Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 2

Setelah sambungan telepon terputus, Dera mencoba menenangkan hatinya. Meyakinkan diri bahwa bukan satu dua orang memiliki nama yang sama. Tangannya berkeringat, mendengar nama itu disebut saja ia sudah seperti ini.

“Mbak Adis,” panggil seseorang yang sontak membuatnya mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Dera terkejut saat bertatapan dengan orang itu. Calon klien pun tampak sama kagetnya. Apa yang baru saja Dera takutkan, kini benar-benar terjadi. Deryl yang Nadin maksud adalah Derylnya. Tepatnya Deryl yang itu.

Keduanya terpaku beberapa saat, sampai akal sehat Dera kembali. Ia tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Terlepas dari siapa orang yang kini ada di hadapan, Deryl tetap calon kliennya. Ia menahan sekuat tenaga agar amarahnya tetap terbendung aman selama beberapa menit ke depan.

Dera menahan diri untuk tidak menampar laki-laki itu. Seperti janji pada dirinya dulu, jika bertemu lagi dengan Deryl, maka ia akan menghajarnya.

“Selamat siang, Pak. Saya Adisti, silakan duduk. Saya sudah memesankan minum untuk Anda. Maafkan saya kalau tidak cocok, karena saya pikir Bu Nadin yang akan datang.” Dera tetap tersenyum meski mati-matian menahan panas dalam hatinya.

Deryl duduk, namun tatapannya tidak lepas dari Dera. Tampak sekali ketegangan dalam sorot matanya.

“Ini hard copy proposal dari kami. Silakan Bapak baca terlebih dahulu.” Dera menyerahkan map biru berisi proposal penawaran sertifikasi ISO.

Deryl dan Nadin membangun startup bersama di bidang minuman kemasan. Setelah berjalan lebih dari satu tahun, mereka berencana mendaftarkan produknya ke BPOM. Ternyata salah satu syaratnya adalah memiliki sertifikat ISO.

Tangan Deryl menyambut map dengan gemetar. Hatinya sakit melihat Dera seolah tidak mengenalinya. Ia tahu, perempuan itu pasti membencinya setengah mati. Mata nyalang Dera membuatnya bergidik.

Dera menjelaskan beberapa sertifikasi kepada Deryl. Suaranya terdengar bergetar beberapa kali. Menggeser laptop menghadap Deryl.

“Perusahaan Bapak akan membutuhkan tiga sertifikat ini. Ini masing-masing harga barunya, dan yang sebelahnya adalah harga surveillance, yang harus dibayarkan di tahun ke dua dan ke tiga.”

Deryl menekuri tabel yang ditampilkan pada layar laptop. Berusaha bersikap profesional sebagaimana yang dilakukan Dera.

“Kira-kira berapa lama prosesnya, Mbak?” Akhirnya Deryl bertanya.

Sebelum menjawab, Dera menghela nafas untuk menahan amarahnya lebih kuat lagi. “Lima sampai enam hari kerja. Atau bisa lebih cepat jika tim kami sedikit luang.”

“Untuk persyaratan bagaimana?”

“Persyaratan sudah kami tulis lengkap di halaman ke enam proposal, Pak. Setelah penyerahan persyaratan dan DP, sertifikasi langsung kami proses.”

Kalimat Dera terdengar samar oleh Deryl. Ia kembali tidak fokus dengan pembicaraan. Setelah setahun lebih menahan diri tidak menemui pujaan hati, kini malah bertemu tanpa persiapan sama sekali.

Deryl menatap wajah yang tidak berubah itu, masih persis seperti enam tahun lalu. Mata lebar yang selalu berbinar saat berbicara. Senyum yang menampakkan ceruk kecil pada pipi kanannya itu. Sedikit berubah karena gaya rambut saja. Senyum yang meski pura-pura, tetap menghadirkan hangat dalam dada.

“Bagaimana, Pak? Ada yang mau ditanyakan lagi?” Dera sekuat tenaga menatap laki-laki yang dulu pernah singgah di hati. Andai bukan calon klien, tentu Dera sudah melampiaskan kemarahannya sejak tadi. Tangan kirinya mengepal di bawah meja. Hatinya sesak dengan perasaan aneh.

Deryl mengangguk pasti. Menahan diri menanyakan kabar, takut Dera menganggapnya kurang ajar. Lebih baik ia mengatur waktu lagi untuk menemui Dera secara pribadi.

“Saya mengerti. Garis besarnya, semuanya akan diproses setelah pihak kami bayar DP. Jadi sepulang dari sini, kami akan transfer, ya.”

Dera tersenyum, kali ini tampak dua kali lebih menyeramkan di mata Deryl. “Lebih tepatnya setelah bayar DP dan persyaratan dipenuhi.”

“Baik. Mohon kerja samanya.” Deryl mengulurkan tangan, menunggu Dera menyambut.

Dera terpaku sejenak sebelum akhirnya menjabat tangan laki-laki itu.

Pertemuan berakhir deal. Mereka berpisah setelahnya. Dera kembali naik ke lantai kantornya dengan sedikit mengentakkan kaki. Gemuruh dalam hati tak kunjung mereda. Tangannya mencengkeram laptop dengan erat, takut refleks membantingnya.

Dera masuk ke ruang kantor dengan kesal. Kobaran api masih membakar emosinya. Ingin teriak, tapi berpikir lagi.

Kafka menyadari kemarahan rekan cantiknya itu. Berinisiatif meletakkan sebotol air mineral yang baru ia ambil dari pantry, di meja Dera.

“Minum dulu, Der. Awas kebakaran.”

Bukan menerimanya, Dera menatap nyalang ke arah Kafka. Lalu pergi begitu saja setelah meletakkan laptop di atas meja.

“Mbak Siska!” panggil Kafka. Lalu mendekati meja auditor itu.

“Yooo....” Siska masih sibuk dengan layar PC-nya.

“Dera abis dari mana, sih?”

“Ketemu calon klien di kafe bawah kayaknya. Tadi turun bawa laptop sama map yang dari kamu.”

“Oh, terus gimana? Apa ada masalah? Atau nggak deal, Mbak?”

“Kafka ganteng, mana aku tahu. Kamu tanya sendiri sana ke Dera.” Siska mengibaskan tangan mengusir Kafka. Laki-laki berhidung bangir itu mencucu lalu berjalan malas ke meja kerjanya.

***

“Assalamualaikum. Dera pulang...,” ucapnya lalu menutup pintu kembali.

Mama yang tengah makan, berdiri menyambutnya.

“wa'alaikum salam, macet banget ya? Jam segini baru sampai. Bebersih terus mandi sana, abis itu makan. Ada yang mau mama omongin nanti.” Wanita yang bulan depan genap berusia lima tiga itu tersenyum hangat.

Dera memeluknya sebentar sebelum akhirnya masuk ke kamar. Ia hanya punya mama, setelah papa menyerah dengan sakitnya tiga tahun yang lalu.

Di dalam kamar, Dera meletakkan tas jinjingnya asal. Mematut dirinya di depan cermin, lelah sekali rasanya hari ini. Batinnya. Kemudian mengambil handuk yang digantung di belakang pintu kamar. Ia lupa menjemurnya di depan tadi pagi.

Dera berhenti sejenak, melihat sekitar kamar dengan bingung, tapi sejurus kemudian sadar bahwa ia tidak memiliki kamar mandi di dalam kamar. Ia tertawa sendiri, lalu membuka pintu kamar menuju kamar mandi.

Rumah minimalisnya memiliki dua kamar, miliknya dan satu lagi kamar mama. Setelah membuka pintu, akan terlihat sebuah rak sepatu lalu rak yang berisi pot tanaman hijau milik mama. Juga sofa panjang abu tua yang aesthetic, dengan meja putih berbentuk dua lingkaran. Tidak lupa pot dengan tanaman hijau hidup di atas meja lingkaran yang lebih kecil.

Mama menatanya dengan sangan elegan. Berbeda dengan Dera yang cenderung asal, Mama memiliki jiwa seni yang tinggi.

Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, Dera keluar kamar untuk makan. Mencoba menghapus ingatan tentang pertemuannya dengan Deryl pagi tadi. Mama tengah duduk lesehan menonton televisi. Acara menebak beberapa kata dari survei itu ternyata ada lagi. Dulu saat Dera masih kecil sering menontonnya juga.

“Mama masak apa?”

“Capcai. Itu di bawah tudung saji. Selesai makan ke sini lagi, ya,” titah mama yang dibalas acungan jempol oleh Dera. Setelah menyendok nasi, ia duduk di meja makan, membuka tudung saji kecil yang menggemaskan. Terlihat semangkuk capcai dan beberapa sayap ayam dengan saus merah menggugah selera. Tanpa menunggu lama, Dera melahap makan malamnya.

Ruang makan dan tempat mama menonton televisi hanya bersekat pintu kaca transparan. Sedangkan ruang tamu menyatu dengan ruang televisi. Dapur, meja makan, kamar mandi, dan ruang cuci beserta tempat menjemur ada di bagian belakang pintu kaca. Atapnya juga kaca, kata mama biar tetap mendapat cahaya matahari dan jemuran cepat kering.

Setelah nasi di piringnya raib, Dera minum segelas air sampai tandas. Menumpuk gelas itu di atas piring kotor, lalu mencucinya di wastafel dapur. Setelah beres, ia menghampiri mama. Duduk di sebelah wanita itu, menggelayut manja pada lengan Mama.

“Enak?”

“Apa pun yang Mama masak selalu enak. Makasih, Mamaku yang cuantik dan jago masak,” puji Dera.

Mama tertawa. “Kamu saja yang doyan makan. Tapi heran, ke mana ya makananmu lari? Perasaan masih mungil aja anak mama.”

“Ma, ini tuh anugrah. Banyak yang iri tahu, nggak perlu worry makan apa aja, nggak  perlu menyiksa diri dengan diet ketat.” Dera menepuk-nepuk perutnya.

Mama tergelak mendengar celoteh anaknya. Wajah itu menampilkan garis halus di sekitar mata. Di usia yang tak muda lagi, terkadang membuatnya menginginkan kehadiran seorang cucu. Tapi, ia tak mungkin memaksa Dera menikah hanya karena impian kecilnya itu.

“Katanya ada yang mau diomongin, Ma?”

Wanita itu menghela nafas berat. Sedikit ragu mengatakan maksudnya. “Emmm..., gini Der. Kamu ingat Galih?”

Lagi. Sudah dua kali ia mendengar pertanyaan yang sama. Dera tahu Tante Maura, tapi entah kenapa tidak ada Galih dalam memorinya.

“Anaknya Tante Maura. Baru pulang dari Kanada. Tante Maura minta mama buat jadi besannya.”

Kedua alis Dera bertaut. Tapi mencoba mendengarkan penjelasan Mama lebih lanjut.

“Anaknya baik, sopan dan sudah mapan. Sebenarnya Mama setuju kamu nikah sama dia.”

“Mama jodohin aku?”

Mama mengangguk dan teesenyum sangat manis.

Sedangkan Dera, “Aduh Mamaaaaa!”

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro