hendak pergi tapi Deryl berhasil menahannya. Laki-laki itu menghadang tepat di depan Dera. Memutuskan tidak menarik tangan perempuan itu seperti tadi, atau bogem mentah kembali hampir mengenai wajah tampannya.

Meski berbadan kecil, pukulan Dera tidak pernah main-main. Taekwondo yang ia tekuni di UKM kampus dulu hingga menyandang sabuk hitam, jelas masih tertanam dalam dirinya. Deryl agak terkejut saat hampir kena pukul tadi.

“Tapi, kamu tetap menungguku sampai sekarang.” Laki-laki itu memelankan suaranya.

Dera tersenyum kecut. “Nunggu kamu? Ge er!” Ia menggeleng tidak habis pikir. Kesalnya naik dua kali lipat.

Semilir angin malam semakin terasa dingin. Jembatan penyeberangan yang terhubung dengan halte busway itu tampak lengang. Andai Dera mengabaikan Deryl sejak melihat laki-laki itu berdiri di depan pintu halte rute tujuan Dera, makan obrolan panjang penuh emosi ini tidak akan terjadi.

Dera tidak mengerti bagaimana Deryl bisa seteguh itu mengejarnya. Selama enam tahun ke mana memangnya? Kenapa baru sekarang saat hati ini perlahan sembuh?

“Kudengar kamu belum menikah. Bahkan nggak punya pacar. Apa aku salah?”

Nada bicara Deryl terdengar menyebalkan bagi Dera.

Tau apa kamu?

“Lantas, kamu pikir itu karena aku nunggu kamu?” Dera menatap mata Deryl tajam. “Apa nggak sadar apa penyebabnya, sampai aku menutup hati ini rapat-rapat? Karena siapa, hah? Aku takut ketemu cowok kayak kamu lagi. Ngerti sekarang?” Dera meninggikan suara sampai tangannya mengepal tanpa sadar. Dadanya naik turun penuh amarah.

Deryl menunduk, hatinya terpukul. Benar, dirinya adalah penyebab luka hati Dera selama bertahun-tahun. Air matanya menganak sungai tanpa permisi. Pilu menyelimuti hatinya hingga sulit mengendalikan diri.

“Maafin aku, Der. Maafin aku.” Satu isakan lolos dari mulut Deryl. Membuat Dera mengendurkan kepalan tangannya.

Dera hafal perangai Deryl. Laki-laki yang dahulu sempat membuatnya bahagia melalui hari-hari itu, memang berhati lemah. Meski sedikit keras kepala, Ia tak pernah mengalahkan ego Dera. Meski begitu, baru kali ini Dera melihatnya sampai menangis.

Apa kamu beneran nyesel ninggalin aku? Apa Cuma kesel karena nggak aku kasih kesempatan?

Dera menghela nafas berat. Meski ada rindu di relung hati, sekuat tenaga ia menepis hal itu pergi. Bagaimanapun ia sangat marah pada Deryl.

“ Pergilah, Deryl. Aku harus pulang. Mama menungguku.” Dera berjalan melewati Deryl yang masih menunduk dalam. Kali ini, tidak ada yang menghalangi langkahnya. Kaki Dera terayun semakin jauh, tidak merasa ada yang mengikuti. Kemudian mempercepat langkah, menguatkan hati untuk tidak menoleh ke belakang.

Sepanjang perjalanan, ia terus menatap kosong keluar jendela. Gerimis turun saat mendekati halte. Dera merutuk dalam hati, karena hari ini ia lupa membawa payung lipat. Setelah turun dari busway, ia berjalan cepat menyusuri jembatan penyeberangan. Untungnya ada atap di sepanjang jembatan.

Dera berlari kecil saat masuk gang, tas jinjing ia jadikan payung meski hal itu percuma. Rambutnya tetap lepek sesampainya di serambi rumah. Setelah mengibaskan rambut dan tas, ia menarik gagang pintu ke bawah. Kemudian masuk setelah mengucap salam.

“Dera lupa bawa payung,” jelasnya tanpa Mama bertanya.

Mama mengambilkan handuk dan lap kaki, agar jejak kaki basah Dera tidak mengotori lantai ruang tamu. Wanita itu mengelap rambut Dera cekatan, kemudian memintanya membersihkan kaki.

“Tunggu bentar, ya. Sebentar lagi air panasnya siap. Mama lagi rebus air.” Mama tampak khawatir namun sangat piawai. Dera mengikutinya dari belakang hingga sampai di dapur. Kamar mandi berada di samping tempat favorit Mama itu.

Setelah Mama menyiapkan air hangat, lantas menyuruh Dera segera mandi. Dera menuruti tanpa banyak bicara. Ia masuk kamar mandi dan membersihkan diri. Sedangkan Mama pergi ke kamar anaknya. Bermaksud mengambil baju ganti dan handuk Dera.

Ruangan tiga kali dua setengah meter itu terlihat bersih. Meski Dera ceroboh, ia memiliki kebiasaan menata dan menyimpan barang pentingnya dengan rapi. Mama membuka lemari pakaian, mengambil setelan baju tidur warna kuning gading pada ambalan lemari plastik dengan pintu geser itu. Tidak ada meja rias di kamar Dera. Ia bilang, cermin yang terdapat di pintu lemarinya lebih dari cukup untuk sekedar menggambar alis.

Mama tersenyum melihat kamar bernuansa kuning dan putih itu. Terlihat seperti kamar remaja tanggung yang ceria. Meski Mama suka bersih-bersih, Dera memintanya untuk mempercayakan kamar pada Dera. Walaupun Mama yang menata pakaian Dera dalam lemari, selebihnya adalah privasi Dera.

“Mama! Minta tolong handuk, hehe....” Dera menyembulkan kepala pada pintu kamar mandi yang ia buka sedikit.

“Okay, tunggu bentar, Der!” teriak Mama dari dalam kamar Dera.

***

“Permisi, Anda kenal dengan Dera? Marketing sertifikasi ISO yang bekerja di gedung ini?” Setelah mendapatkan informasi dari resepsionis, Deryl menghampiri Kafka yang baru kembali dari istirahat makan siang.

Alis Kafka bertaut. Laki-laki berkulit putih dengan kemeja biru langit itu menatap Deryl penuh selidik. Ia sedikit mengangkat dagu saat bertatapan dengan Deryl.

Tingginya berapa?

Deryl berdehem, Kafka tidak merespons kode tidak nyaman darinya. Mata laki-laki itu menyisir penampilan Deryl dari gaya rambut sampai ujung pantofelnya.

“Maaf?” ucap Deryl akhirnya.

“Dera Adisti?”

“Iya, benar. Dera Adisti. Anda mengenalnya?” terbit harapan baru dalam hati Deryl. Bagaimanapun ia harus menjelaskan semuanya. Paling tidak, perempuan itu tahu bahwa ia tidak pernah sekalipun melupakan Dera. Selama enam tahun ia dilanda rindu tak berkesudahan. Meski semua salah ada pada dirinya, Deryl ingin Dera memberinya kesempatan.

“Tentu saja. Bahkan bukan sekedar kenal. Bisa dibilang, kami amat sangat dekat.” Kafka menekan kalimat terakhirnya. Agar terdengar jelas bahwa ia terganggu dengan visual Deryl.

Deryl tersenyum aneh. Melihat gelagat lawan bicaranya, jelas orang itu naksir Dera.

“Saya Deryl, Owner Persada Food. Rekan saya tidak bisa dihubungi, padahal saya tidak menyimpan nomor Mbak Dera Adisti. Boleh sampaikan padanya, ada beberapa hal yang harus kami diskusikan kembali.”

“Oh Anda kliennya Dera? Saya kira siapa.” Kafka tersenyum kikuk. Sedangkan Deryl terlihat santai. Meski setiap kali menyebut nama Dera, getaran dalam dadanya semakin cepat terpacu.

Setelah mengiyakan permintaannya, Kafka mempersilakan Deryl menunggu di sofa tamu lobi. Sedangkan Kafka buru-buru naik lift karena malu.

Sesampainya di ruang kantor, Kafka mencari keberadaan Dera. Perempuan itu mengenakan blazer dengan potongan lengan tiga perempat berwarna abu tua. Menampilkan jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. Sejenak Kafka mengagumi penampilan Dera.

Ah, gimana bisa dia masih jomlo sampai sekarang?

“Minggir, Kaf!” Mbak Mel menyenggol bahu Kafka dari belakang. “Ngapain bengong di pintu?”

“Ah, iya. Mbak Mel, sih,” ucapnya.

Mbak Mel terheran-heran dengan sikap laki-laki yang mengaku berusia tiga puluh itu. Tingkahnya jelas seperti ABG labil.

“Dera!” panggil Kafka.

Dera yang sedari tadi tengah menghitung kendaraan di bawah sana pun menoleh.

“Klien kamu nyariin, tuh. Katanya ada yang mau dibahas bareng kamu.”

“Klien yang mana?”

“Persada Food.” Kafka sedikit mengalihkan pandangan saat Dera berada tepat di hadapannya. Mundur satu langkah demi memastikan debaran kencang di dadanya tidak terdengar oleh Dera.

“Cewek atau cowok, Kaf?” Dera ingin memastikan siapa di antara Nadin dan Deryl yang ingin bertemu dengannya.

“Laki, Pak De... rryl? Iya kalau nggak salah namanya Deryl.”

Dera menggigit bibir cemas. Aduh nekat banget, sih ampe minta ketemu di jam kerja.

Melihat Dera dengan ekspresi sedemikian rupa, Kafka menelan ludah dengan susah payah. Gawat, dia imut banget, Tuhan!

“Boleh minta tolong nggak, Kaf?”

“A-apa?”

“Temenin aku ke bawah, please!”

***  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro