
BAB 4
Senin pagi memang sangat sibuk. Macet di mana-mana, juga beberapa orang yang berjalan terburu-buru. Entah untuk mengejar pintu busway, atau menyeberang jalan. Ada juga yang menelepon dengan melihat jam tangan berkali-kali.
Dera berjalan cepat, setengah berlari. Mencoba mengejar pintu busway yang masih terbuka. Kalau tertinggal, ia harus menunggu sekitar lima belas menit lagi untuk mendapatkan busway yang menuju kantornya.
Tepat setelah ia masuk, pintu angkutan umum itu tertutup. Karena tidak ada tempat duduk yang kosong, Dera berdiri dengan berpegangan pada tiang besi. Mengatur nafasnya satu dua.
Hampir aja, bakal ketinggalan kalau nggak cepet tadi.
Penumpang busway sangat ramai, bahkan sedikit berdesakan. Angkutan umum berwarna biru dan panjang itu memang banyak diminati. Selain kereta, busway juga menjadi pilihan bagi pekerja kantoran. Beberapa kali Dera terdorong pelan maju dan mundur, saat busway berhenti dan bergerak kembali. Karena sudah terbiasa, Dera tidak mempermasalahkan hal itu.
Sampai di halte tujuannya, Dera segera turun dan bersiap berjalan cepat lagi. Gerakannya energik dan lincah. Genangan air di beberapa trotoar yang landai ia lompati dengan mudah.
“Dera!” panggil seseorang di belakang.
Dera oleng saat hendak menoleh. Sepatunya mendarat di tempat licin, hingga tubuhnya tidak seimbang. Ia sudah pasrah dengan menutup mata, berteriak sekuat tenaga. Kedua tangannya terangkat ke atas hingga tas jinjing di bahu jatuh terlebih dahulu.
Dera masih menutup rapat kedua mata. Eh kok nggak jatuh? Merasa ada yang menahannya. Saat membuka netra, ia melihat Deryl. Ternyata laki-laki itu yang menyelamatkan paginya.
Segera Dera bangun dan menegakkan diri. Terlihat kikuk, pura-pura membersihkan rok hitam selututnya. Lalu memungut tas jinjing yang terlempar sekitar dua meter darinya.
“Kamu nggak apa-apa?” Suara bariton Deryl terdengar khawatir.
Dera hanya menggelengkan kepala. “Terima kasih. Tapi saya harus pergi sekarang.”
“Dera, Aku mau ngomong sama kamu sebentar,” pinta laki-laki itu.
“Maaf, Pak. Tapi, saya benar-benar harus pergi sekarang,” ucap Dera datar.
“Makan siang nanti, tolong temui aku di kafe lobi kantor kamu, please.” Deryl memohon dengan sungguh-sungguh. Meski begitu, Dera tidak goyah. Perempuan itu tersenyum lalu pergi.
Dera mempercepat langkahnya. Menahan emosi sejak di hadapan Deryl. Laki-laki dengan setelan jas berwarna abu muda itu tampak gagah, gaya rambutnya yang rapi cocok sekali. Juga bulu halus di sekitar pipi dan dagunya, tampak tipis dan menawan. Dera sempat terpana tadi.
Pada pertemuan pertama, ia tidak begitu memperhatikan penampilan mantan kekasihnya itu. Sampai tadi sempat goyah. Tapi, Dera dapat dengan cepat menepis hal itu.
Jangan goyah wahai hati.
Dera sampai di lantai empat dengan sedikit terengah. Ia merasa telah lari dari kenyataan. Setelah meletakkan tas di sebelah komputer, ia duduk dengan sedikit membanting tubuhnya. Menyandarkan diri seolah lelah akan hilang dengan sedikit meregangkan badan.
“Pagi, Mbak Mel, Dera.” Kafka datang lima menit setelah Dera. Mbak Mel yang datang lebih cepat satu menit dari Kafka, kini duduk di sebelahnya.
“Mana Mbak Siska?” tanya Kafka entah pada siapa.
Dera hanya mengangkat bahu untuk menanggapi. Sedangkan Mbak Mel tengah sibuk dengan ponselnya.
“Katanya lagi ada urusan sebentar,” ucap Mbak Mel.
Dera mulai menyalakan komputer dan juga ponsel kantor yang ia bawa. Memeriksa email dan pesan masuk. Jemarinya menari lincah di atas keyboard komputer. Membalas email satu persatu. Sesekali tangan kanannya menggeser tetikus. Setelah selesai dengan email, ia beralih pada ponsel kantor, membalas beberapa chat pada aplikasi hijau.
Mbak Mel juga melakukan hal yang sama, rekan Dera itu juga seorang marketing. Wanita berhijab itu fokus dengan komputernya. Sesekali berdiskusi dengan Dera.
Sedangkan Kafka masih bersenandung santai di meja kerjanya. Sesekali mencuri pandang pada Dera. Melihat perempuan itu semangat dan serius dalam pekerjaannya, membuat Kafka terpesona. Aura di sekeliling Dera mampu mengalihkan dunia Kafka.
Dera tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. “Bolong nih, kepalaku lama-lama, Kafka.”
Sontak Kafka salah tingkah lalu mengalihkan pandangannya. Hal itu membuat Mbak Mel tertawa. Dua jomlo yang tidak terima dibilang jomlo itu sama-sama lucu di matanya.
***
Dera teringat permintaan Deryl pagi tadi. Laki-laki itu minta bertemu saat makan siang. Tapi, Dera ragu. Takut kembali terpesona, atau bahkan luluh padanya lagi. Meski tak sedikit pun ia pungkiri, dirinya pun rindu setengah mati. Meski ia berhasil memenangkan marahnya.
“Makan bareng, yuk!” ajak Siska.
Dera yang sebenarnya kelaparan spontan mengiyakan ajakan Siska, lantas beranjak dari kursi, membawa serta ponselnya.
Mereka berdua menuruni gedung menggunakan lift. Banyak lalu lalang karyawan di lobi. Ekor mata Dera menangkap sosok Deryl duduk di bangku tamu lobi tidak jauh dari tempatnya berdiri. Membuat Dera sontak bersembunyi.
Siska yang kebingungan, memanggilnya beberapa kali. Pot besar dengan palem kecil itu sempurna menyembunyikan tubuh mungilnya. Sedangkan Siska terus memanggil namanya, hingga Deryl menoleh mencari sumber suara.
Laki-laki itu berdiri, melihat ke arah Siska penuh tanya. Sedangkan Dera yang tengah bersembunyi berkali-kali memberi kode pada Siska agar berhenti memanggilnya. Jari telunjuk terus ia letakkan di depan bibir.
“Dera?”
“Uwaaaaaa!” Dera terlonjak kaget melihat Deryl berdiri di belakangnya. Ia melihat tempat yang Deryl duduki tadi, lalu bergantian melihat Deryl lagi.
K-kok b-bisa?
“Kamu nggak berubah, Dera.” Laki-laki tersenyum melihat Dera yang berjongkok melihatnya.
Siska menghampiri lalu membantu Dera berdiri. Matanya memberi kode, menanyakan siapa laki-laki yang membuatnya teriak itu.
“Ah itu Mbak Siska, kenalkan ini Owner Persada Food, klien aku.” Dera berusaha meredakan getaran aneh dalam dadanya.
Mbak Siska mengulurkan tangan kemudian disambut oleh Deryl.
“Saya Siska, auditor di tempat Dera bekerja. Senang bertemu Anda.”
Setelah berbasa-basi sebentar, Dera menarik tangan Siska. Pamit pada Deryl untuk makan siang. Deryl yang masih mematung di tempat, kemudian menunduk.
Sudah pasti nggak semudah itu. Dia pasti marah banget.
Lalu ia duduk kembali di sofa tamu lobi. Memutuskan menunggu Dera selesai makan siang dan kembali.
Di samping itu, Dera dan Siska makan siang tidak jauh dari gedung kantornya. Sebuah rumah makan khas padang. Seperti pada umumnya, tempat makan itu menyediakan banyak sekali menu dan beberapa varian sambal.
Dera memesan nasi dengan gulai ayam, lengkap dengan pucuk ubi serta sambal hijau. Sedangkan Siska lebih suka nasi dengan rendang. Tentu saja pucuk ubi dan sambal hijau tidak ketinggalan.
Mereka duduk di kursi kayu dengan banyak ukiran setelah mencuci tangan. Meja persegi panjang yang di cat senada dengan kursi, perlengkapan makan seperti sendok, garpu, dan tisu tersedia di atasnya. Tapi siapa pun pasti setuju, bahwasanya makan nasi padang lebih enak jika memakai tangan langsung.
Tempat makan ini menyediakan wastafel panjang untuk cuci tangan dengan beberapa keran di dekat toilet. Jadi, tidak ada mangkuk kecil berisi air kobokan di meja.
Setelah menunggu beberapa menit, pesanan Dera dan Siska sampai di meja mereka. Dera tidak sabar menyantap hidangan di depannya. Gulai ayam restoran padang memang tidak pernah gagal. Potongan paha besar itu membuat perutnya semakin keroncongan.
“Der, klien kamu..., kayaknya kalian udah lama kenal, ya?” tanya Siska setelah suapan pertamanya.
Dera menautkan alis. “Dari mana Mbak Siska tahu?” Ia keceplosan.
“Kepala kamu ‘kan, transparan.”
“Hah?” Dera membulatkan kedua matanya.
Siska terbahak hingga hampir tersedak. Dera buru-buru membuka botol air mineral, kemudian mengulurkan pada rekan kerjanya itu.
“Ngeledek, sih. Mbak Siska kena instan karma, kan.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro