II. Gara-Gara Tali Sepatu
Irene yang berjalan sambil berbincang dengan ponsel tidak sadar bahwa tali sepatunya terlepas, sehingga ia tidak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri dan terjatuh tepat di depan lift.
"Irene!" seru Ghava saat melihat perempuan itu dengan cerobohnya terjatuh.
Irene mendongakkan kepala saat sepasang sepatu pantofel hitam mengilap terhenti tepat di depan matanya. Matanya menyisir mulai dari sepatu, celana berbahan wool, serta atasan yang berbalut jas.
Ghava segera menghampiri Irene dan membantunya bangkit. "Maaf," ucapnya sambil menunduk ke arah lelaki tersebut. Lelaki yang tidak dikenal itu berdecak sambil geleng-geleng kepala.
"Kenapa kamu minta maaf? Kita nggak ngelakuin kesalahan apa pun," tanya Irene tidak mengerti dengan sikap Ghava.
"Kamu tidur di lantai tepat saat lift terbuka. Itu bisa menghalangi jalan para tamu," jelas Ghava singkat.
"Aku nggak tidur dan aku nggak halangi jalan mereka. Ini jalannya masih luas, kok. Mereka bisa ambil langkah ke kiri dulu, terus maju dua langkah, terus ke kanan dan lanjutin langkahnya sampai ke tujuan. Badan aku kecil gini, masa' bisa-bisanya kamu sebut menghalangi jalan," protes Irene sambil menunjuk sudut-sudut jalan yang bisa dipilih oleh lelaki tadi tanpa harus menunggunya bangkit terlebih dahulu.
Ghava segera menarik lengan Irene untuk masuk ke dalam lift. Ia tidak boleh membiarkan omelan Irene terdengar sampai ke telinga tamu. Itu bisa menurunkan rate hotel mereka dari segi pelayanan secara tidak langsung.
"Irene, kamu pernah dengar istilah bahwa tamu adalah raja, kan? Kita memang bukan yang mengagungkan mereka, tapi kita harus memberikan pelayanan terbaik untuk mereka," papar Ghava hati-hati agar tidak menambah emosi Irene.
Irene hanya menanggapi ucapan Ghava dengan komat-kamit tanpa bersuara. Ia paham tentang istilah yang disebutkan Ghava, tapi bukan berarti tamu juga bisa seenaknya, kan? Ia masih tidak habis pikir lelaki itu bersedia menunggunya bangun terlebih dahulu tanpa mengambil jalan lain. Apa otaknya tidak menemukan alternatif? Ah, ia sampai melupakan panggilannya yang terputus dengan papanya karena kejadian itu.
"Kamu benar akan pulang dengan taksi?" tanya Ghava kembali memastikan setibanya mereka di lobi hotel.
"Nggak jadi. Alara akan menjemputku," jawabnya dengan bibir yang ditarik paksa.
"Baik, aku akan menemanimu hingga temanmu itu datang," pungkas Ghava.
Irene tidak menanggapi. Mereka berdiri di depan pintu hotel dengan saling diam. Irene sibuk dengan ponselnya, berselancar di salah satu toko online untuk melihat barang apa lagi yang bisa dimasukkan keranjang. Untuk saat ini, ia belum bisa boros seperti biasanya, sebab saldo rekeningnya sudah tidak banyak. Sebelum pergi dari rumah, ia baru saja belanja sampai lima juta, sehingga sisa duitnya tidaklah seberapa. Ia tidak tahu bahwa ia akan pergi dari rumah dan harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Andai dirinya tahu apa yang akan terjadi, mungkin ia bisa menghemat atau menunda membeli tas branded dengan logo LV itu.
"Irene, kalau ada yang mengganggumu di sini, jangan lupa bahwa aku akan terus menolongmu," ucap Ghava tiba-tiba.
"Kenapa kamu terus membantuku? Aku nggak pernah memintamu melakukan itu," respons Irene tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
"Menolong nggak harus saat diminta. Apalagi menolong perempuan secantik kamu," ucap Ghava sambil menyengir.
Irene bergidik. "Kamu merayuku? Ingat, kita baru kenal satu minggu. Jangan coba-coba berpikir untuk berbuat jahat."
"Tanyakan pada karyawan di hotel ini, apa pernah aku melecehkan perempuan? Aku dikenal sebagai pribadi yang baik dan pelayan yang ramah. Beruntung kamu bertemu aku yang bersedia membantumu dalam bekerja," ucap Ghava sambil menepuk dadanya.
Irene berdecih. Ia meninggalkan Ghava begitu saja saat melihat mobil Alara berhenti tepat di depan mereka. Ghava yang tidak tersinggung dengan sikap jutek Irene, tidak lupa melambaikan tangan dengan ucapan selamat malam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro